Oleh: Wiwit Rizka Fatkhurrahman
Indonesia Is a Violent Country. Ungkapan ini tercantum dalam pengantar sebuah buku berjudul Roots of Violence in Indonesia (Freek Colombijn dan J. Thomas Lindblad, 2002). Jika kita cermati, ungkapan tersebut kiranya tepat ketika menyoal Kerukunan beragama di Indonesia yang masih terus saja dihujam dengan nuansa kekerasan satu kelompok dengan lainnya.
Gonjang-ganjing kerukunan umat beragama ini sangat kontras dengan kenyataan bangsa yang sejatinya multikultural, oleh aneka suku, agama dan ras. Kita tidak pernah beranjak dari soal yang satu ini. Soal kerukunan saja, kita belum selesai apalagi berbicara permasalahan bangsa yang lebih besar lagi seperti kemiskinan, kesejahteraan, kesehatan dan perekonomian bangsa.
Lihatlah pemberitaan di berbagai media akhir-akhir ini yang menceritakan bagaimana ormas Islam kembali menunjukkan taringnya dengan mengambil alih peran pihak keamanan. Tuntutan pembubaran Ahmadiyyah di Bogor dan kota lainnya kembali menggema.
Yang membuat kita miris adalah adanya kekerasan yang menyelingi tuntutan-tuntutan itu.
Belum siap
Inilah ciri masyarakat yang belum siap menerima kebhinekaan, keberbedaan serta bijak untuk menghargai keyakinan orang lain, khususnya soal keyakinan agama. Ketidaksiapan umat beragama yang tidak mau ada “yang lain” (the others) dari diri, kelompok dan mazhabnya ini pernah digambarkan oleh Anand Krisna dalam sebuah kisahnya:
“Katakanlah padaku satu kebenaran, Wahai Sufi”, demikian pinta sang Sultan kepada seorang Darwis.
“Mampukah telingamu mendengarkan kebenaran? Suara kebenaran melebihi suara petir di siang hari, selaput telingamu bisa terkoyak,” jawab Darwis.
“Apa gunanya sepasang telinga yang tidak mampu mendengarkan kebenaran? Biarlah selaput telingaku robek, aku tetap ingin mendengarkan suara kebenaran,” jawab Sultan.
“Baiklah, suatu saat nanti aku akan datang ke istanamu untuk menyampaikan kebenaran.”
Akhirnya beberapa tahun kemudian datanglah Sang Darwis ke Istana Sultan. Begitu diberi tahu tentang kedatangan Darwis, Sultan pun bergegas ke gerbang Istana untuk menjemputnya. Turut bersama Sultan saat itu sang putra mahkota, putra tunggal Sultan. Mereka menyalami Sang Darwis, “Selamat datang, silakan masuk Darwis”.
“Tunggu dulu, biarkan aku memberkati putramu dulu, “kata Sang Darwis”.
Lalu ia menepuk-nepuk kepala putra mahkota sambil berkata, “kamu akan mati”
Sultan seperti tidak mempercayai telinganya sendiri. ”apa yang kau katakan Darwis? Untuk inikah kau datang? Untuk mengutuk anakku? Untuk menyumpahnya?”, Sang Sultan marah betul, bahkan diantara para menteri ada yang sudah mengeluarkan pedang dari sarungnya.
“Apa yang kau katakan Sultan? Kau keliru menafsirkan kata-kataku. Untuk apa aku harus mengutuk anakmu? Untuk apa aku harus menyumpahinya? Aku hanya memberikan sebuah pernyataan, ‘kau akan mati’, dan pernyataanku itu berlaku bagi setiap insan, bagi setiap makhluk hidup. Yang lahir pasti akan mati. Aku hanya menyampaikan kebenaran Sultan. Kau pernah menanyakan, dan aku datang untuk menyampaikannya. Sultan, rupanya kau belum bisa mendengarkan kebenaran”.
Kisah di atas ingin menggambarkan betapa “kebenaran”, keberbedaan dan pluralitas akan datang setiap saat, serta berkelindan, siapkah kita dengan semua itu; menerima, menolak, atau kompromistik?
Umat beragama kita masih belum siap ketika menghadapi kenyataan bahwa sosok Kiai, lembaga Fatwa yang dipercaya (Negara), organisasi keagamaan yang diikuti, pada hakikatnya adalah manusia atau kelompok manusia biasa yang tidak bersih dari kesalahan dan kesilapan. Umat kita juga belum sepenuhnya siap ketika menghadapi fakta bahwa yang dia yakini sebagai “pasti benar” selama ini sebenarnya “mungkin saja keliru”.
Sembari memperbaiki kesiapan diri, umat kita acap kali gagap ketika mengakui kenyataan-kenyataan bahwa diri orang lain, kelompok lain atau lembaga lain yang berseberangan pemahamannya, dengan diri kita (yang mayoritas) terdapat juga sisi-sisi kebenarannya.
Sehingga wajar jika muncul ungkapan bahwa Negara kita masih jauh dari tujuan Peacful Country, yang hadir justru Violent Country. Sungguh, sebuah semangat yang kontraproduktif dengan tujuan luhur bangsa kita dalam rangka membangun humanisme yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.
Belajar dari Esack
Kembali pada soal ketidaksiapan umat beragama menerima “yang lain”, keberbedaan dan tafsir yang plural dalam agama. Mengenai hal ini, kita tak salah jika merujuk pada teori Hermeneutika Farid Esack.
Hermeneutika mengartikan dirinya sebagai sebuah disiplin ilmu tafsir yang tidak hanya menggarap urusan bagaimana proses ‘memahami’ dan menafsirkan yang benar itu (aspek epistemologis dan metodologis), melainkan lebih jauh hermeneutika juga menggarap asumsi-asumsi dasar dan kondisi serta kedudukan manusia serta segala faktor yang terlibat dalam proses penafsiran yang dimaksud (aspek ontologis dan aksiologis).
Asumsi yang dibangun dari konsep ini adalah ‘asumsi pluralitas’, yaitu satu asumsi bahwa pemahaman dan penafsiran itu plural secara niscaya. Pluralitas yang niscaya ini muncul dan terjadi karena memang dalam segala aspeknya, kehidupan manusia itu plural.
Dari asumsi dasar tersebut, kemudian bisa dikatakan bahwa konflik dan berbagai pertentangan yang bahkan sering membawa korban sebagai akibat dari perbedaan pandangan tersebut sebenarnya merupakan sesuatu yang naif. Setiap orang ingin agar pemahaman dan penafsirannya-lah yang paling benar (truth claim), tidak terkecuali pemahaman dan penafsirannya terhadap jargon kenabian yang dianut oleh Jamaah Ahmadiyah.
Berdasarkan teori hermeneutikanya, Esack menjelaskan dan memberikan landasan teologis bagi terlaksananya kerja sama antar (dan intern) umat beragama, khususnya muslim-non muslim. Dalam hal ini Esack mengawinkan praksis dan tafsir sekaligus dalam rangka menghadirkan hermeneutika yang membebaskan. Kondisi praksis negaranya (afrika) saat itu betul-betul kental dengan nuansa hegemoni apartheid, penindasan, pengekangan, dominasi mayoritas, termasuk pemaksaan kehendak pada kaum minoritas.
Lebih dari itu, Esack hendak mengorientasikan tafsirannya atas teks suci (al-Qur`an) agar dapat menggerakan massa muslim (dan non-muslim) untuk secara bersama-sama melakukan perubahan-perubahan. Termasuk dalam perubahan menuju satu pola kerukunan dan kebersamaan yang dibangun atas basis pluralisme, dan multikulturalisme. Di sinilah konteks perlunya kita belajar pada ide Pemikir Prograsif Afrika Selatan ini dalam rangka membangun kerukunan beragama.
Akhirnya, kita semua (umat beragama) harus yakin bahwa Allah memiliki rahasia tersendiri sehingga Ia membuat perbedaan dan sekaligus ujian bagi manusia untuk memahami fakta keberbedaan. Renungkanlah, ayat 48 QS. Al-Maidah berikut: (yang artinya) “Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikannya satu ummat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah kembali kamu semuanya, lalau diberitakannya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu. Ayat ini jelas memberikan pemahaman bahwa Allah membuat (pemahaman) manusia tidak tunggal. Perbedaan manusia dalam hal keyakinan, tata cara menyembah, suku bangsa, budaya dan daerah adalah fakta bahwa itu memang sengaja diciptakan Allah sebagai ujian bagi manusia untuk lapang dada menerima kebinekaan, dan itu semua dalam rangka menuju kehidupan yang rukun dan damai.
Akankah, kita menentang Kehendak Allah ini dengan menumbuhsuburkan kekerasan karena kita (memang) berbeda?