Tak Sebatas Buka Bersama di Vihara

Oleh: Sidik Pramono

elsaonline.com – Selasa sore, 5 April 2022, Vihara Tanah Putih kembali mengadakan buka bersama. Kegiatan tersebut merupakan rutinitas yang dilakukan oleh pihak Vihara Tanah Putih setiap kali bulan Ramadhan datang kira-kira begitulah pernyataan Bhikkhu Dhammasubho Mahatera.

Suasana buka bersama sore itu berbeda dengan buka bersama pada umumnya. Pasalnya, peserta buka bersama tidak hanya dari kalangan umat Islam saja namun, dari berbagai agama seperti Kristen, Katolik, Hindu, Kong Hu Chu, hingga penghayat kepercayaan turut datang.

Acara yang diawali dengan sambutan dari Bhikkhu Dhammasubho Mahatera selaku perwakilan dari pihak Vihara Tanah Putih, dilanjutkan dengan tausiyah dari Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi Jawa Tengah, KH. Taslim Syahlan dan dilanjutkan dengan doa buka puasa yang dipimpim oleh Ketua FKUB Kota Semarang, Kiai Mustam Aji. Acara ditutup dengan buka bersama semua hadirin yang datang dalam acara tersebut. Setidaknya ada 80 orang yang turut hadir dalam acara tersebut.

Di hadapan patung Buddha di ruang Dhammasala Vihara Tanah Putih, ada pemandangan yang tak biasa. Masing-masing para hadirin dari berbagai agama dan kepercayaan tak lantas menyantap takjil atau makanan yang dibagikan oleh pihak penyelenggara sebelum waktu maghrib tiba. Peserta buka bersama baru menikmati makanan secara bersamaan setelah melakukan doa buka puasa. Dalam hemat penulis, kesediaan peserta acara tersebut untuk tidak menyantap makanan yang sudah dibagikan merupakan sebuah
penghormatan antara satu agama, kepercayaan dengan lainnya.

Buka Bersama di Vihara dan Konsep Toleransi Rainer Forst

Seorang filsuf politik Jerman kontemporer, Rainer Forst dalam bukunya Toleration in Conflict: Past and Present memiliki empat konsep toleransi.

Baca Juga  Catatan Tengah Tahun Kebebasan Beragama di Jawa Tengah 2016

Pertama, toleransi sebagai tindakan permission. Toleransi ini ada karena terdapat konstelasi yang berlawanan antara pihak mayoritas dan minoritas. Pada konsep toleransi ini pihak mayoritas yang memegang kekuasaan memberikan kebebasan kepada kelompok minoritas sepanjang kelompok minoritas mengakui kekuasaan mayoritas. Konsepsi ini memiliki karakteristik dominative.

Kedua, toleransi sebagai upaya koeksistensi. Konsep toleransi ini timbul dari relasi horizontal antar warga negara yang egaliter walau memiliki corak pragmatis. Keberadaan toleransi dianggap penting hanya sebagai alat untuk menghindari konflik serta agar tidak ada kelompok yang bertindak semaunya dan memaksakan kehendak.

Ketiga, toleransi sebagai mutual respect. Konsep ini menjadi lawan dari konsep permission. Karena toleransi dinilai ada karena relasi yang saling menghormati. Konsepsi ini menghasilkan kesetaraan yang dibedakan menjadi dua yakni qualitative equality dan formal equality. Qualitative equality ini terjadi dalam konteks penghargaan sesama warga negara yang terdiri dari berbagai identitas dan karakter. Sedangkan, formal equality ialah terjadi dalam konteks hubungan antara ruang public dengan ruang privat.

Terakhir, toleransi sebagai sikap saling menghargai (esteem conception). Pada konsep ini toleransi coba di bawa ke ranah yang lebih tingg tidak hanya menghormati namun juga mengakui dan melakukan penerimaan positif pada keragaman identitas, agama, kepercayaan, budaya dan moral yang berbeda dengan dirinya sendiri. Konsep inilah yang menurut Forst lebih tinggi dari tiga konsep sebelumnya.(Setyabudi, 2020) Konsep ini dibangun di atas pengertian, penghormatan dan penghagaan terhadap yang lain.

Suasana yang ada di Vihara Tanah Putih sore itu merupakan manifestasi dari konsep toleransi sebagai sikap saling menghargai yang dicetuskan murid Jurgen Habermas tersebut. Biasanya buka bersama dilakukan sebagai ruang perjumpaan sesama umat Islam namun dalam kesempatan tersebut bisa menjadi ruang bertemu antar agama dan kepercayaan.

Baca Juga  Melampaui Simbol dan Dogma

Bertemunya berbagai agama dan kepercayaan dalam buka bersama tersebut adalah wujud internalisasi dari sikap penerimaan positif terhadap orang lain yang berbeda. Setiap orang yang datang dalam acara tersebut tidak menyantap sajian yang sudah dibagikan sebelum waktu maghrib tiba. Hal tersebut terjadi karena masing-masing orang yang terdiri dari berbagai agama melakukan penghormatan dan penghargaan satu sama lain.

Penulis meyakini, setiap peserta memiliki rasa bahwa ajaran atau agama lainnya memiliki nilai yang patut dihargai sehingga umat agama selain Islam yang hadir di Vihara Tanah Putih turut khidmat berdoa menurut agama dan kepercayaan masing-masing ketika umat Islam melafadzkan doa berbuka puasa.

Jika Gus Dur mengatakan, “Perdamaian tanpa keadilan adalah ilusi,” mungkin kata yang tepat dari konsepsi Rainer Forst adalah, “toleransi tanpa menghargai adalah ilusi“.

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Memahami Dinamika Konflik melalui Segitga Galtung: Kontradiksi, Sikap dan Perilaku

Oleh: Tedi Kholiludin Johan Galtung dikenal sebagai pemikir yang karyanya...

Laporan Tahunan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Jawa Tengah 2024

ELSA berusaha untuk konsisten berbagi informasi kepada public tentang...

Laporan Tahunan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Jawa Tengah 2023

Laporan tahunan kehidupan keagamaan di Jawa Tengah tahun 2023...

Nahdlatul Arabiyyah Semarang: Jejak Keturunan Arab yang Terlupakan

Oleh: Tedi Kholiludin Pertumbuhan organisasi keturunan Arab di Hindia Belanda...

Dompet di atas Meja: Status Kesehatan dan Konfidensialitas dalam Ruang Sosial Kita

Oleh: Tedi Kholiludin Saya terbiasa meletakkan dompet di rumah pada...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini