Oleh: Tedi Kholiludin
Ada dua hal penting yang tergambar dari peringatan 17 Agustus 1945 (Gonggon, 2002); pernyataan di depan penjajah bahwa umat manusia Indonesia, atas berkat rahmat Tuhan, menyatakan kemerdekaan Indonesia dan kepada penjajah pulalah pada tanggal itu mereka memberitahukan bahwa sebagai negara yang baru merdeka ini dinamakan Republik Indonesia.
Bangsa Indonesia yang kemerdekaannya diproklamirkan itu tentu saja mereka yang tidak berasal dari satu identitas agama dan suku saja. Indonesia merupakan negara plural yang masyarakatnya terdiri dari berbagai latar belakang agama. Kemerdekaan yang diproklamirkan itu adalah kemerdekaan bangsa Indonesia dengan segala kemajemukan agama yang dianut oleh penduduknya.
Dalam sebuah pidato peringatan Kemerdekaan Indonesia, Soekarno menjelaskan bahwa proklamasi kemerdekaan tidak sekadar declaration of independence. Proklamasi adalah proclamation of independence yang didalamnya mengandung declaration of independence. Proklamasi merupakan sumber kekuatan dan tekad perjuangan bangsa Indonesia. Sementara declaration of independencenya ada dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yang memberikan pedoman-pedoman tertentu untuk mengisi kemerdekaan, melaksanakan kenegaraan, mengetahui tujuan dalam memperkembangkan kebangsaaan, untuk setia kepada suara batin yang hidup dalam rakyat kita. Proklamasi tanpa deklarasi berarti bahwa kemerdekaan tidak memiliki falsafah. Sementara deklarasi tanpa proklamasi, tidak memiliki arti.
Sehari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) bersidang yang membuat beberapa keputusan. Salah satunya mengesahkan Undang-undang Dasar 1945.
Dalam sidang PPKI yang berlangsung 18 Agustus 1945, muncul usulan berkaitan dengan apa yang termaktub dalam alenia ketiga, yakni tentang nama Yang Maha Kuasa yang memberkati kemerdekaan Indonesia. Sesaat menjelang berakhirnya pembahasan pembukaan UUD 1945, Soekarno selaku pimpinan sidang menawarkan apakah ada perubahan pada redaksi pembukaan UUD 1945.
I Gusti Ketut Pudja, salah satu anggota PPKI yang kelak menjadi Gubernur Sunda Kecil itu kemudian mengusulkan agar kata Allah diubah dengan Tuhan. Kata Pudja, ”Ayat 3 ”Atas berkat Rahmat Allah” diganti Tuhan saja, ”Tuhan Yang Maha Kuasa””. (Risalah Sidang BPUPKI-PPKI, 1998, 537). Usul Pudja ditangkap Soekarno yang kemudian mengulang apa yang disampaikan Pudja. Soekarno mengatakan ”Diusulkan, supaya perkataan Allah Yang Esa diganti dengan Tuhan Yang Maha Esa. Tuan-tuan semua mufakat kalau perkataan Allah diganti dengan atas berkat Tuhan Yang Maha Kuasa. Tidak ada lagi, tuan-tuan? Kalau tidak ada lagi, saya baca seluruhnya, maka kemudian saya sahkan” (Ibid). Setelah itu, Soekarno kemudian membacakan keseluruhan teks pembukaan UUD 1945.
Akan tetapi, kesepakatan yang dibuat soal kata ”Tuhan” pada sidang 18 Agustus 1945 itu tidak muncul dalam Berita Republik Indonesia tahun II no. 7 yang diterbitkan pada 15 Februari 1946. Di berita itu, kalimat masih tertulis ”Atas Berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa”. Editor buku ”Risalah Sidang BPUPKI” mengatakan bahwa kemungkinan besar hal ini merupakan kesalahan teknis belaka dalam suasana revolusi saat itu. (Ibid, 538).
Selain Berita Republik Indonesia tahun II no. 7 yang terbit 15 Februari 1946, ada dua dokumen negara lainnya yang mengabadikan hasil Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), terutama yang menyangkut Pembukaan UUD 1945. Ada perbedaan soal kata pemuatan kata Allah dan Tuhan dalam dokumen itu. Di Lembaran Negara no. 75 tahun 1959 halaman 3, alinea ketiga tertulis ”Atas Berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa”. Ini berarti susunan kalimatnya sama dengan yang tertulis dalam Berita Republik Indonesia. Arsip lainnya adalah Dokumentasi Kementrian Penerangan Republik Indonesia no. 1 tahun 1945. Dalam dokumen tersebut bunyi alinea tiga sama dengan apa yang terekam dalam Sidang PPKI yakni, ”Atas Berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa”. (Mansoer, 1977; 111-113)
Menelisik tentang identitas Yang Maha Kuasa yang telah memberkati perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia, kita bisa juga mencermati dalam beberapa produk lain, seperti Pernyataan Indonesia Merdeka (PIM), Piagam Jakarta dan dua Undang-undang Dasar yang pernah berlaku di Indonesia, yakni Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) tahun 1950 serta UUD Sementara RI 1950.
Dalam PIM berkat terhadap perjuangan rakyat Indonesia itu diberikan oleh ”Allah Yang Maha Kuasa”. Hal yang sama juga ditemukan dalam Piagam Jakarta. Sementara dalam Konstitusi RIS dan UUD Sementara RI 1950, alinea ketiga itu sama-sama memunculkan kata ”Tuhan”. Dalam Konstitusi RIS, kalimat lengkapnya berbunyi ”Kini dengan berkat dan rahmat Tuhan telah sampai kepada tingkatan sejarah yang berbahagia dan luhur”. Dalam UUD Sementara, kalimat di alinea berbunyi ”Dengan berkat dan rahmat Tuhan, tercapailah tingkatan sejarah yang berbahagia dan luhur”.
Dalam sidang PPKI 18 Agustus 1945 yang kemudian menghasilkan Pembukaan UUD 1945, kita bisa melihat bahwa sesungguhnya tidak ada perdebatan hebat ihwal kata Allah dan Tuhan. Usulan I Gusti Ketut Pudja agar kata Allah diganti dengan Tuhan tidak mendapatkan sanggahan atau bantahan dari peserta sidang lainnya. Dalam Risalah Sidang BPUPKI-PPKI, Pudja tidak menyebutkan alasan mengapa ia mengusulkan untuk mengganti Allah dengan Tuhan. Tetapi jika dilihat dari latar belakang primordialnya, Pudja tentu menghendaki agar UUD 1945 bisa menaungi seluruh kelompok agama yang ada di Indonesia. (Setia, 2007) Ia ingin menyelamatkan UUD 1945 agar tidak menjadi warna untuk kelompok tertentu saja.