Oleh: Tedi Kholiludin
Sekarang, kita menghadapi dua situasi yang kerap dianggap saling memunggungi dalam kehidupan beragama, “religious turn,” dan “anti-religious turn.” Kebangkitan “yang religius” dalam filsafat continental dan gelombang anti-religius dalam sekularisme baru seperti yang tercermin dalam gagasan-gagasannya Richard Dawkins, Daniel Dennett atau Christopher Hitchens. Abad dimana gereja begitu berjaya diporakporandakan oleh Nietzche, Marx dan Freud.
Sejumput pertanyaan menyembul dalam perdebatan antara teisme dan ateisme. Saat kita bicara tentang Tuhan, apa sebenarnya yang sedang dipercakapkan. Seorang raja yang hebat atau orang asing yang penuh perhatian? Tuhan tanpa agama atau agama tanpa Tuhan? Pembawa perang atau perdamaian?
Teisme dogmatik kerap bersitegang dan dengan ateisme militan. Keduanya saling menafikan dan menegasikan. Di tangan para dogmatik, agama menjadi alat pemecah. Pembenar segala tindakan kekerasan. Kelompok teis menuduh yang ateis sebagai tak bermoral, sebab segala dari kemunduran etika, dan seterusnya.
Adalah Richard Kearney, seorang penulis lebih dari 20 buku filsafat sekaligus murid Paul Ricoeur, yang mencoba mencari jalan ketiga perdebatan sengit tersebut. Ia menamainya, Anatheism atau Anateisme. Idenya ia babar dalam “Anatheism: Returning to God after God.” Anateisme berarti kembali kepada teisme. Tetapi teisme disini bisa dibilang sebagai teisme baru, bukan teisme dogmatik yang telah “dibenamkan” oleh ateisme.
Anateisme, kata Kearney, bukanlah agama baru, “…but attention to the divine in the stranger who stands before us in the midst of the world.” Anateisme itu amor mundi, cinta kehidupan dunia, sebagai perwujudan yang tak terbatas dari yang terbatas, yang transenden dalam imanen, eskatologi pada masa sekarang.
Ia berbeda dengan ateisme yang hendak menyingkirkan Tuhan dari dunia, menolak yang sakral karena menganggap yang sekuler sebagai kebaikan abadi. Juga bukan sebuah teisme yang berusaha menyingkirkan Tuhan dari dunia (privatisasi), menolak sekuler demi kebaikan. Pun, bukan bukan panteisme yang meruntuhkan sekuler dan yang suci menjadi satu, menyangkal perbedaan antara yang transenden dan imanen.
Kata Kearney, Anateisme tidak mengatakan bahwa yang suci adalah sekuler. Yang suci tidak dapat dipisahkan dari sekuler, namun tetap berbeda. Anatheisme berbicara tentang “interanimasi” antara yang sakral dan sekuler tapi bukan perpaduan atau kebingungan. Mereka saling terkait tetapi tidak pernah sama.
Akhirnya, anateisme bukanlah pertanyaan tentang iman. Anateisme adalah tentang harapan, cinta, kebahagiaan, dan kekaguman. Serta, tindakan etis mengubah dunia dengan merawat yang lain saat melihat dunia semakin suci. Inilah jalan baru menuju Tuhan, pasca ontoteologis. Inilah imajinasi baru yang tentu saja didapati atas jasa nihilisme dan materialisme. Anateisme adalah Tuhan yang mendarat. Tuhan yang mewujud dalam perjuangan manusia untuk sesamanya. Tuhan yang disini, bukan hanya disana.