Wonosobo -elsaonline.com, Penguatan Moderasi Beragama menjadi visi sekaligus program penting Kementerian Agama Indonesia dalam kaitannya mengembalikan tujuan utama dari nilai agama itu sendiri. Yakni, tumbuhnya kehidupan yang penuh kedamaian dan ketentraman. Fenomena sosial yang terjadi sekarang ini mengharuskan adanya praktik baik moderasi dalam cara beragama.
Sehingga, menjadi orang saleh yang mampu mengamalkan ajaran agamanya lewat sikap sosial dan kemanusiaan yang baik, menjadi penting untuk dilakukan. Pesan ini disampaikan Kepala Kementerian Agama Kabupten Wonosobo, Ahmad Farid, mengawali acara “Seminar Diseminasi Moderasi Beragama untuk Mendukung Kabupaten Wonosobo Ramah HAM” yang diselenggarakan di Pendopo Kabupaten Wonosobo, Kamis (22/09).
Dalam penjelasan tambahan ia menyebutkan orang saleh sebagai orang-orang yang bisa memposisikan diri sekaligus yang kehadirannya mampu untuk memberikan solusi, bukan malah sebaliknya. “Orang itu harus bisa memberikan solusi, bukan orang yang datangnya bikin masalah,” ujarnya.
Narasumber lain, Ketua Yayasan Pemberdayaan Komunitas (YPK) ELSA, Tedi Kholiludin menjelaskan pentingnya local wisdom yang tumbuh masyarakat guna dikembangkan serta menjadi model bagi moderasi yang sekarang digencarkan pemerintah. “Saya membayangkan bahwa percakapan kita tentang moderasi adalah tentang praktik baik yang selama ini dijalankan, bisa menjadi model bagi apa yang sekarang ini tengah dibincangkan di level kebijakan,” kata Tedi.
Ia mengingatkan, jangan sampai kebijakan tentang moderasi beragama, dalam proses sosialisasinya, seperti ketika pemerintah orde baru mengharuskan adanya tafsir tunggal terhadap Pancasila. “Perlu ada dialog dari atas dan bawah. Moderasi pada akhirnya tidak hanya tentang bagaimana aturan dari atas, tetapi juga apa yang selama ini berjalan di level akar rumput perlu dicermati sebagai benih yang penting untuk ditebar dan dipupuk agar tumbuh subur,” terang Tedi.
Berangkat dari analisa yang sedikit berbeda, Haqqi El Anshory, Koordinator Gusdurian Wonosobo menceritakan apa yang selama ini ia lakukan dalam penguatan praktik moderasi beragama dari kacamata “kebudayaan”. Ia mengambil prototipe Desa Giyanti, sebuah wilayah di Wonosobo yang masyarakatnya terdiri dari pemeluk Islam, Katholik dan Penghayat dari Organisasi Pangestu (Paguyuban Ngesthi Tunggal). Haqqi melihat apa yang dilakukan masyarakat Giyanti sebagia contoh praktik baik (role model) moderasi beragama yang selama ini sudah terjaga. Dinamika kehidupan masyarakat di Desa Giyanti menggambarkan suasana guyub dan rukun penuh sikap toleran, yang salah satu latar belakangnya adalah karena ada kesenian yang mempersatukan.
“Ada satu yang (kemudian) mempertautkan dari ketiga keyakinan ini (Islam, Katolik, Pangestu, dsb). Apa itu? Saya sering menyebutnya dengan agama seni,” paparnya. Agama seni, atau lebih tepatnya kesenian, dalam hal ini hadir sebagai simbol dari adanya praktik baik kerukunan masyarakat Giyanti.
“Kesenian, dalam hal ini Lengger, itu nyaris (pernah) menjadi trademark atau identitas khas Giyanti. Sehingga pada acara Rakanan atau nyadranan begitu, disitu pasti ada Lenggernya dan ada keseniannya. Itu otomatis orang Giyanti (terlibat) tidak peduli muslim, tidak peduli katolik, pangestu dan sebagainya. Sudah, semuanya bahu-membahu untuk kemudian bareng-bareng merayakan kegembiraan itu.” jelasnya.
Haqqi yang juga Ketua Lembaga Seni dan Budaya Muslim (Lesbumi) Nahdlatul Ulama Kabupaten Wonosobo, mencontohkan praktik lain, di Desa Kali Putih, Wonosobo. Praktik di wilayah tersebut juga menjadi contoh baik moderasi beragama. Ada semacam konsesus tidak tertulis di masyarakat Kali Putih dalam kaitannya menghormati kegiatan-kegiatan peribadatan masyarakat setempat yang berbeda.
Terakhir, satu hal yang harus digarisbawahi bahwa moderasi beragama merupakan hajat pemerintah yang dihadirkan dengan tanpa adanya paksaan. “Orang memaksa orang (lain) harus berpraktik agama begini (moderat), itu justru dia tidak moderat.” jelas Ahmad Farid. Ia kemudian menegaskan bahwa keterbukaan adalah kunci moderasi. (Thohari)