Terputusnya Agama dari Kesalehan Publik

Judul buku: Negara, Agama dan Hak-hak Asasi Manusia

Penulis: Otto Gusti Madung

Penerbit: Penerbit Leralero

Tebal Buku: 176 Halaman

Peresensi: Mustaqim

 

 

Negara Agama HAMMaraknya kekerasan atas nama agama di Indonesia mengungkapkan kegagalan negara dalam melindungi hak-hak asasi warganya. Selain itu, terjadinya kekerasan juga bersumber dari pemahaman yang keliru atas konsep relasi antara agama dan negara, moralitas privat dan moralitas publik.

Kekeliruan pradigmantis dalam memahami relasi itu tercermin dari banyaknya produk perundang-undangan yang membolehkan negara turut mengatur ranah privat. Hal ini oleh penulis buku dinilai bertentangan dengan prinsip hak-hak asasi manusia.

Dalam filsafat politik perfeksionisme hal ini dipahami sebagai keyakinan di mana tugas negara ialah mewujudkan idealisme kesempurnaan totalistik tertentu. Model perfeksionisme mirip dengan liberalisme karena keduanya merupakan bentuk dari indovidualisme normative etis.

Namun manusia sebagai individu selalu berada dalam bahaya, lemah dan tidak mampu berbuat apa-apa. Untuk itu dibutuhkan sebuah komunitas politis yang dapat membantunya dalam mengembangkan kemampuan-kemampuan alamiah tersebut.

Dari perspektif perfeksionisme, negara bertujuan membantu individu dalam meraih kesempurnaan. Kaum liberal pada umumnya berkeberatan dengan konsep perfeksionis ini. Alasannya, dalam pandangan perfeksionis kebahagiaan bukan lagi menjadi urusan privat setiap warga, melainkan diambil alih oleh negara.

Liberalisme dibangun atas distingsi yang tegas antara masalah keadilan dan konsep hidup baik. Moralitas publik dan moralitas privat atau politik dan agama. Pada tataran akal budi praktis, agama-agama menemukan konsensus dan dapat melampaui batas-batas primoldialnya.

Bahkan agama yang telah mengalami transpormasi ke dalam gramatik etika universal, dapat berperan di ruang publik dan memberikan landasan etis dalam kehidupan sosiopolitik. Nilai-nilai agama transfprmatoris merupakan alternative solusi terhadap bahaya privatisasi agama dan konsep hidup baik lainnya dalam leberalisme.

Baca Juga  Membendung Ekstremisme Beragama

Di Indonesia konsep ini dijalankan oleh Pancasila. Pancasila tidak menghendaki adanya negara agama. Ketika agama-agama boleh berkiprah di ruang publik, akan tetapi Pancasila juga tidak sepakat dengan pandangan kaum liberal yang memandang agama sebagai persoalan privat semata.

Pancasila menghendaki agar nilai-nilai agama diterjemahkan menjadi moralitas publik. Mengingat pentingnya peran publik agama, Pancasila membuat koreksi atas tesis “privatisasi” agama kaum liberal dan menganjurkan paradigma diferensiasi dalam relasi antara agama dan negara.

Ketika agama tersudut dari ruang publik keruang privat, yang muncul adalah ekspresi psiritualitas personal yang terputus dari kehidupan publik. Sebaliknya, politik sekuler memandang rendah nilai-nilai agama dan mengabaikan signifikansi moral ketuhanan.

Kendati demikian, agama tetap berpengaruh dalam hidup manusia, masyarakat moderen cenderung melihat agama sebagai persoalan privat atau masalah hidup baik. Karena itu pemisahan antara agama dan politik merupakan salah satu penemuan modern yang penting.

Namun paradigma ini nampaknya mulai goyah ketika sejak awal tahun 90-an tema agama kembali meramaikan diskursus di ruang publik (46). Pada tingkat global terdapat kebhinekaan bentuk masyarakat, maka secara sosiologis pemisahan secara tegas antara yang privat dan yang publik serta peminggiran agama ke ruang privat menyisakan banyak persoalan.

Dalam lingkungan kebudayaan Barat sendri konsep pemisahan liberal antara ruang public dan privat ini dikritik secara tegas oleh kaum komunitarian seperti Michael Walzer (Frenkfurt am Main: 1992) misalnya. Jika pemisahan antara kedua bidang ini tidak bersifat dikotomis tapi cair, maka dalam diskursus publik kita juga dapat berdiskusi secara rasional tentang pandangan hidup. (56).

Prinsip modern seperti demokrasi pada paham hak-hak asasi manusia yang menjadi titik pijak politik di Indonesia pasca reformasi. Faham hak asasi manusia sebagai sebuah konsep universal membutuhkan lokus kontekstualitas di Indonesia agar menjadi bagian dari hidup masyarakat.

Baca Juga  Kedigdayaan Alam Bawah Sadar

Pancasila mencegah bahaya privatisasi konsep hidup baik seperti dipraktikan dalam masyarakat liberal. Hak-hak asasi manusia merupakan norma yang mengukur secara kritis tindakan negara.  Dalam arti ini HAM bersifat universal karena validitasnya tidak bergantung pada pengakuan faktis dan tatanan politis tertentu.

Teori diskursus memberikan tawaran untuk menjalankan basis normatif bersama dari hukum dan moral serta sekaligus menunjukan perbedaan spesifik antara norma-norma moral, hukum dah HAM.

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

De Las Casas dan Perlawanan atas Kolonialisme: Cikal Bakal Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Bartolomé de las Casas (1485–1566) adalah seorang...

Tiga Tema Alkitab sebagai Basis Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam "Justice and Only Justice: A Palestinian...

Kekristenan Palestina dan Teologi Pembebasan: Berguru Pada Naim Stifan Ateek

Oleh: Tedi Kholiludin Ia adalah seorang Palestina dan bekerja sebagai...
Artikel sebelumnya
Artikel berikutnya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini