Oleh: Sumanto Al Qurtuby

Suatu saat saya pernah diajak professor missiologi Lawrence Yoder mengikuti kebaktian Minggu di Gereja Mennonite Park View yang tidak jauh dari apartemen tempat saya tinggal. Ini bukan yang pertama kali saya berkunjung ke gereja. Sudah tidak terhitung lagi berapa kali saya mengunjungi gereja-gereja Kristen baik Katolik maupun Protestan, baik di AS ini maupun di Indonesia. Salah satu “hobi” saya memang “keluyuran” ke tempat-tempat ibadah “orang lain”. Rasanya sangat nikmat, mengasyikkan dan menggairahkan. Dengan berkunjung ke “rumah-rumah Tuhan” itu, semakin membuka hati dan pikiran saya tentang keagungan Tuhan SWT. Betapa Dia, sosok yang sangat misterius itu dipuja dimana-mana dengan cara yang beraneka ragam. Sangat unik. Di masjid, umat Islam memuji Tuhan dengan tutup kepala tanpa alas kaki, kemudian sembahyang dengan gerakan tertentu, setelah itu duduk bersila menghadap kiblat kemudian merapalkan “mantra-mantra” bahasa Arab dengan penuh khidmat. Di gereja, umat Kristen memuji Tuhan dengan pakaian “formal” lengkap dengan sepatu tapi tanpa tutup kepala. Sangat necis. Mereka duduk khusyuk di kursi sambil merapalkan “nyanyian rohani”. Hanya saja, kesan saya, gereja Protestan lebih “egaliter” dan “fleksibel” ketimbang gereja Katolik yang kelihatan sakral dan penuh khidmat. Sementara itu orang Yahudi memuji Tuhan di sinagog dengan pakaian lengkap alas kaki dan tutup kepala.
Dengan nada sindiran, teolog moderat John Hick dalam God Has Many Names, menyebut perbedaan Islam-Kristen-Yahudi hanya terletak di tutup kepala dan alas kaki. “Saudara tua” Yahudi mengsyaratkan tutup kepala dan alas kaki kalau ke sinagog, Kristen melarang tutup kepala dan mewajibkan alas kaki kalau ke gereja, sementara si bungsu Islam, melarang pakai alas kaki kalau ke masjid tapi membolehkan tutup kepala. Agama memang harus punya identitas kultural jika tidak ingin dicap “imitasi” dan “bajakan”. Ingatlah kasus perubahan arah kiblat umat Islam dari Masjidil Aqsha di Palestine ke Ka’bah di Mekkah. Apakah alasan perubahan arah kiblat itu karena Muhammad mendapat “wangsit” dari Tuhan atau karena Yerusalem juga menjadi tempat pemujaan bagi Yahudi dan Kristen, itu tidak penting bagi saya. Identitas kultural ini memang sangat penting dalam sebuah agama agar ajaran-ajarannya tetap terawat dengan baik oleh umatnya. Suatu saat saya ingin membuat buku hasil “spiritual journey” saya ke rumah-rumah Tuhan itu seperti apa yang pernah dilakukan oleh intelektual top dunia dari Malaysia, Ziauddin Sardar.
Alasan inilah yang membuat saya mengiyakan saja ajakan Lawrence ke gereja tadi meskipun cuaca di AS waktu itu sangat dingin mencapai –15 C. Khotbah Minggu pada waktu itu disampaikan oleh Pastor Phil Kniss. Sang pastor menyampaikan risalah tentang godaan dunia (temptation) yang harus dihindari oleh umat Kristen yang taat pada Jesus Kristus agar tidak tergelincir ke dalam jurang kesesatan, menjadi “domba-domba” yang sesat. Godaan duniawi yang dimaksud sang pastor adalah kekuasaan, uang/materialisme dan Hollywood. Lo ada apa dengan Hollywood? Sang pastor menjelaskan bahwa Hollywood adalah simbol sekularisme dan liberalisme sekaligus. Kita tahu kota di distrik Las Angeles, California ini adalah tempat produksi film paling top di muka bumi, tempat berkumpulnya para seleb papan atas dunia, dan tempat mengadu nasib bagi orang-orang dari segala penjuru dunia yang tergiur dengan kemegahan, kemewahan dan kenikmatan duniawi. Banyak orang rela mengorbankan harga diri dan identitas diri demi mengejar popularitas dan “ke-wah-an” hidup di Hollywood. Bagi sang pastor, Hollywood adalah simbol kebebasan tanpa batas, tanpa norma, tempat berkumpulnya para pendosa, dsb.
Mungkin Hollywood ini tepat disebut sebagai ikon “secular city” meminjam istilah Harvey Cox, yakni sebuah kota yang didesain sendiri oleh manusia dengan kekuatan akalnya tanpa meminta pertolongan Tuhan. Sebuah “kota sekuler” dengan begitu berarti “kota yang anti-Kristus”, atau minimal jauh dari “pesan-pesan moral Tuhan”. Makhluk apakah sekularisme itu sehingga banyak orang yang membenci dan mengutuknya sebagai sumber kesesatan, dari Gereja Park View Mennonite di Virginia sampai Majelis Ulama Indonesia di Jakarta. Menurut definisi Webster’s Ninth New Collegiate Dictionary, sekularisme (secularism) berasal dari akar kata secular (New English), seculer (Old French), saecularis (Late Latin), saeculum (Latin) yang berarti sebuah paham yang “indifference to or rejection or exclusion of religion and religious considerations”. Singkatnya, paham yang menolak wawasan “serba agama” (dan karena itu “serba Tuhan”).
Sekularisme muncul sebagai reaksi dan “anti tesis” terhadap pandangan manusia yang menjadikan agama sebagai satu-satunya alat barometer untuk mengukur jalannya kebudayaan dan sejarah kemanusiaan. Kaum sekuler berpandangan bahwa agama memiliki keterbatasan sehingga tidak bisa mengatur semua urusan kebudayaan manusia yang sangat kompleks. Ada kawasan-kawasan yang tidak bisa dijamah oleh agama seperti seni, pengetahuan dan teknologi. Di pihak lain, kaum agamawan berpendirian bahwa agama harus mengatur semua gerak-gerik manusia dari bangun tidur sampai tidur lagi, dari urusan domestik sampai public sphere, dari masalah moral-ethic individual sampai masalah politik kenegaraan. Singkatnya, dari urusan dunia sampai akhirat. Bagi kaum agamis, dunia ini harus didesain menurut hukum-hukum Tuhan, bukan akal manusia.
Dalam dunia keagamaan, ide seperti ini bukan hal baru. Kita masih ingat ketika Santo Agustinus (kurang lebih di abad ke-5), seorang pastor dan uskup yang masa mudanya dikenal bengal, menulis risalah “Kota Tuhan”. Risalah ini tidak lain diinspirasi oleh konsep The Kingdom of God (“Kerajaan Allah”) dalam Bible. Puncak persetruan kelompok sekularis dengan agamawan ini terjadi di Eropa (terutama di Perancis, Jerman, Inggris, Swiss, Belanda) pada abad pertengahan bersamaan dengan gerakan renaisance di Perancis, aufklarung di Jerman dan seterusnya. Para pendukung gagasan sekuler ini menuntut pemisahan agama dan negara (the separation between church and state). Negara, kata mereka, tidak mempunyai wewenang untuk mengatur masalah keagamaan. Agama harus independen terpisah dari kekuasaan politik. Persetruan itu tidak hanya sebuah wacana yang terjadi di gereja-gereja dan ruang-ruang diskusi tetapi mengkristal dan mengeras menjadi sebuah peperangan yang mengerikan dalam sejarah Kristen antara Protestan dan Katolik yang memakan korban jutaan jiwa.
Pertempuran berdarah itu menyebabkan banyak orang Kristen Eropa hijrah ke AS untuk mencari suaka baru (settlement) yang aman. Amerika ini memang tergolong benua baru terutama bila dibandingkan dengan Africa apalagi Asia yang sangat kuno. Jika menggunakan ukuran Columbus, maka baru abad ke-15/16, itu pun kita masih belum tahu Amerika belahan mana yang ia temukan. Karena itu jangan heran kalau penduduk AS kini mempunyai leluhur dari negara-negara di Eropa. Belakangan kelompok Hispanic dari Amerika Tengah dan Latin yang menempati 9% dari total warga AS. Penduduk asli Amerika tidak lain adalah suku Indian yang sekarang jumlahnya sangat terbatas dan berada di pinggiran AS karena tergusur dan digusur oleh “orang-orang kulit putih”. Karena nenek moyang bangsa AS merupakan kaum imigran (pelarian) dari Eropa, maka jangan heran kenapa bentuk pemerintahan AS itu federalisme yang menolak “kesatuan agama dan negara” dan memberi kebebasan demokrasi pada tingkat lokal dan individu. Mereka trauma pada sistem politik model Eropa klasik yang sentralistik dan tidak terkontrol. Konsep penyatuan kekuasaan agama (gereja) dan negara adalah bagian dari kekuasaan politik yang tidak terkontrol itu yang menyebabkan pertumpahan darah sesama umat Kristen selama hampir 200 tahun. Etos pemisahan agama dan negara inilah yang kemudian “melambungkan” citra AS sebagai negara sekuler dan liberal. Untuk memelihara spirit liberalisme dan sekularisme, gereja-gereja protestan seperti Methodist, Presbyterian, Anabaptist, Evangelical, Mennonite, dll kemudian mendirikan seminari-seminari (sekolah teologi). Dari sini kemudian berkembang universitas-universitas terkemuka di AS. Hampir semua universitas-universitas top di AS awalnya adalah seminari itu tadi. Maka jangan heran kalau usia universitas-universitas papan atas di AS sudah ratusan tahun. Tampaknya, mereka sadar, hanya melalui kampus, gagasan-gagasan besar bisa diproduksi dan disebarkan. Instrumen politik dalam bentuk negara terbukti gagal total dalam memelihara ide dan spirit kekristenan.
Tetapi anggapan Amerika yang sekuler dan liberal itu sebetulnya hanyalah satu sisi saja dari sejarah dan wajah Amerika. Sisi lain dari wajah Amerika adalah “fundamentalisme” dan konservatisme. Meskipun pada mulanya, nenek moyang warga AS adalah kumpulan orang-orang sekuler dan liberal yang menentang dogmatisme, scripturalism dan segala bentuk kemapanan agama/gereja tapi lambat laun sebagian dari generasi mereka justru menjadi penganut/pengikut konservatisme baru dan menjadi kaum fundamentalis Kristen. Dari sini maka muncul tesis: sebuah paham keagamaan yang sekuler dan liberal pun bisa berubah menjadi sebaliknya (konservatif dan fundamentalis) jika paham tersebut diyakini kebenarannya. Karena “keyakinan” akan kebenaran ajaran yang mereka bawa itulah, maka mereka kemudian membangun benteng pertahanan (fortress) untuk melindungi serbuan gagasan dari luar. Disinilah maka ide tentang “truth claim” itu sangat berbahaya karena bisa menciptakan suatu wawasan teologi yang eksklusif dan sempit. Maka, sangat tepat sekali jika Qur’an mengatakan bahwa “Hanya Tuhan-lah kebenaran sejati” selebihnya adalah relatif dan nisbi belaka karena hasil dari interpretasi pemikiran manusia yang serba terbatas. Karenanya, sesuatu yang nisbi tidak sepantasnya diabadikan, dipeluk erat-erat, apalagi sampai dikekalkan.
Orang-orang Kristen fundamentalis dan konservatif itu sekarang sedang mendapat angin di AS. Kita tahu pemerintahan Bush saat ini didukung penuh oleh orang-orang Evangelis Putih, Baptis, dll yang sangat konservatif. Merekalah yang berjasa mengantarkan Bush ke Gedung Putih sampai dua kali. Tanpa mereka, mustahil Bush bisa memenangkan kursi kepresidenan. Sebab pada diri Bush hampir tidak ada yang bisa “dijual”: wajah pas-pasan, intelektualnya apalagi. Hanya satu modalnya Bush: “pura-pura menjadi Kristen yang saleh” dengan cara menolak aborsi dan homoseksual yang dilarang dalam Alkitab. Dalam sekejap “kesalehan” Bush itu mendapat simpati dari publik Kristen yang konservatif. Para pendeta kemudian menggalang suara dan memobilisasi massa melalui gereja-gereja. Di hadapan massa fanatikus Kristen, para pendeta berkhotbah tentang “kesalehan” Bush dan “ketidaksalehan” John Kerry. Massa Kristen konservatif yang solid (padat) semakin mempermudah untuk mendulang suara. Hasilnya menakjubkan. Diluar dugaan, Bush yang dikecam karena hobi perang dan menghabiskan budget negara AS itu, tiba-tiba mampu menyalip John Kerry yang diunggulkan.
Maka, tokoh-tokoh Kristen fundamentalis yang berjasa mengantarkan Bush ke Gedung Putih seperti Bill Graham, Jerry Falwell, Pat Robinson (keduanya tinggal di Virginia) memiliki pengaruh yang sangat kuat untuk mempengaruhi kebijakan politik Bush. Merekalah yang terus mengompori Bush untuk mengobarkan semangat “War on Terrorism” dan memerangi Iraq. Demi memenuhi tuntutan “teologis” orang-orang konservatif Kristen ini, Mr. Bush rela melakukan kebohongan publik. Dunia tahu, “War on terrorism” dan WMD (Weapons of Mass Destruction—senjata pemusnah massal) sebetulnya hanyalah baju dan akal-akalan belaka dari Bush, tujuan utamanya adalah hendak menaklukkan negara-negara yang dianggap menjadi “musuh-musuh” AS. Dalam buku laris State of War, penulis James Risen yang juga jurnalis New York Times, menyebutkan dengan gamblang bagaimana bentuk-bentuk kebohongan itu termasuk persekongkolan CIA, Bush dan Blair. Dengan mengutip surat rahasia yang terkenal dengan nama Downing Street Memo, Risen berkesimpulan bahwa Afghanistan dan Iraq bukanlah yang terakhir, masih ada yang diincar Bush, yakni Saudi, Iran, Pakistan dan Korea Utara. “We wanted to go beyond Iraq,” kata Bush kepada Tony Blair dalam sebuah pembicaraan telephone rahasia pada Januari 2003.
Inilah masa titik balik sejarah AS. Negara yang dikenal publik sebagai kampium demokrasi dan tempat bersemainya ide-ide liberal dan sekuler itu tiba-tiba dikritik dimana-mana di seluruh pelosok dunia termasuk oleh orang-orang Kristen AS sendiri yang menolak “kebijakan” perang Bush seperti kelompok Sojourners, aktivis pacifist dan Christian peacemakers yang mencintai perdamaian dan menolak segala bentuk kekerasan terhadap masyarakat sipil. Belum lama ini, salah satu dari teman kuliah saya di Center for Justice and Peacebuilding, Tom Fox, dari American Christian peacemaker, meninggal di Iraq karena diculik kemudian dibunuh oleh para militan disana dalam menjalankan misi perdamaian global. Oleh para pengkritik, Bush dianggap tidak memiliki hati nurani, mengembangkan demokrasi semu, anti kemanusiaan, sibuk dengan urusan teologis dan private (seperti homoseksual dan aborsi), serta terlalu “larut ke kanan” (baca, mengeblok kelompok konservatif). Sekedar diketahui, dalam setahun Bush menghabiskan US$ 400 Milyar untuk departemen pertahanan (Department of Defense), sementara US Department of Peace hanya mendapat jatah US $ 8 Milyar!
Itulah AS. Maka asumsi bahwa AS adalah negara sekuler dan liberal dan surga bagi pecinta kebebasan tidak 100% benar. Begitu pula sebaliknya, anggapan bahwa AS adalah sarang orang-orang Kristen konservatif dan fundamentalis yang anti-Muslim dan gemar perang juga tidak 100% benar. America bukanlah kumpulan dari orang-orang yang memiliki pandangan yang seragam dan homogen. Orang-orang America, sebagaimana orang-orang Indonesia, Arab, China dan suku-suku bangsa lain, bukanlah “a rigidly constructed machine.” Setiap masyarakat manusia (human society) terdiri atas individu-individu yang memiliki kebutuhan, keinginan, tendency, dan kepentingan yang berlainan satu sama lain. Maka, menilai kebudayaan suatu bangsa dari optik “Aristotalian” yang “hitam-putih” sudah sangat kedaluarsa dan ketinggalan zaman. Di America sendiri ada kelompok-kelompok Kristen fundamentalis dan konservatif seperti sekte Amish, Old Order Mennonite, Betel, Baptis, Evangelis dan lain-lain, tetapi ada juga yang sangat moderat dan bahkan liberal. Yang sering dianggap sebagai sarang liberalisme di AS, al, Union Seminary di New York, Harvard Divinity School, Hartford Seminary, Graduate Theological Union di Berkeley, dll.
Dari sinilah maka terasa aneh di telinga saya, ketika mendengar anggapan dan tuduhan sebagian saudara-saudara Muslim bahwa pemikiran moderat, sekuler dan liberal yang berkembang di Indonesia karena pengaruh AS. Dan para pengusung gagasan sekularisme, liberalisme, demokrasi, pluralisme, feminisme, dll dianggap (dituduh) sebagai agen Barat-Kristen (baca, AS). Bagaimana mungkin AS dikatakan sebagai negara sekuler kalau dalam mata uang mereka (US dollar) saja masih tertulis “In God We Trust”. Bagaimana mungkin AS disebut sebagai negara yang memisahkan urusan gereja dan negara, sementara keputusan-keputusan politik banyak yang diputuskan di gereja. Bagaimana mungkin AS disebut sebagai negara sekuler dan liberal jika aborsi dan homoseksualitas dilarang keras. Apa arti semua ini? Bagi saya, AS itu sekuler tidak sekuler.