Bung Hatta dan Demokrasi Kita yang Masih Sama Saja

Oleh: Sidik Pramono

Buku yang berjudul Demokrasi Kita ini merupakan karya Mohammad Hatta yang diterbitkan oleh penerbit Pandji Masjarakat pada tahun 1960. Buku setebal 37 halaman ini diterbitkan pada masa Demokrasi Terpimpin di bawah Presiden Indonesia saat itu yakni, Ir. Sukarno. Mengutip pendapat Buya Hamka, buku ini ditulis pada saat demokrasi sedang terancam dan sedang tidak baik-baik saja. Buku karya Bung Hatta ini merupakan kritik atas kondisi demokrasi pada saat itu. Melalui karya yang dinilai menjadi suara sumbang terhadap kepemimpinan Sukarno, penerbit Pandji Masyarakat yang menerbitkan buku ini diberedel oleh pemerintah. Selain itu, pemerintah juga melakukan larangan hingga mengancam akan menghukum siapa saja yang membaca, menyiarkan dan menyimpan salah satu buku karya Proklamator Indonesia tersebut. Buku ini setidaknya tersusun dalam 11 sub judul.

Pada buku ini, kita dapat melihat bagaimana Bung Hatta sebagai salah satu pendiri Indonesia memiliki pemikiran tentang demokrasi yang disampaikan bebarengan dengan kritik atas realitas saat itu. Buku ini lahir sebagai bentuk tanggung jawab moril Bung Hatta sebagai seorang negarawan dan cendikiawan atas kondisi demokrasi yang berada dalam krisis selama Orde Lama. Di samping itu, melalui buku ini Bung Hatta memberikan semacam pegangan bagi siapa saja tentang konsepsi ideal demokrasi yang asli Indonesia. Demokrasi Kita ditulis oleh Bung Hatta setelah dirinya melepaskan jabatannya sebagai wakil presiden. Mundurnya Bung Hatta ini terjadi karena baik dirinya ataupun Sukarno (dwi tunggal proklamator Indonesia) terjadi perbedaan pandangan politik yang meruncing. Sukarno dinilai lebih memonopoli kekuasaan, di samping itu juga baik presiden dan wakil presiden hanya sebagai simbol negara (Rochman et al., 2022, p. 51).

Membaca buku “Demokrasi Kita”, setidaknya Bung Hatta hendak menyampaikan empat hal. Pertama, memberikan kritik atas kondisi demokrasi pada masa Orde Lama. Kedua, memberikan paparan tentang konsepsi demokrasi. Ketiga, menjelaskan realitas demokrasi pada masa Orde Lama. Terakhir, memaparkan konsepsi dan ide demokrasi Indonesia. Keempat hal tersebut dijelaskan oleh Bung Hatta dalam buku ini dengan logika yang sangat runtut, logis, bernas, dan berdasar pada dalih yang kuat.

Demokrasi Terpimpin yang Menjelma Diktator

Bung Hatta membuka buku ini dengan menjelaskan bahwa kondisi demokrasi di Indonesia bertolak belakang atau berlawanan dengan tujuan dari demokrasi. Bagi Bung Hatta, pemerintah saat itu sudah jauh berjalan berlawanan dengan tujuan dari demokrasi yakni menciptakan pemerintahan yang berorientasi pada kemakmuran sebesar-besarnya bagi rakyat. Bung Hatta menjelaskan tindakan-tindakan Sukarno yang bertentangan dengan demokrasi untuk menguatkan argumennya. Beberapa tindakan tersebut di antaranya adalah membubarkan Konstituante yang dipilih oleh rakyat. Kemudian Dewan Perwakilan Rakyat dipilih oleh Sukarno menurut konsepsinya sendiri. Setidaknya separuh dari 261 anggota Dewan Perwakilan Rakyat terdiri dari golongan fungsional yakni dari kalangan buruh, tani, wanita, ulama, pemuda, tentara, polisi, dan cendikiawan. Di samping itu Sukarno juga melakukan penyingkiran anggota partai yang beroposisi dengan dirinya (Hatta, 1960, p. 5).

Menurut Bung Hatta, sistem demokrasi terpimpin dipilih Bung Karno sebagai antitesis dari demokrasi liberal alat yang syarat akan perpecahan sehingga berdampak pada terlantarnya pembangunan nasional. Demokrasi terpimpin mensyaratkan kekuasaan berada di bawah satu pimpinan yang meniadakan perbedaan di dalam pemerintahan. Sehingga fungsi parlementer tidak berjalan dengan semestinya. Pada saat itu pemerintahan berpusat pada dua badan yakni Dewan Pertimbangan Agung dan Dewan Perancang Nasional. Pada bagian awal buku, dijelaskan mengenai alasan model demokrasi terpimpin lebih bisa mengakomodir pembangunan nasional yakni dapat menyatukan empat golongan besar (nasional, Islam, komunisme, dan tentara) di bawah kekuasaan tunggal yakni Sukarno. Bagi Bung Hatta, pada kondisi seperti ini Dewan Perwakilan Rakyat hanya bertugas unutk membuat dasar hukum atas keputusan yang dikeluarkan oleh Dewan Pertimbangan gng dan Dewan Perancang Nasional. Dua badan ini ditentukan langsung oleh Presiden. Atas kondisi kekuasaannya yang tersenteral pada presiden dan disokong oleh golongan tertentu, maka Bung Hatta, menyebut demokrasi terpimpin Sukarno telah berubah menjadi suatu ke-DIKTATOR-an.

Baca Juga  Konversi dan Transformasi Modernitas

Kondisi seperti itu, disebut Bung Hatta sebagai sebuah krisis demokrasi. Demokrasi yang lupa batasan-batasan, lupa syarat hidupnya, yang kemudian akan menjadi kediktatoran. Sebagai negara yang baru saja merdeka, sulit bagi Indonesia dalam memilih dan menjalankan pemerintahan. Bentuk pemerintahan berubah-ubah pada saat awal kemerdekaan, mulai dari sistem presidensial, parlementer, serikat, hingga sistem pemerintahan parlemen yang di dalamnya terdapat presiden dan wakil presiden sebagai simbol negara. Indonesia pada saat itu memang sedang mencari jati dirinya atau sistem yang ideal. Dalam proses pencariannya, terdapat kemungkinan Indonesia mengalami penyalahgunaan kekuasaan. Mulai dari praktik korupsi, kolusi, nepotisme ataupun terjebak dalam kekuasaan absolut yang dilakukan oleh pemimpin negara. Pada masa demokrasi terpimpin kekuasaan bukan hanya tersentral pada presiden, namun tentara juga mendapat peran lebih besar dalam mengatur stabilitas nasional melalui peran untuk meredam konflik di dalam negeri. Kondisi politik nasional yang syarat akan kekacauan pada masa Demokrasi Terpimpin, demokrasi penuh dengan anarki maka sistem pemerintahan perlahan mulai menjelma kediktatoran yang penuh dengan keteraturan (Hatta, 1960, p. 17).

Demokrasi Indonesia: Sosialis, Agamis, Kolektivis

Bung Hatta menyatakan bahwa sistem yang dibangun oleh Sukarno tidak akan bertahan lama. Sebab, sistem diktator pada masa demokrasi terpimpin ini bergantung pada kewibawaan Sukarno. Saat Sukarno sudah tidak ada lagi maka sistemnya akan runtuh dengan sendirinya sebagaimana rumah kartu. Sebagai orang yang lama bersahabat karib dengan Sukarno, ia menjelaskan tentang kenapa sistem tersebut tidak akan bertahan lama. Salah satunya karena sulit menahan kemerosotan taraf hidup dan menghentikan inflasi dalam waktu yang singkat. Bagi Bung Hatta, Sukarno adalah orang yang memiliki kecintaan sangat besar terhadap Indonesia, namun di satu sisi dirinya hanya berfokus pada hal-hal besar tanpa memperhatikan detail-detail kecil yang sebenarnya penting. “Tujuan Sukarno selalu baik, namun langkah yang diambil kerap kali menjauhkan dia dari tujuannya itu. Dengan sistem diktator yang diadakannya akan membawa pada keadaan yang bertentangan dengan cita-citanya selama ini.” (Hatta, 1960, p. 19). Maka, dalam perjalanannya, Bung Hatta menjadi orang yang melengkapi detail-detail gagasn Sukarno. Sebagai contoh adalah saat proses penyusunan konstitusi pada masa persiapan kemerdekaan. Bung Karno memiliki gagasan bahwa hak individu tidak perlu masuk dalam konstitusi, karena yang diimajinasikannya adalah negara yang berbasis gotong royong, maka hak individu dianggap bertentangan dengan konsep gotong royong. Lalu Bung Hatta menolak dan mengatakan bahwa, jika hak individu (hak berserikat, bersuara, dan berpendapat) tidak diatur maka pemerintahan akan menjadi absolut dan tidak mengakomodir hak asasi manusia.

Baca Juga  Menilik Religiusitas Masyarakat Muslim Urban Kota Semarang

Walau kondisi demokrasi di bawah Orde Lama sedang mengalami krisis, tapi di dalam buku ini, Bung Hatta memiliki keoptimisan bahwa demokrasi akan tetap ada di Indonesia. Demokrasi bisa saja ditindas sementara oleh kediktatoran atau feodalisme. Dalam sistem-sistem itu demokrasi mungkin tersingkir sementara, tapi bukan berarti akan hilang sama sekali dari Indonesia.
“Sebab, lenyapnya demokrasi berarti lenyap pula Indonesia Merdeka” (Hatta, 1960, p. 30). Bung Hatta memiliki optimisme tinggi atas demokrasi di Indonesia. Demokrasi yang dimaksud bukanlah demokrasi ala Barat. Optimisme Bung Hatta tersebut ialah pada demokrasi asli Indonesia. Dirinya menamakannya sebagai demokrasi sosial. Demokrasi sosial memiliki cita-cita untuk mewujudkan keadilan sosial sebagai praktik hidup nasional. Setidaknya ada tiga sumber yang mejadi harus dihidupi dan diyakini oleh setiap pemimpin untuk menjalankan demokrasi sosial ini. Pertama, pemahaman sosialisme Barat yang menjadi dasar perikemanusiaan. Kedua, ajaran Islam yang mengajarkan persaudaraan, menuntut kebenaran dan keadilan sebagai sifat yang sesuai dengan Tuhan. Ketiga, pengetahuan masyarakat Indonesia yang berdasarkan kolektivisme (Hatta, 1960, p. 24).

Demokrasi sosial ini merupakan hasil penyesuaian konsep dari Barat dan dikawinkan dengan local wisdom Indonesia. Demokrasi sosial muncul dari lokalitas dan kearifan masyarakat Indonesia yang berada di desa-desa. Demokrasi ini juga disebut sebagai “demokrasi desa”. Demokrasi ini tidak berakar pada Revolusi Industri seperti Barat yang di kemudian hari memunculkan kesenjangan sosial dan juga ekonomi. Demokrasi desa menghendaki kesamarataan baik dalam hal sosial serta ekonomi. Demokrasi desa sudah dan terus bertahan dalam kondisi tersulit sekalipun. Bung Hatta pada sub judul Demokrasi Indonesia menjelaskan bahwa demokrasi tetap ada meski berada pada zaman feodal yang dikuasai raja otokrat. Demokrasi desa sudah menjadi adat istiadat masyarakat. Ruh dan idealitas demokrasi bukan saja dihayati oleh masyarakat, namun juga dipraktikan keseharian. Setidaknya ada lima nilai dalam demokrasi desa Bung Hatta yakni rapat, mufakat, gotong royong, hak mengadakan protes bersama, dan hak menyingkir dari daerah kekuasaan raja.(Hatta, 1960, p. 26)

Demokrasi desa atau demokrasi sosial atau demokrasi Indonesia, juga didasarkan pada falsafah yang kuat yakni Pancasila. Artinya, membincang konsep demokrasi Mohammad Hatta, berarti membahas demokrasi yang berpegang teguh pada Pancasila. Sebab bagi Bung Hatta, Pancasila menjadi penjamin atas tetap teguhnya demokrasi. Pada Pancasila terdiri atas dua fondasi untuk menjaga demokrasi asli Indonesia. Pertama fondasi moral dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Kedua, fondasi politik yakni perikemanusiaan, persatuan Indonesia, demokrasi, dan keadilan sosial (Hatta, 1960, p. 31). Semangat demokrasi Indonesia ialah demokrasi sosial kolektif. Demokrasi seperti inilah yang dibayangkan Bung Hatta tidak akan hilang dalam kondisi apapun dan akan kembali bangkit setelah tertidur sementara waktu di rezim Orde Lama.

Baca Juga  Terputusnya Agama dari Kesalehan Publik

Krisis Demokrasi Berulang Kembali

Setelah mebaca secara seksama ada satu pepatah dari Prancis berbunyi “l’histoire se répète” yang artinya sejarah berulang kembali (Rais, 2008). Bila melihat realitas yang ada di Indonesia saat ini, pepatah ini seolah menunjukan kebenaran. Krisis demokrasi yang digambarkan oleh Bung Hatta dalam buku Demokrasi Kita berulang kembali. Tentu krisis demokrasi saat ini tidak sama persis dengan yang terjadi pada masa Orde Lama. Namun, sebagaimana yang disampaikan Bung Hatta, bila negara yang sudah menerapkan demokrasi masih berpotensi menyeleweng, apa lagi Indonesia yang belum lama menerapkan sistem ini. Membaca buku ini setidaknya akan membuka pengetahuan bahwasannya kita sedang mengalami krisis demokrasi sebagaimana Orde Lama dahulu, namun dengan kemasan yang lebih mutakhir dan dilakukan dengan membajak demokrasi. Sebagai contoh, lembaga parlemen tidak lagi menjadi badan yang memerjuangkan rakyat melainkan berjuang untuk kepentingan kelompok. Tidak adanya oposisi menjadikan DPR sebagai lembaga yang mengeluarkan landasan hukum atas kebijakan Presiden dan hanya menguntungkan kelompok tertentu. Pemerintahan yang meniadakan oposisi kemudian memberikan presiden kuasa absolut atas berjalannya negara. Hal-hal tersebut tidak jauh berbeda dengan kondisi yang digambarkan Bung Hatta dalam Demokrasi Kita.

Buku yang ditulis Bung Hatta pada 1960 tersebut masih relevan untuk dibaca semua kalangan pada saat ini. Selain penggambaran atas krisis demokrasi yang ada pada saat ini, buku ini juga menjadi pengingat atas konsep demokrasi asli Indonesia, bukan ala Barat, bukan pula demokrasi yang rela meninggalkan kelompok minoritas. Namun, demokrasi yang memiliki cita-cita menciptakan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Demokrasi desa yang berdasarkan pada kesamaan dan gotong royong. Bagi saya, buku ini perlu dibaca oleh siapapun, utamanya para pemimpin negara. Pada buku ini Bung Hatta memberikan jalan untuk kembali pada demokrasi yang bercita-cita menjamin keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dengan membaca buku ini di tengah krisis demokrasi yang nyata-nyata sedang terjadi, setidaknya akan mampu memberikan gambaran idealisme demokrasi sosial Indonesia. Demokrasi yang dibangun atas kebijaksanaan lokal masyarakat Indonesia. Tulisan buku yang runtut, logis, dan bernas ini memungkinkan semua kalangan mengakses dan membaca karya Proklamator Republik Indonesia. Walau demikian, buku yang ditulis dengan ejaan lama ini memberikan tantangan tersendiri bagi para pembaca. Terlepas dari situ, membaca buku ini setidaknya akan meneguhkan nalar kritis atas kondisi demokrasi saat ini dan membangun imajinasi demokrasi sosial yang ideal bagi Indonesia.

Referensi:

Asrun, A. M. (2016). Hak Asasi Manusia Dalam Kerangka Negara Hukum: Catatan Perjuangan di Mahkamah Konstitusi. Jurnal Cita Hukum, 4(1).
Hatta, M. (1960). Demokrasi Kita. Pandji Masjarakat.
Rais, M. A. (2008). Agenda mendesak bangsa: selamatkan Indonesia! PT Mizan Publika.
Rochman, S., Utomo, H. D., Agiyanto, U., & Mariono, I. (2022). Demokrasi Desa Menurut Mohammad Hatta: Gagasan Pemilu Kerakyatan di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Program Doktor Ilmu Hukum, 50–61.

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Buka Bersama di Rumah Pendeta

Oleh: Muhamad Sidik Pramono Langit Salatiga Senin sore 18 Maret...

Tak Semua Peperangan Harus Dimenangkan: Tentang Pekerjaan, Perjalanan dan Pelajaran

Tulisan-tulisan yang ada di buku ini, merupakan catatan perjalanan...

Moearatoewa: Jemaat Kristen Jawa di Pesisir Tegal Utara

Sejauh kita melakukan pelacakan terhadap karya-karya tentang sejarah Kekristenan...

Bertumbuh di Barat Jawa: Riwayat Gereja Kristen Pasundan

Pertengahan abad ke-19, Kekristenan mulai dipeluk oleh masyarakat di...

Pengaruh Lingkungan Pada Anak Kembar yang Dibesarkan Terpisah

Anak kembar adalah istilah yang digunakan untuk merujuk kepada...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini