Matter Out of Place: Antropologi Simbolik Marry Douglas

Oleh: Tedi Kholiludin

Pada 1949-1950, seorang Antropolog Inggris kelahiran Italia, Marry Douglas melakukan penelitian etnografis di Suku Lele, Kongo (sekarang Republik Demokratik Kongo). Pengalamannya meneliti Suku Lele, menjadi salah satu bahan baku baginya ketika menulis buku “Purity and Danger” yang kali pertama terbit pada 1966, meskipun Douglas juga menggunakan bahan-bahan lain dari pelbagai budaya.

Yang diteliti oleh Douglas adalah bagaimana Suku Lele membuat klasifikasi atas pangolin (trenggiling) sebagai makhluk ambigu. Secara biologis, pangolin itu bersisik seperti ikan tetapi hidup di darat dan memanjat pohon. Dalam kategorisasi Suku Lele atas binatang, pangolin dianggap melewati batas-batas “normal”; darat tidak, laut bukan. Menariknya, alih-alih dianggap “najis”, pangolin justru disakralkan dalam ritual Suku Lele dan dianggap pembawa kesuburan. Ambivalensi dalam kasus ini justru menjadi sumber kekuatan dalam ritual.

Douglas kemudian membandingkan sakralisasi pangolin dengan babi seperti dalam Alkitab (Kitab Imamat). Seperti pangolin, kata Douglas, babi juga melanggar kategori binatang “berkuku belah dan memamah biak”. Tetapi, beda nasib dengan pangolin, babi masuk kategori “najis.” Pada masyarakat (baca: peternak), babi justru menjadi komoditas ekonomi. Artinya, “najis” bukanlah sifat yang intrinsik melainkan pelanggaran atas sistem klasifikasi budaya.

Tulisan Douglas, “Purity and Danger” membantu kita untuk memahami bahwasanya kotoran (dirt) tidak hanya soal kebersihan fisik, tetapi juga merupakan simbol sosial – sesuatu dianggap kotor jika tidak pada tempatnya (matter out of place). Jika kita melihat tanah di kebun atau halaman rumah itu adalah normal. Tetapi, jika ada tanah di atas meja, itu kotor.

Dalam konteks masyarakat tertentu, suci dan najis itu diperhadapkan. Pada masyarakat dengan tradisi berbeda, najis dan suci tidak dipisahkan mutlak, tapi lebih dimaknai sebagai spektrum atau kategori yang relatif. Sementara, yang disebut tabu bisa berarti hal yang suci sekaligus naji, karena kedua aspek tersebut mengandung kekuatan simbolik sekaligus bahaya. Mengutip Mircea Eliade, Douglas menyebut bahwa Eliade menyatakan bahwa yang sakral bisa menarik sekaligus menjijikkan, dan ini bukan hanya masalah psikologis, tetapi juga nilai sosial.

Baca Juga  Nirkekerasan dan Peace Building Dalam Islam

Sebagai contoh, di India, minum air bekas cuci kaki wanita suci adalah bentuk penghormatan. Kotoran sapi bisa digunakan untuk menyucikan sesuatu tergantung konteksnya. Hal-hal ini menunjukkan bahwa konsep najis dan suci bisa tumpang tindih namun tetap bermakna. Begitu juga soal babi; yang bagi peternak bukanlah pelanggaran, melainkan bagian dari sistem ekonomi yang sah sementara tidak demikian halnya bagi umat Islam atau Yahudi. Inilah perkara yang juga diingatkan Douglas; “najis” selalu relatif terhadap struktur klasifikasi lokal. Dengan begitu, “purity” dan “danger” sejatinya dibentuk oleh struktur kognitif dan sosial: masyarakat menciptakan batas-batas untuk menjaga identitas kolektif, kesucian, dan stabilitas sosial.

Douglas mengkritik reduksi makna ritual sebagai apa yang dia sebut sebagai “materialisme medis.” Pembakaran dupa sebagai semata-mata menyamarkan bau dan agar lebih wangi misalnya, mengabaikan dimensi simbolik dari dupa serta ritual itu sendiri. Ketika Imamat melarang babi, bagi Douglas, itu bukan soal kesehatan, tetapi pelanggaran kategori sekaligus sebagai pemeliharaan batas simbolik. Meski begitu, Douglas tidak menolak manfaat higienis, tetapi ia tidak menyertakan hal tersebut sebagai penjelasan utama.

Jika soal kenajisan adalah ‘materi yang berada di tempat salah’ atau matter out of place, kata Douglas, maka kita harus memahaminya melalui kerangka keteraturan. Mary Douglas menunjukkan bahwa konsep “najis” dan “suci” bukanlah kategori mutlak, melainkan konstruksi sosial yang lahir dari sistem klasifikasi budaya. Oleh karenanya, percakapan yang proporsional bukan tentang soal “benar atau salahnya” yang suci dan yang najis, tetapi kesadaran bahwa setiap pihak beroperasi dalam sistem klasifikasi yang berbeda; persis seperti pangolin Lele yang ambigu, tapi justru menjadi perekat kosmologi Suku Lele.

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Harmoni, Kemanunggalan dan Rasa: Menyelami Jawa yang terus Bergerak

Oleh: Tedi Kholiludin Budaya Jawa yang Adaptif Saya hendak mengawali...

Panggung Sosial dan Lahirnya Stigma

Oleh: Tedi Kholiludin Kapan dan bagaimana stigma bekerja? Karya klasik Erving...

Meritokrasi dan Privilege: Dua Wajah dari Keadilan yang Pincang

Oleh: Alfian Ihsan Dosen Sosiologi Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto Setiap...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini