Oleh: Tedi Kholiludin
Apakah pernikahan agama itu sesuatu yang dibolehkan di Indonesia atau tidak?
Kebolehan dan ketidakbolehannya tentu harus jelas dari sudut mana ia dilihat. Sah atau tidaknya tergantung dari perspektif apa yang digunakan. Apakah dari sisi hukum, agama atau sosial. Tiga perspektif itu tidak hendak saya bidik semuanya, hanya satu saja yakni sudut pandang sosiologis. Saya hanya akan melihat bagaimana pernikahan beda agama itu sebagai sebuah kenyataan, fakta sosial yang ada dan dilakukan oleh masyarakat.
Pernikahan beda agama dalam fiqih di Indonesia yang bisa dimengerti melalui Kompilasi Hukum Islam misalnya, menegaskan bahwa pernikahan beda agama adalah sesuatu yang diharamkan. Dalam pasal 40 KHI, dinyatakan: Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu: (3) seorang wanita yang tidak beragama Islam. Sementara dalam pasal 44 ditegaskan, ”Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam. Dan pasal 61”Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama atau ikhtilaf al-din.”
Di negara dengan penduduk yang beragam seperti Indonesia, pernikahan antara pasangan yang berbeda keyakinan sangat dimungkinkan. Bahkan kita tidak sulit menjumpai pasangan yang menikah beda agama. Fenomena ini tidak merupakan sebuah gejala yang bersifat kasuistik, tetapi kejadian yang banyak ditemukan.
Sistem hukum di Indonesia mengenal pencatatan pernikahan berdasarkan agama. Bagi pasangan Muslim di Kantor Urusan Agama (KUA) dan pasangan non Muslim di Kantor Catatan Sipil (KCS). Pasangan yang berbeda agama (khususnya pasangan Muslim-Non Muslim), tentu akan berhadapan dengan aturan tersebut. Dimana pernikahan mereka dicatatatkan, KUA atau KCS? Dan sekali lagi, hingga saat ini, ada pasangan yang melakukan pernikahan itu, dan juga bisa dicatatkan di KCS.
Siasat Mencatatkan Pernikahan
Saya setidaknya mengidentifikasi empat siasat pasangan nikah beda agama yang hendak mencatatkan dan menjadikan pernikahannya sebagai sebuah perjanjian yang sah demi hukum.
Pertama, menikah di luar negeri. Beberapa negara yang biasa dijadikan sebagai tempat menikah dan kemudian mencatatkan pernikahannya antara lain, Singapura, Inggris dan Kanada. Di Singapura misalnya, negara yang memisahkan antara agama dan negara, pernikahan beda agama tidak mendapatkan resistensi dari sisi legal. Syarat utama menikah di Singapura adalah yang bersangkutan harus tinggal di Singapura minimal 20 hari berturut-turut. Setelah syarat itu dipenuhi, calon pengantin baru mulai dapat mengurus administrasinya secara online di gedung Registration for Married. Pemerintah Singapura memberikan layanan perkawinan dengan pendaftaran online baik bagi warga negara Singapura, permanent resident, maupun foreigner 100%. Hanya dalam waktu 20 menit mendaftarkan diri ke legislasi perkawinan Singapura dengan biaya paling banyak 20 dollar Singapura, tanpa mempermasalahkan beda agama, pasangan mendapatkan sertifikat perkawinan legal dan bisa diterima oleh hukum manapun di dunia.
Perkawinan beda agama yang dilakukan di luar negeri sah adanya jika dilakukan berdasarkan hukum yang berlaku di negara tersebut. Namun, dalam UU Perkawinan disebutkan bahwa pasangan yang menikah di luar negeri tetap harus melaporkan perkawinannya di KCS Indonesia. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 56 ayat (2) UU Perkawinan: “Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami isteri itu kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka.” Tujuannya adalah agar perkawinan itu diakui oleh hukum Indonesia.
Kedua, pencatatan perkawinan dilakukan di salah satu KUA atau KCS dengan salah satu pasangan “mengalah” dan kemudian mengikuti agama pasangannya. Karena syarat pencatatan perkawinan harus sah menurut agama dan kepercayaannya, maka jalan pintas yang kerap diambil oleh pasangan yang berbeda agama adalah salah satu diantara mereka “mengalah” untuk berpindah agama. Jika sudah demikian, maka pencatatan perkawinan bisa dengan mudah dilakukan.
Ketiga, pencatatan pernikahan dilakukan di KCS, namun kedua pasangan tetap dengan terbuka menunjukan identitas agama yang berbeda. Mereka meyakini bahwa pernikahan beda agama adalah sah secara teologis. Dalam kasus pernikahan muslim dengan non muslim, maka biasanya pencatatan tidak dimungkinkan dilakukan di KUA.
Keempat, pencatatan oleh pemuka penghayat kepercayaan. Saya tidak mengetahui banyak kasus yang berkaitan dengan hal ini, kecuali satu pasangan yakni Yusuf Waluyo Jati (berKTP Islam) dan Lusia Lilik Hastutiani (Katolik) pada tahun 2010. Mereka menikah secara sah di depan pemuka penghayat kepercayaan tanpa merubah identitas agamanya. Yusuf tetap seorang Muslim dan Lusia Lilik tetap dalam imannya sebagai Katolik. Setelah pernikahannya sah menurut penghayat kepercayaan, keduanya baru kemudian mendapatkan akta pengesahan dari KCS. Saya mengkonfirmasi hal ini kepada beberapa pemuka penghayat kepercayaan di Jawa Tengah dan mereka membenarkan tentang prosesi pengesahan ini. Ada penghayat kepercayaan yang sudah mendapatkan sertifikat dari negara untuk mengesahkan pernikahan beda agama ini. Aturan yang terkait dengan hal ini bisa dilihat dalam UU Adiministrasi dan Kependudukan (Adminduk) tahun 2006 yang kemudian direvisi tahun 2013.
Kekosongan Hukum
Sekedar mereview, peraturan tentang pernikahan ada dalam Undang-undang (UU) Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam Pasal 2 ayat (1) dinyatakan bahwa “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Lalu dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1), menyatakan bahwa “Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan UUD 1945”. Kita juga bisa mencermati pasal 8 huruf (f) “perkawinan dilarang antara dua orang yang ; mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.”
Apakah UU Perkawinan sama sekali melarang pernikahan beda agama?
UU No. 1 tahun 1974 menegaskan bahwa perkawinan mestinya mencerminkan nilai religius. Perkawinan tidak hanya persoalan yang bersifat sekuler, tetapi juga religius. Bahkan sah menurut agama menjadi syarat pencatatan perkawinan. Meski demikian, mengapa kemudian muncul banyak siasat seperti yang disebutkan diatas?
Jika pasal 2 itu kemudian diartikan bahwa perkawinan yang sah itu adalah perkawinan yang dilakukan oleh pasangan yang seagama, maka tentu saja pernikahan beda agama bisa tertolak menurut aturan ini. Jika hukum agama tertentu melarang pernikahan dengan pasangan yang berlainan keyakinan maka aturan ini secara formal melarang pernikahan beda agama. Namun, secara eksplisit (expressis verbis), sesungguhnya tidak ada teks yang jelas-jelas melarang nikah beda agama ini. Pasal 2 hanya menghendaki agar perkawinan yang dilakukan adalah sah secara agama. Jika ada hukum agama yang memungkinkan bisa dilakukannya pernikahan beda agama, maka UU ini tentu harus mengakomodirnya. Disinilah muncul “kekosongan hukum” dalam persoalan nikah beda agama di Indonesia (Lukito, 2008).
Tapi setidaknya, ada 4 respon dari ilmuwan hukum tentang masalah ini. Pertama, kalangan ilmuwan yang berasal dari kelompok agama. Mereka berpendapat bahwa pernikahan beda agama sama sekali tidak boleh dilakukan. Pernikahan seperti itu tidak dilegalkan oleh hukum di Indonesia, begitu pula efek lanjutan yang terjadi pasca pernikahan. Sehingga hal yang harus dilakukan adalah menghindari pernikahan model tersebut.
Respon kedua adalah ilmuwan yang lebih pragmatis dan berpendapat sama, bahwa salah satu dari pasangan tersebut harus “mengalah,” karena sehingga pernikahan antar agama bisa dihindari, karena tidak sah secara hukum. Jika tidak, maka mereka menganut prinsip hukum Belanda, bahwa istri akan menuruti hukum yang dianut oleh suami.
Kelompok ketiga adalah mereka yang percaya bahwa pernikahan beda agama itu bisa dilakukan dan legal di Indonesia setelah sebelumnya ada perjanjian antara kedua belah pihak tentang hal lain yang terjadi sebagai efek dari pernikahan. Misalnya, bagaimana soal agama yang dianut anak-anaknya, apakah mengikuti suami atau istri.
Sementara kelompok terakhir adalah mereka yang memandang pernikahan dari sisi pemenuhan hak asasi manusia. Mereka memandang kalau memilih pasangan adalah hal yang paling asasi dan tidak dibatasi oleh latar belakang apapun, termasuk agama. Perbedaan agama, keyakinan bukanlah halangan seseorang untuk membangun rumah tangga.
Pada praktiknya, empat hal biasanya muncul dari pasangan beda agama yang hendak menikah (Nurcholish: 2004). Pertama, terkait dengan sah atau tidaknya pernikahan tersebut dari sisi agama. Kedua, soal penerimaan secara sosiologis dari keluarga. Ketiga, tentang tata cara pernikahan itu sendiri. Keempat, bagaimana soal agama sang anak.
Terhadap pernikahan beda agama, yang muncul memang selalu asumsi spekulatif. Misalnya, karena perbedaan keyakinan, maka keluarga dikhawatirkan akan terjadi banyak konflik ketimbang harmoni. Padahal, konflik tak hanya muncul karena perbedaan keyakinan. Keluarga yang sama keyakinannyapun tak jarang didera konflik. Jadi masalahnya hanyalah bagaimana mengelola konflik. Muncul juga asumsi bahwa pernikahan beda agama akan menyebabkan konflik dalam status agama anak. Ini juga asumsi, karena jika pasangan itu sudah siap menikah, maka mereka juga harus siap dengan segala konsekuensi yang ditimbulkan akibat menikah, termasuk keyakinan anak. Setidaknya dua asumsi itulah yang kerap dinisbatkan pada mereka yang menikah dengan pasangan beda agama.
Terakhir, saya kira menarik untuk sekedar merenungkan ujaran Eka Darmaputera (via Mujiburrahman: 2006). Katanya, “Like religion, love is very personal. It could be imposed from outside, but it can only live and grow from inside. Like religion, love is very human. It must see human as human.”