Membayar Tuntas Tradisi yang (Sempat) Lepas: Ramadlan Pasca Pandemi

Oleh: Tedi Kholiludin

elsaonline.com – Sembari mengemasi pakaian, saya mengintip pesan-pesan di handphone sekira pukul 11 siang.

Saya berada di Jakarta untuk sebuah pekerjaan dan segera kembali ke Semarang pada pukul 15.00. Biasanya, kalau pergi ke luar kota dan menggunakan kendaraan umum, mengemasi pakaian kotor biasanya saya lakukan malam hari. Tetapi, karena ada banyak hal yang harus dilakukan malam hari, pakaian-pakaian baru bisa saya bereskan esok harinya.

Di grup perumahan, warga terpantau sedang melakukan persiapan untuk ruwahan dan pawai obor yang akan dihelat Jumat (1/4) malam hari. Usai seluruh pakaian dimasukkan ke dalam tas, saya memelototi handphone sejenak, lalu membesarkan sebuah gambar yang dikirim warga.

Dalam foto itu, dua orang tetangga sedang memegang backdrop yang akan dibawa saat pawai obor. Yang membuat saya sedikit tertegun adalah tulisan di spanduk tersebut, “Selamat Datang Ramadlan, Selamat Jalan Covid 19.”

Ucapan tersebut tak hanya tentang kreativitas sekaligus kegembiraan menyambut Ramadlan tetapi juga ekspresi yang bahannya mengendap dalam alam bawah sadar. “Bye Covid,” begitu kira-kira kalau diucapkan dengan lisan.

Kurang lebih dua tahun lamanya, korona membatasi ruang gerak serta aktivitas manusia. Ramadlan tahun 2022 ini, boleh dikatakan sebagai bulan puasa pertama dengan kondisi hampir normal, meski tentu tidak bisa seperti tahun sebelum korona mendera.

Kegembiraan menyambut Ramadlan, pada gilirannya, menjadi berlipat vibrasinya, karena di situ juga ada keriahan setelah masyarakat mengantongi banyak sasat agar tetap bisa bersosialisasi dan terhindar dari virus. Setidaknya, itu tercermin dalam spanduk yang dibentangkan oleh dua tetangga saya tersebut.

Malam harinya, kemeriahan itu betul-betul membuncah. Di awali oleh pembacaan tahlil serta mengirimkan doa untuk leluhur, anak-anak serta para orang tua yang mendampinginya, berbaris rapi sembari memegang obor di tangannya masing-masing.

Baca Juga  "Politik Ulama itu Al-Nashihatu Al-Arwaah"

Mereka berjalan mengitari perumahan, yang jika dikira-kira, tak lebih dari 700an meter saja. Semangat untuk terus melantunkan puji-pujian kepada Nabi Muhammad tak kunjung surut, meski rintik hujan sempat menyapa beberapa saat.

Di lain sudut, para ibu dan remaja putri menyiapkan hidangan makan malam. Masing-masing rumah mengirimkan lauk pauk tanpa dikomando. Menjalankan peran-peran demikian seperti sudah menjadi pembawaan alamiah yang secara otomatis berjalan meskipun tidak harus melalui perintah terlebih dahulu. Mereka mengambil posisi yang satu dengan lainnya saling bersambung.

Tak lama berselang, datanglah rombongan pawai obor dan langsung menyantap makan malam yang sudah tersaji. Kegembiraan tak bisa disembunyikan dari wajah-wajah yang hadir pada malam tersebut.

***

Pawai obor, ruwahan, munggahan dan banyak tradisi lainnya, adalah kerinduan yang pelan-pelan dibayar tuntas oleh masyarakat muslim nusantara tahun (2022) ini. Strategi kebudayaan ini sempat tak bisa teraktualisasi karena pandemi.

Padahal, Ramadlan itu tak sekadar ruang ibadah yang bersifat personal tetapi juga sekaligus menjadi jembatan dan jaring penghubung aktor-aktor di masyarakat.

Kebudayaan-kebudayaan serta tradisi yang biasa dijalankan menjelang Ramadlan merupakan ruang dimana solidaritas bisa terwujud karena orang tidak hanya bicara tentang sekarang dan di sini, tetapi juga pada sebuah fondasi solid yang berdimensi masa depan. Ini adalah civil sphere atau ruang sipil (Alexander, 2006).

Tradisi itu tak sekadar tentang ritual sebagai ruang non sipil tetapi juga adalah ruang sipil. Ruang dimana keakraban dan dalam ideal masyarakat sipil terbangun. Ia melampaui batas-batas yang bersifat non sipil tersebut.

Ketika ruang itu kembali bisa dihidupi, manusia memiliki saluran untuk mengalirkan spirit autentisitasnya; sikap moral yang menjadi landasan baginya untuk menghargai dan membangun solidaritas dengan yang lain. Di ruang itu, mereka turut dalam rasa menderita yang dialami oleh sesamanya.

Baca Juga  Mbah Pringis, Santri Tionghoa dan Eksperimentasi Kebudayaan Hibrid

Ramadlan, Puasa, serta tradisi yang mengiringinya, merupakan momen untuk mengasah kepekaan melalui ruang sipil tersebut. Ruang yang melampaui batas-batas primordial.

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Nahdlatul Arabiyyah Semarang: Jejak Keturunan Arab yang Terlupakan (Bagian Pertama)

Oleh: Tedi Kholiludin Pertumbuhan organisasi keturunan Arab di Hindia Belanda...

Dompet di atas Meja: Status Kesehatan dan Konfidensialitas dalam Ruang Sosial Kita

Oleh: Tedi Kholiludin Saya terbiasa meletakkan dompet di rumah pada...

Gelap itu Nyata, Bangkit itu Janji: Antara Iman dan Harapan

Oleh: Tedi Kholiludin Saat dalam perjalanan mudik untuk berlebaran bersama...

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini