Oleh: Pdt. Betty Sarewo
Pendeta di Gereja Kristen Injili di Tanah Papua. Alumnus Pascasarjana Sosiologi Agama UKSW Sosiologi Agama
“Udah Kriting, Hitam Pula.” Demikian kata-kata yang keluar dari mulut Jojo anak saya. Ia melaporkan ejekkan teman-teman barunya, ketika untuk pertama kali masuk ke kelasnya di Sekolah Dasar Laboratorium milik Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga (UKSW) pada tahun 2007. “Jika demikian, Mama mau lakukan apa?” kata saya balik bertanya pada Jojo. ”Rebounding ma!!!” pintanya. Rebounding sepertinya menjadi satu-satunya solusi bagi masalah Jojo.
Ketika kata rebounding keluar terlontar, yang melintas dalam benak saya adalah bahwa bukan dia saja yang mengalami masalah dengan kulit dan rambutnya, tetapi juga sebagian besar perempuan di Papua, apalagi mereka yang sedang merantau di Jawa pun mengalami hal yang sama. Sebagian perempuan Papua yang ada di Jawa melakukan rebounding untuk menampilkan citra “cantik.” Apakah hal tersebut berkaitan dengan fenomena masyarakat urban?
Anak saya lahir dengan perpaduan yang harmonis dari tiga jenis darah suku bangsa yang mengalirinya; Jawa, Ambon dan Papua. Kulitnya hitam manis dan rambutnya ikal. Identitas yang tidak dimiliki oleh anak-anak homogen lainnya. Tetapi kemudian hadirlah hegemony culture atau dominant culture yang salah satu dampaknya adalah muncul image tentang kecantikan menurut ukuran suku bangsa tertentu. Imej atau citra ini yang kemudian mendominasi suku bangsa yang lain.
Tengoklah iklan yang berkaitan dengan perawatan rambut dan kulit para wanita yang gencar dimuat di media masa Indonesia. Mulai dari media elektronik, cetak hingga papan reklamen jalanan, semua menawarkan produk yang diukur melalui kultur tertentu. Mulai dari urusan ujung rambut hingga ujung kaki, komedo hingga masalah permak wajah dengan operasi plastik. Dari tampilan rambut hitam lurus terurai, yang kerjaannya dilakukan bukan saja tenaga professional tetapi juga melibatkan paranormal. Image itu bertumbuh subur seakan-akan yang berkulit atau berambut lain “tra cantik”.
Tak Sehingga kenyataan ini dapat diartikulasikan bahwa kecantikan republic Indonesia adalah yang berkulit putih atau sawo matang dan berambut lurus terurai. Hal ini dipertegas dengan sejarah pemilihan putri Indonesia yang diselenggarakan, yang hingga 2007, tak pernah ada orang berkulit hitam dan berambut keriting mendapat kesempatan menjadi finalis bahkan menjadi jawara, paling banter menjadi “peramai” dengan alasan “mungkin” nasionalisme belaka.
Bagi orang Papua, laki-laki yang menggunakan koteka dan perempuan dengan Sali tanpa seutas benangpun yang melekat di bagian atasnya, itulah busana yang sangat indah. Bagi sebagian besar orang dengan logika kultur Asia dan etika keagamaan yang fanatik, ini bisa dianggap sebagai pelanggaran kepercayaan. Tabu dan kata akhirnya adalah dosa serta berujung pada ancaman neraka. Jika goyangan ala Dewi Persik, Inul Daratista saja dianggap melanggar undang-undang Pornografi, apalagi mereka yang mengenakan pakaian tradisional Papua.
Fenomena kecantikan yang dilihat dari aspek warna kulit dan rambut tersebut, telah menjadi isu yang sensitif. Bukan saja dalam ranah sosial kultural, dimana fashion ditandai dengan munculnya budaya populer yang memaksa siapa saja untuk melibatkan diri didalamnya dengan barometer modernitas, tetapi juga melibatkan aspek psikologis yang menandakan adanya kondisi subjektif orang Papua. Mereka berada dalam pelbagai kekhawatiran, ketakutan, kecemasan, keluhan, terasing, ratapan terhadap kesendirian, terombang-ambing, terisolasi, rasa putus asa, tak terlihat dan tak dianggap, ketika masuk di dalam perangkap dominasi kultur mayoritas serta juga dalam ranah politis atau alasan nasionalisme.
Diskursus tersebut di atas, lantas memunculkan beberapa pertanyaan kritis sebagai refleksi atas kehidupan dalam konteks tersebut, yakni; apakah ada relevansi antara ukuran kecantikan dengan perubahan cara berpikir, sikap, dan keyakinan orang berambut keriting dan berkulit hitam? Apakah kecantikan suatu bangsa yang plural, hanya bisa di ukur dari satu sudut anatomi biologis suatu suku bangsa?
Kritik Diskursus Kecantikan
Mengukur makna kecantikan bagi seseorang merupakan hal yang sangat kompleks. Dan sedikit sulit untuk mengukurnya secara “hitam atau putih”. Banyak faktor dan kriteria yang tercakup didalamnya, khususnya jika dikaitkan dengan artikulasi idealnya. Masing-masing faktor harus dipilah sesuai dengan kriteria yang di pakai, apakah itu berkaitan pelaku kecantikan semata, individu bahkan apakah itu berkaitan dengan ideologi nasionalisme.
Dominic Strinati dalam “Popular Culture,” mengemukakan bahwa lahirnya media masa maupun meningkatnya komersialisasi budaya dan hiburan telah menimbulkan berbagai permasalahan, kepentingan, sekaligus perdebatan yang masih ada hingga sekarang (Stinati, 2007: 3). Fokus perhatian dan kajiannya adalah muncul dan perkembangan budaya masa atau budaya pupuler. Secara khusus, ada tiga tema atau argumen saling terkait yang dapat dijumpai menurut Strinati. Pertama, apa atau siapa yang menentukan budaya populer. Kedua, berkenaan dengan pengaruh komersialisasi dan industrialisasi terhadap budaya populer. Ketiga, menyangkut peran ideologis budaya populer.
Dalam pernyataan terhadap apa yang dikemukakan oleh R. Williams (1976) tentang Implikasi-implikasi yang bertolak belakang dalam kaitannya dengan sejarah gagasan budaya popular yang merujuk pada “pergeseran sudut pandang” antara abad kedelapan belas dan abad kesembilan belas, Strinati mengemukakan bahwa “Perkembangan gagasan budaya populer terkait dengan perselisihan atas makna dan interpretasi yang mendahului menjadi tampak menonjol dalam perdebatan soal budaya massa.”
Ekspresi kecantikan acapkali dilihat dari suatu image mengenai kecantikan yang diciptakan dari suatu pengaruh, produk dan peran ideologis kultur tertentu. Kenyataan ini memungkinkan siapa saja yang masuk dalam ranah dunia modern terokupasi dalam tiga tema tersebut sehingga menimbulkan dampak yang sangat signifikan dalam hal terjadinya pergeseran identitas.
Yang menarik adalah bahwa kekuatan dominan tidak hanya mempengaruhi struktur dan sistem sosial, tetapi juga menciptakan ideologi untuk membenarkan tatanan sosial yang diciptakan tadi. Sehingga yang tertindas dibodohi, disingkirkan, dan menyebabkan mereka yang tertindas menerima begitu saja ketertindasannya. Dengan demikian individu dan kelompok yang termaginalisasi, mengalami krisis dalam hidupnya. Identitas yang dimiliki telah mengalami pergeseran bahkan mungkin tersingkir dari dirinya sendiri atau bahkan lebih dari itu yakni mengalami keterasingan dan kehilangan makna identitasnya.
Dengan begitu, potret kecantikan khususnya bagi orang Papua mengalami pergeseran yang cukup signifikan. Pergeseran itu berkaitan dengan adanya pengaruh hegemoni ideologi kekuasaan bahkan dominasi kultural satu golongan. Hal ini diperkuat oleh peran-peran media masa, baik elektronik maupun cetak, yang menguber produk kecantikan.
Kenyataan itu tampak pada pola perilaku dalam melakukan rebounding, misalnya. Rebounding merupakan salah satu faktor dan kriteria utama bagi perempuan Papua untuk dapat masuk dalam konsep identitas nasional “berambut lurus berkulit sawo matang.” Tetapi di sisi yang lain merupakan faktor dimana terjadinya eliminasi terhadap identitasnya sebagai pribadi (person identity), sebagai anggota suatu kelompok sosial (social identity) dan di dalam kapasitasnya sebagai seseorang yang menduduki suatu peran sosial tertentu (role identity).
Saya tidak bermaksud untuk mencari solusi atas realitas tersebut. Tulisan ini sekadar refleksi bagi kita untuk melihat adanya persoalan serius yang harus ditangani secara bersama, khususnya bagi perempuan Papua. Juga bahan refleksi kritis atas identitas di tengah kehidupan bersama dalam tatanan global.