
Nama lengkapnya Johanes Adrian Titaley. Lahir di Sorong, 19 Juni 1950, John sekarang adalah Rektor Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga. Guru besar Ilmu Teologi ini dikenal karena pendekatan-pendekatan kritisnya, terutama dalam memahami Alkitab. Kritik utamanya terhadap teolog-teolog Kristen adalah karena mereka tidak menjadikan Indonesia sebagai konteks berteologi. Salah satu upaya untuk keluar dari kungkungan normativitas itu, kata John harus dimulai dari reformasi pendidikan teologi. Makanya, di kampus yang ia pimpin, pendekatan ilmu sosial terhadap Kekristenan terus dikembangkan. Baginya, ini penting karena konteks Indonesia yang plural mengharuskan semua agama untuk mengembangkan model keilmuan seperti itu. Berikut wawancara Tedi Kholiludin dengan Prof. John A. Titaley Th.D
Apa sebenarnya yang menjadi problem pendidikan teologi di Indonesia?
Kebanyakan masih berpikir masih pada dataran normatif saja. Khusus di perguruan tinggi teologi, kebanyakan masih digunakan sebagai lembaga untuk menghasilkan calon pendeta saja, belum diusahakan untuk memahami konteks kehidupan bermasyarakat.
Jadi teologi kontekstual tidak banyak dikembangkan?
Iya, karena metode yang dikembangkan dalam kebanyakan pendidikan teologi justru menjebak. Artinya, kita bisa berpikir apapun, tetapi harus kembali ke Alkitab. Sementara yang saya kembangkan, Alkitab didekonstruksi dulu, baru kemudian menyesuaikan dengan konteksnya. Jadi susah sekali kalau semuanya harus dikembalikan ke Alkitab, apalagi Indonesia yang tidak ada di Alkitab. Karena anggapannya Alkitab itu, ya Israel Yahudi saja. Sehingga Indonesia bukan bagian dari kosakata berteologi. Karenanya ketika orang Indonesia mau berteologi, susah mencari pintu masuknya.
Bukannya pendidikan teologi itu punya standar kurikulumnya?
Ada. Tapi kan, dosen itu mengajarnya beda-beda. Dan kebanyakan sulit untuk keluar dari cara berpikir teologi yang normatif itu. Makanya tak heran kalau teolog-teolog di Indonesia gagap menghadapi kenyataan yang dihadapinya. Saya mencoba untuk keluar dari paradigma itu, tapi kemudian dianggap liberal. Dan ketika saya masuk ke gereja dengan membawa cara berpikir saya itu, ternyata susah sekali masuknya. Lalu, timbul reaksi. Kebanyakan teolog melihat apa yang saya kembangkan semata-mata sebagai sosiologi agama, bukan teologi. Padahal, apa bisa seseorang berteologi tanpa melakukan analisis sosial? Tidak bisa.
Jadi problem bangsa dilihat dari sisi agama?
Itu tadi, teolog-teolog tidak menganggap Indonesia sebagai bagian dari konteks pergumulan. Jadi begitu diajak berpikir tentang Pancasila, mereka bilang itu hanya kesepakatan politis, bukan bagian dari teologi. Karena mereka bilang teologi itu hanya yang ada dalam Alkitab.
Jika cara berpikir terus menerus dipegang?
Ya, kita jadi ghetto. Makanya ketika ada perubahan politik besar-besaran pada tahun 1998, kebanyakan teolog ketinggalan, tidak tahu mereka harus melakukan apa dalam situasi seperti itu. Nampak sekali ketika Soeharto jatuh. Disitu masalahnya.
Kritik Pa John terhadap paradigma berteologi mereka?
Mereka (teolog Indonesia) itu ahistoris dengan pendekatan teologi yang konvensional. Mereka tidak berada dalam konteks ini. Saya hanya selalu bilang, itu karena warisan Kekristenan Belanda yang sangat pietistic. Yang kedua, juga menghindari gereja untuk berpikir kritis, karena jika itu dilakukan mereka akan berhadapan dengan pemerintah Belanda. Jadi gereja hanya di wilayah spiritual saja. Dan itu dikembangkan hingga sekarang. Sebetulnya, pada waktu TB Simatupang ada, masih nampak critical standingnya terhadap pemerintah. Itu bisa dilakukan karena ia masih membawa dimensi sosial politiknya dalam mengimbangi teolog-teolog yang tidak memiliki kompetensi dalam analisis sosial dan politik. Karena teolog-teolog ini hanya dididik secara normatif-dogmatis saja, tidak mempelajari analisis sosial. Itu sebabnya kenapa mereka terisolasi. Salah pendidikan teologi, salah asuhan.
Sekarang ini Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) mengalami krisis identitas. Keberadaan dia di Indonesia menjadi pertanyaan, apa perlu ada PGI? Karena tidak historis itu tadi. Mereka tidak bisa merumuskan pijakan berteologi. Mereka tidak menjadikan Indonesia sebagai bagian dari berteologi. Teologi yang dikembangkannya diimpor dari Barat, Amerika. Jadi kalau teolog mengembangkan apa yang diucapkan Calvin, itu Kristen. Kalau berbicara dari apa yang disampaikan Juergen Moltman itu Kristen. Berbicara tentang pikiran Karl Barth, itu Kristen. Sementara Indonesia, tidak menjadi bagian dari konteks berteologi mereka.
Pergumulan gereja dengan masyarakat sekarang kan sudah mengalami perkembangan?
Dari dulu sudah ada, tetapi masyarakat itu hanyalah masyarakat kesukuan saja. Orang Kristen di Bali bergumul dengan orang Bali saja dan seterusnya. Mereka memaknai identitas primordialnya saja. Padahal kita tidak hanya hidup sebagai orang Bali saja tetapi orang Indonesia. Dan kehidupan kita lebih banyak dipengaruhi oleh keIndonesiaan kita dibanding keBaliannya. Dalam real kehidupan kita dipengaruhi oleh keputusan-keputusan dan kebijakan di aras politik. Kalau itu tidak dijadikan sebagai aras berteologi, orang Kristen akan ketinggalan.
Format Kekristenan yang ideal sesuai dengan konteks Indonesia yang seperti apa?
Harus deal dengan dua identitas, identitas primordial dan nasional. Sebagai orang Kristen, Islam, Katolik, Jawa, Batak, Bali dan orang Indonesia.
Kalau ada yang menjadi modal yang pernah ditularkan oleh teolog Kristen Indonesia pada masa awal itu apa?
Tidak ada. Sebetulnya yang berteologi itu awal-awal bukan teolog, seperti J. Leimena dan T.B. Simatupang. Tetapi mereka punya keterbatasan dalam kompetensi teologi. Tetapi mereka punya kompetensi sosial dan politik yang kuat. Mereka punya kontribusi dalam memberikan dimensi sosial dan politik bagi para teolog yang sangat Karl Barth. Itu juga mempertemukannya susah antara orang yang bukan teolog dengan teolog. Karena teolog-teolog ini tidak terlatih untuk menjembataninya. Karena teologi sangat doktrinal berbicara tentang Yesus, pengampunan, penebusan dosa, keselamatan. Dan sebetulnya kita tidak menjembatani antara berpikir normatif (teologis) itu dengan realitas lewat etika. Etika kita lemah. Kalau kita cukup kuat dalam etika dia bisa menjadi jembatan. Terutama etika sosialnya.
Pintu masuk untuk Reformasi berteologi dimulai dari mana?
Dengan kenyataan pluralisme itu mestinya. Realitas sosial bisa menjadi pintu masuk untuk reformasi berteologi. Yang saya baru sadar itu saya mempelajari ilmu sosial dan teologi itu bersama-sama. Jadi seimbang. Ada filsafat sih, tapi kombinasi filsafat dan teologi itu kan semakin mengawang-awang. Itu mengapa kontribusi Amerika besar, karena mencoba menawarkan ilmu-ilmu sosial, beralih dari filsafat. [elsa-ol/TKh-@tedikholiludin]
mencerahkan.
terima kasih untuk pak john juga untuk pewawancaranya!