Manusia, Agama dan Negara

“Di atas meja makan, masalah kemanusian terselesaikan”

Begitu kira-kira tanggapan yang muncul dalam benak saya ketika membaca buku berjudul “Tak Ada Makan-makan Setelah Ujian: John Titaley, Pelajaran tentang Hidup dan Kehidupan” yang digurit oleh Tedi Kholiludin. Buku ini diterbitkan oleh eLSA Press pada Juli 2023.

Pemaknaan letterlijk atas tanggapan itu tentu akan menimbulkan sebuah kontradiksi. Sebab, masalah kemanusiaan yang begitu rumit tidak bisa dan tidak semua terselesaikan di atas meja makan. Sehingga perlu melakukan kontekstualisasi eksternal atas kalimat tersebut. Sekiranya, meskipun dangkal, kontekstualisasi tersebut perlu dilakukan. Semalas-malasnya upaya adalah permenungan reflektif.

Kalimat berpetik di bawah judul tersebut tidak bermaksud memandang enteng masalah kemanusia. Dalam artian, makanan dapat menyelesaikan masalah kemanusia. Atau bahkan mempersempit isu kemanusiaan hanyalah pada persoalan makan. Namun, di atas meja makan, dalam beberapa cerita di buku itu ataupun pengalaman pribadi, sebuah meja makan mengantarkan siapa saja yang menyinggahinya untuk berbicara, bahkan mungkin menyelesaikan, masalah kemanusiaan. Analisis hingga strategi ikut serta hadir dalam perjamuan itu untuk mendedah perihal kemanusiaan tersebut.

Sebenarnya, kalimat tersebut berupaya menyorot sebuah tindakan yang dilakukan oleh John Titaley dalam buku karya Direktur Yayasan ELSA itu. Tiga tema besar dalam buku tersebut kemudian menjadi judul dalam tulisan ini, yaitu Manusia, Agama dan Negara.

Jika sebuah frase yang berbunyi “buktikan dengan sikap, bukan sekedar omongan”, dalam kasus tiga tema tersebut, John Titaley-lah salah satu orang yang membumikan frasa itu dalam tindakan. Meskipun mendapat sebuah gelar Guru Besar Ilmu Teologi untuk yang pertama kali di Indonesia, tidak membuat Opa John—panggilan keluarga penulis kepada Sang Guru Besar—lapar akan keduniawian.

Baca Juga  Gereja Mormon di Indonesia dan Pergulatan Membangun Identitas (bagian 1)

Ilmu Padi, “Semakin berisi-semakin menunduk”, yang mungkin menjadi dasar moralitas dari John Titaley. Upaya ketelitiannya dalam memanusiakan manusia, bahkan nampak melalui cara bagaimana dia membangun hubungan dengan setiap sesamanya sebagai manusia, mulai dari kalangan orang besar hingga kalangan orang kecil.

Dalam buku itu, John Titaley tidak pernah membedakan-bedakan antara manusia. Kecuali dalam sebuah topik tentang rasa terimakasih. “Ted, yang paling tahu terimakasih itu orang kecil”. Ungkapan John Titaley kepada Tedi Kholiludin yang tidak lagi menjadi mahasiswanya secara formal. Namun, dalam urusan hidup dan kehidupan, sang penulis buku tersebut mengaku akan tetap menjadi mahasiswa non-formal John Titaley. Menariknya, ada satu hal yang tak pernah ingin diikuti dari sosok John Titaley yang menjadi kiblat ideologi bagi sang penulis. Tetapi, rasanya saya tak memiliki kapasitas untuk menyampaikan itu disini.

Buku ini tidak membahas manusia menggunakan teori yang ketat, tetapi lebih pada sosialisasi moralitas keseharian. Tidak adak teori khusus yang digunakan penulis untuk menggali sosok John Titaley. Topik-topik perihal Manusia, Agama dan Negara mengendap dalam setiap sub-judul buku yang bersambul warna kuning dengan pose John Titaley dan seekor burung di bahunya.

Kaitan antara agama dan negara dibahas lebih detail dalam sub-judul “Mengaji Kepada Titaley”. Agama selain menjadi sebuah diktum yang termajinalkan, kaitan ini perihal agama kepercayaan yang “tidak diakui” negara, juga menjadi semacam alat yang dipolitisasi untuk menuju sebuah ketercapaian tertentu. Sedangkan perihal negara, karena negara “tidak mengakui” adanya agama kepercayaan masyarakat lokal nusantara, sebuah pertanyaan besar yang menggetarkan adalah “Negara ini punya siapa? Punya orang Indonesia atau punya orang luar?”.

Dalam urusan moralitas, kemanusiaan, hubungan domestik keagamaan ataupun lintas agama, kalau boleh berkata dan sedikit berdrama, John Titaley adalah Sang Peluru. Kapan saja siap dilontarkan untuk membinasakan sebuah narasi “Sepertinya, menjadi manusia adalah masalah bagi manusia”.

Baca Juga  Nirkekerasan dan Peace Building Dalam Islam

Barangkali hari ini saya mengenalnya melalui sebuah buku. Mungkin, dikesempatan berbeda, Tuhan menciptakan medan frekuensi yang sama sehingga membuat saya dan John Titaley dalam berjumpa.

Judul: “Tak Ada Makan-makan Setelah Ujian: John Titaley, Pelajaran tentang Hidup dan Kehidupan”
Penulis: Tedi Kholiludin
Penerbit: eLSA Press
Tahun terbit: 2023
Tebal halaman: 295 halaman
Peresensi: Dimas Hani Kusuma

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Dompet di atas Meja: Status Kesehatan dan Konfidensialitas dalam Ruang Sosial Kita

Oleh: Tedi Kholiludin Saya terbiasa meletakkan dompet di rumah pada...

Gelap itu Nyata, Bangkit itu Janji: Antara Iman dan Harapan

Oleh: Tedi Kholiludin Saat dalam perjalanan mudik untuk berlebaran bersama...

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

De Las Casas dan Perlawanan atas Kolonialisme: Cikal Bakal Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Bartolomé de las Casas (1485–1566) adalah seorang...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini