Identitas Agama Akibatkan Penghayat Terpojok

[Kudus –elsaonline.com] Penghayat kepercayaan Kabupaten Kudus selama ini merasa terpojok dengan adanya identitas agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP). Penghayat menilai, dengan adanya identitas agama di KTP mereka kerap mendapat perlakuan tidak menyenangkan.

”Kami merasa terpojok dengan adanya identitas agama di KTP. Karena itu, menurut kami sebaiknya identitas agama di KTP dihapus. Baik untuk penghayat kepercayaan maupun untuk yang beragama,” pinta Penganut Penghayat Kepercayaan Pramono Sejati Kudus, Kamto, saat dihubungi via telpon, Rabu (19/11/14).

Kamto merasa, selama ia menjadi penghayat kerap mendapat perlakuan yang membuat ia tak nyaman. Salah satunya dalam akses layanan publik. Menurutnya, hakikat KTP dengan agama dua entitas yang berbeda. Sehingga kepentingannya pun harus dibedakan.

”Kartu Tanda Penduduk itu menyangkut soal hak-hak sipil, salah satunya dalam hal layanan publik. Sementara agama itu menyangkut kerohanian, sehingga urusan keyakinan,” lanjutnya. Urusan kerohanian adalah urusan keyakinan seseorang yang paling privat sehingga tak relevan jika dicampurkan dengan urusan publik.

Keberagaman

Ia mengaku, persoalan yang mereka hadapi sebagai penghayat sudah disampaikan kepada Pemkab Kudus. Ia menyampaikan itu ketika diberi kesempatan untuk berbicara pada agenda yang diselenggarakan oleh Pemkab Kudus.

”Saya kemarin (4 November 2014-red) sudah menyampaikan makalah di Kabupaten Kudus, Saya menyampaikan keberagamaan nusantara untuk kerukunan umat beragama,” terangnya. Salah satu yang ia sampaikan soal identitas agama yang menghambat terjadinya perdamaian ditengah keberagaman.

Mengenai identitas agama di KTP, ia menyinggung sejarah mengapa itu terjadi. Kamto menyatakan, awal pada waktu Belanda membuat aturan tentang agama ada kekeliruan. Kala itu, menurutnya, yang tidak beragama resmi negara, dimasukan kedalam agama Islam.

”Kala itu, bagi yang tidak menganut terang-terangan agama resmi, dinyatakan dan dimasukan menganut agama Islam. Maka otomatis kemudian penghayat seakan hilang,” sesalnya.

Baca Juga  ELSA Mendorong Tumbuhnya Madrasah Inklusif

Dalam pembicaraan akhirnya, ia menyinggung soal dasar negara. Selama ini ia juga memahami bahwa negara ini bukan negara Tuhan, melainkan Pancasila, rumah semua warga negara. ”Negara kita ini bukan bukan negara agama. Negara ini bukan milik yang beragama, tapi ini negara Pancasila,” tegasnya. [elsa-ol/cep-@ceprudin]

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

De Las Casas dan Perlawanan atas Kolonialisme: Cikal Bakal Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Bartolomé de las Casas (1485–1566) adalah seorang...

Tiga Tema Alkitab sebagai Basis Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam "Justice and Only Justice: A Palestinian...

Kekristenan Palestina dan Teologi Pembebasan: Berguru Pada Naim Stifan Ateek

Oleh: Tedi Kholiludin Ia adalah seorang Palestina dan bekerja sebagai...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini