Oleh: Muhamad Sidik Pramono (Mahasiswa Magister Sosiologi Agama Universitas Kristen Satya Wacana)
Seperti biasa, kelas dimulai pada pukul tujuh lebih beberapa menit. Pagi itu 8 November 2024 merupakan pertemuan kesebelas kelas Islam dan Muslim di Indonesia (IMI) A. Bagi saya, kelas tersebut merupakan kali kedua menjadi asisten dosen dengan pengampu mata kuliah tersebut ialah Dekan Fakultas Teologi, Izak Y. M Lattu.
Kelas tersebut setiap tahunnya diikuti oleh tidak kurang dari 150 mahasiswa (para calon pendeta). Mata kuliah ini mejadi pembelajaran wajib bagi para calon pendeta, sebagai cara membentuk pemahaman dan kesadaran untuk membangun relasi inklusif Islam-Kristen di Indonesia.
Seperti tahun sebelumnya, pasca melaksanakan Tes Tengah Semester (TTS) mahasiswa diminta mempresentasikan hasil bacaan atas jurnal yang sudah disiapkan oleh dosen bersama asisten. Di setiap pertemuan terdapat satu tema besar yang didiskusikan di dalam kelas.
Pada kesempatan tersebut,diskusi kelas yang berlangsung di auditorium Fakultas Teologi tersebut dipandu oleh kelompok 3 dan 4. Topik yang diangkat adalah kelahiran Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Bahan yang dipakai sebagai acuan presentasi kelompok 3 merupakan tulisan dari Binfas, dkk yang berjudul “Muhammadiyah-Nahdlatul Ulama (NU): Monumental Cultural Creativity Heritage of the World Religion”. Sedangkan kelompok 4 mengacu pada tulisan Muhammad Adlin Sila yang bejudul “Revisiting NU-Muhammadiyah in Indonesia: The Accommodation of Islamic Reformism in Bima”.
Diskusi dipandu oleh asisten dosen yang hadir pada saat itu. Diskusi dimulai dengan overview yang dilakukan oleh kelompok, lalu dilanjutkan dengan diskusi terbuka di kelas. Suasana dari dua sesi presentasi berlangsung kontras.
Presentasi sesi pertama oleh kelompok 3 berlangsung sebagaimana umumnya, tanggapan dan respon yang terjadi cenderung biasa dan tanpa ada perdebatan sengit. Sedangkan di sesi kedua, presentasi dari kelompok 4 berlangsung dengan tanggapan dan pertanyaan tajam. Mahasiswa penanggap di luar kelompok 4 menyangsikan materi dari presentator berkaitan dengan Muhammadiyah dan NU.
Suasana diskusi serasa hidup dengan banyaknya pertanyaan dan respon balik tentang topik diskusi yang keluar dari pakem atau pembahasan kelompok sebelumnya mengenai NU dan Muhammadiyah. Di sesi pertama, kelompok 3 mengupas tentang karakteristik, pola, dan ideologi dari NU dan Muhammadiyah. Bila disimplifikasi, sebagaimana pemahaman secara umum, NU identik sebagai kelompok yang toleran dan menerima tradisi dan berbanding terbalik dengan Muhammadiyah.
Di sesi kedua, pemahaman yang dibangun kelompok 3 tersebut seakan-akan dibantah oleh kelompok 4. Sebab, poin besar kelompok 4 yang merunut hasil penelitian Muhammad Adlin Sila, Muhammadiyah turut menerima tradisi seperti Maulid Nabi Muhammad dan tradisi Hanta Ua Pua di Bima.
Saya menyimak dengan seksama diskusi yang terjadi pada pagi itu. Baik presentator dan penanggap sama-sama beradu argument untuk mempertahankan pemahaman mereka. Setelah melewati perdebatan panjang, diskusi pada akhirnya ditutup dengan penjelasan dari dosen pengampu.
Saat itu, dosen pengampu, Izak Lattu atau akrab dipanggil Kak Chaken, sedang berada di Toraja untuk mengikuti Sidang Raya ke-XVIII Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI). Pada akhirnya, saya yang kebetulan sebagai satu-satunya muslim di kelas tersebut memberikan ringkasan dan refleksi pribadi terkait perdebatan di kelas.
Liquid Identity: dari Muhammadiyah ke MuhammadiNU?
Di hadapan kawan-kawan mahasiswa, saya memulai penjelasan atas perdebatan di kelas dengan penjelasan yang pernah disampaikan Kak Chaken pada kelas Islam dan Muslim di Indonesia, 2023 silam. Pada salah satu pertemuan, dirinya menjelaskan tentang karakteristik dari Muslim yang ada di Ambon. Poin penting dari penjelasan Kak Chaken waktu ialah muslim di Ambon secara identitas adalah Muhammadiyah namun, secara praktik keberagamaan dan sikapnya terhadap tradisi sangat akulturatif layaknya NU.
Kemudian, saya coba mengacu pada bahan diskusi yakni tulisan dari Sila (2020). Sila menjelaskan, memang ada perbedaan karakteristik Muhammadiyah Bima dengan di Jawa. Di Bima, Muhammadiyah tetap menjadi kelompok reformis, namun pada saat yang sama akomodatif terhadap tradisi seperti Maulidan dan Hanta Ua Pua.
Sila menyebutkan ada beberapa sebab mengapa Muhammadiyah di Bima memiliki karakteristik yang tidak sesuai pakem atau kebiasaan sebagaimana di Jawa–dimana hal tersebut menjadi sumber perdebatan di kelas IMI 8 November 2024. Pertama, dalam konteks Muhammadiyah di Bima, mereka tidak dapat lepas dari otoritas tokoh adat.
Kedua, cara pandang muslim Muhammadiyah terhadap bid’ah. Muslim Muhammadiyah yang ada di Bima melihat bid’ah sebagai sebuah ajaran yang menyimpang dan salah. Bagi muslim Muhammadiyah di sana, terdapat tindakan baru yang dikategorikan sebagai sebagai amalan baik (bid’ah khasanah). Pemahaman ini tidak jauh berbeda dengan pemahaman dari NU terhadap tradisi atau amalan yang secara tekstual di Al-Qur’an dan Sunnah tidak dijelaskan secara eksplisit.
Apakah kemudian, dapat disebut sebagai “MuhammadiNU” layaknya jokes yang dipakai banyak kalangan untuk menyebutkan warga Muhammadiyah namun mirip NU atau sebaliknya? Jawaban dari pertanyaan ini saya kembalikan ke pembaca.
Namun, poin pentingnya ialah identitas itu cair (liquid identity). Banyak unsur yang memengaruhi sebuah identitas. Dalam konteks tulisan ini, identitas Muhammadiyah di Bima tidak bisa lepas dari otoritas tokoh adat yang mengakomodir budaya. Pada banyak kasus, identitas juga dipengaruhi oleh perkembangan modernitas, ekonomi, sosial, dan kebiasaan di masyarakat. Zygmunt Bauman dalam buku “Liquid Modernity perubahan cepat yang dibawa oleh modernitas memunculkan krisis identitas. Dampaknya, identitas dari masyarakat begitu cair dan tidak dapat disimplifikasi menjadi sesuatu yang kaku–dikotomi.
Akhirnya, masing-masing argumentasi dari presenter atau penanggap berkaitan dengan identitas kelompok Muslim di Bima, dapat mencapai kesimpulan sebagai berikut. Argumen yang menyangsikan pendapat presentator bisa dibenarkan jika konteksnya mengacu realitas di Jawa. Namun, dalam konteks diskusi tersebut, kondisi para muslim Muhammadiyah di Bima merupakan salah satu contoh bahwa identitas merupakan suatu hal yang cair dan bergantung pada faktor independen lainnya.