Oleh: Tedi Kholiludin
Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) adalah kelompok yang paling sering mendapat perlakukan diskriminatif oleh negara yang ditandai dengan terbitnya berbagai macam peraturan mulai dari level Bupati, Gubernur hingga Surat Keputusan Bersama 3 Menteri di level nasional. Pada data yang dikumpulkan oleh Yayasan Lembaga Studi Sosial dan Agama (ELSA), dari tahun 2001 hingga 2024, ada 67 aturan diskriminatif yang menyasar Ahmadiyah.
Peraturan itu terbaca dalam Surat Keputusan, Peraturan Bupati/Walikota, Surat Edaran dan lain sebagainya. Jumlah 67 tersebut terbatas pada aturan yang dikeluarkan oleh Gubernur, Bupati atau Walikota, tidak memasukan Surat Edaran, Surat Keputusan atau jenis regulasi lainnya yang dikeluarkan oleh aparat negara yang lain. Jika daftar tersebut menyertakan aturan yang berasal dari aparat negara lainnya seperti Kementerian Agama, Sekretaris Daerah dan seterusnya, jumlahnya tentu akan lebih besar.
Di beberapa kota seperti Lombok Barat, Mataram, Jeneponto, Lombok Timur, Tasikmalaya, Garut, dan Kuningan, peraturan yang membatasi Ahmadiyah bahkan sudah dikeluarkan sebelum ditekennya Surat Keputusan Bersama 3 Menteri tentang Pembatasan JAI pada tahun 2008. Surat yang dikeluarkan oleh Pj Bupati Kuningan nomor 200.1.4.3/4697/BKBP tentang tidak diperbolehkannya Kegiatan Jalsah Salanah JAI di Kabupaten Kuningan pada 6-8 Desember 2024, menambah panjang limitasi yang dilakukan oleh negara.
Meski berada hanya di satu desa, status JAI di (Desa) Manislor Kecamatan Jalaksana Kabupaten adalah cabang. Tak mengherankan karena anggota jemaat di desa ini bisa mencapai 3000an lebih. Belum ada data yang pasti tentang jumlah jemaat di Manislor, tapi kurang lebihnya ada di 70-75% dari seluruh warga setempat. Dengan jumlah yang besar dan terkonsentrasi di satu desa, menjadikan Manislor sebagai jemaat terbesar di Indonesia.
Persekusi terhadap jemaat Manislor yang ditandai dengan keluarnya sejumlah regulasi negara menyeruak pasca reformasi. Pada 03 November 2002 keluarlah Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Pelarangan Aliran/Ajaran JAI di wilayah Kabupaten Kuningan. Surat itu ditandatangani oleh Musyawarah Pimpinan Daerah (MUSPIDA), Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Majelis Ulama Indonesia (MUI), Pimpinan Pondok Pesantren serta organisasi masyarakat Islam di Kabupaten Kuningan.
Tak lama kemudian, tim Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Pakem) Kabupaten Kuningan mengeluarkan surat dengan No: B.938/0.2.22/Dep.5/12/2002 yang isinya; pertama, meminta kepada Kapolres untuk melakukan penyidikan terhadap pengurus Jemaat Ahmadiyah. Kedua, meminta Camat dan Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) agar tidak menikahkan Jemaat Ahmadiyah. Ketiga, meminta kepada Camat agar tidak membuatkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) bagi Jemaat Ahmadiyah.
Tahun 2004, Pemerintah Kuningan mengeluarkan SKB untuk kali yang kedua. SKB dengan Nomor: 451.7/KEP.58-Pem.Um/ 2004, KEP-857/0.2.22/Dsp.5/12/2004, kd.10.08/ 6/ST.03/1471/2004 memuat Pelarangan kegiatan Ajaran Ahmadiyah di Wilayah Kabupaten Kuningan. SKB ini ditandatangani oleh Bupati Kuningan, Kepala Kejaksaan Negeri, Kepala Kantor Departemen Agama, dan Sekretaris Daerah.
Pelarangan terhadap kegiatan Ahmadiyah kembali terbit pada 2024 melalui Surat Pj Bupati Kuningan yang dilanjutkan oleh Surat Pj Sekretaris Daerah nomor 200.1.4.3/4666/BKBP tentang Pemberhentian Kegiatan Persiapan Jalsah Salanah di Kabupaten Kuningan. Surat tersebut ditandatangani pada 5 Desember 2024.
Meski tak ada peraturan dari pemerintah lokal dalam rentang 20 tahun (2004-2024), bukan berarti mereka bisa hidup tenang sepenuhnya. Dalam aspek regulasi, persoalan justru menjadi lebih sistematis karena di level nasional pemerintah mengeluarkan SKB 3 Menteri tentang peringatan dan perintah terhadap JAI di tahun 2008. Karenanya, absennya regulasi diskriminatif oleh pemerintah lokal, bukan berarti jaminan atas hak sipil mereka terpenuhi, karena pembatasannya kemudian dinaikan levelnya di tingkat pusat. Pengurus JAI Manislor berulangkali dipanggil oleh Bupati, Camat, Kapolres dan seterusnya.
Selain berhadapan dengan negara, pada Serangan dari kelompok masyarakat berulangkali mereka terima. Itu terjadi pada 2007, 2010 dan beberapa waktu dalam eskalasi yang, meski tak sampai pelibatan masa, tetapi cukup mengganggu.
Upaya penyegelan terhadap masjid milik JAI juga berulangkali dilakukan oleh kepolisian maupuan Satpol Pamong Praja. Salah satunya terjadi pada sekitar tahun 2010. Masalah yang mendera warga JAI Manislor merembet pada persoalan administrasi kependudukan, yakni layanan Kartu Tanda Penduduk. Situasi ini terjadi pada 2014 hingga 2017. Imbasnya, mereka kesulitan untuk mengurus perkara kependudukan lainnya seperti pernikahan, jaminan kesehatan, jaminan ketenagakerjaan dan lainnya.
Khusus di Manislor, keadaan relatif stabil pada rentang 2018-2024 setelah persoalan layanan KTP bagi terfasilitasi pada 2017. Serangan di level horizontal juga tidak pernah terjadi. Kegiatan Majlis Syura dan Ijtima yang dihelat oleh Ansharullah (kelompok laki-laki dewasa) pada 10-12 November 2023 di Manislor juga bisa digelar tanpa halangan. Padahal, kegiatan ini sebelumnya ditolak oleh Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Jawa Tengah untuk dilaksanakan di Asrama Haji Donohudan, Boyolali.