Puasa dan Kekhasan Masing-masing Agama

Semarang, elsaonline.com – Yayasan Pemberdayaan Komunitas (YPK) Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang mengadakan diskusi lintas agama Jumat, 8 April 2022 di Kantor YPK eLSA, Ngaliyan, Semarang.

Pada diskusi yang mengambil tema “Spiritual Puasa dalam Tradisi Katolik” tersebut menghadirkan Ketua Komisi Hubungan antar Agama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang, Eduardus Didik Cahyono sebagai narasumber.

Sebelum mengisi diskusi pria yang akrab dipanggil Romo Didik tersebut memberikan apresiasi terhadap anak-anak muda eLSA atas diskusi lintas agama tersebut. Dirinya menilai, adanya diskusi tersebut adalah bentuk keterbukaan hati penyelenggara acara maupun peserta.

“Sebelumnya saya ingin mengapresiasi semangat rekan muda eLSA. Ini menjadi bukti jika masing-masing kita di ruangan ini memiliki keterbukaan hati untuk mendalami agama atau tradisi lain,” ungkap Romo Didik.

Di hadapan 18 peserta diskusi, pria yang juga menjadi Kepala Paroki Santa Theresia Bongsari tersebut menambahkan, kesediaan untuk belajar terhadap agama atau tradisi lain ialah representasi dari keluasan wawasan.

Direktur YPK eLSA Semarang, Tedi Kholiluddin mengatakan, masing-masing agama memiliki kekhasannya sendiri termasuk dalam hal puasa.

“Pembahasan ini menarik karena setiap agama punya kekhasan serta keunikan termasuk dalam puasa. Topik pembahasan puasa dalam Katolik menarik karena agama ini berbasis eros atau cinta yang mengembalikan aturan atau kriteria puasa kepada masing-masing jemaatnya,” ungkapnya.

Pantang dan Puasa Agama Katolik

Menurut Romo Didik, masing-masing agama terdapat amalan puasa tak terkecuali juga umat Kristiani termasuk Katolik. Perintah puasa, imbuhnya, terdapat dalam Al-Kitab baik di perjanjian lama dan perjanjian baru.

“Di kitab perjanjian lama, contohnya di Kitab Ester di situ dijelaskan jika umat berpuasa apabila hendak melaksanakan tugas berat. Pada Kitab Raja-raja juga diterangkan bila puasa dilakukan karena bertaubat atau juga karena berkabung,” terang Romo Didik.

Baca Juga  Sedulur Sikep Setara Dengan Warga Negara Lainnya

Romo Didik menambahkan, pada Kitab Perjanjian Baru dikisahkan tentang Yesus yang setelah dibaptis oleh Yohannes pergi ke padang gurun serta menjalani puasa 40 hari.

Dalam diskusi yang dimoderatori oleh salah seorang peneliti eLSA Semarang, Rusda Khoiruz Zaman, Romo Didik juga menjelaskan perbedaan pantang dan puasa dalam agama Katolik.

“Di Katolik memang dikenal istilah pantang dan puasa. Pantang ini maksudnya adalah latihan melawan atau tidak melakuka, memakan, meminum hal yang disukai. Seperti pantang makan daging, pantang rokok. Kalau puasa seperti pada umumnya, tapi pelaksanaan wajibnya itu di hari Rabu Abu dan Jumat Agung. Pada dua hari itu kami melakukan puasa sekaligus pantang,” tuturnya.

“Waktu yang dianjurkan untuk berpuasa dalam Katolik itu dimulai pada Rabu Abu hingga Jumat Agung. Selama 40 hari lalu pada Paskah itu nanti ibaratnya kalau di islam kami berlebaran,” tegas Romo Didik.

Konsep dan Hakikat Puasa Katolik

Penulis buku Beda tak Jadi Sekat tersebut turut menerangkan tentang konsep puasa dalam Katolik berbeda dengan konsep puasa dalam Islam.

“Konsep puasa kami mungkin agak berbeda dengan konsep agama lain atau islam contohnya. Dalam agama kami, usia wajib pantang atau puasa itu dari umur 14-60 tahun. Tapi sekarang usia untuk melakukan itu relaitf. Lalu waktu pelaksanaannya pun tidak serigid di Islam. Masing-masing oranglah yang menentukan kapan waktu berbuka dan menentukan syarat minimal dalam menjalankan puasa atau pantang,” kata Romo Didik.

Sebagaimana sudah dicontohkan oleh Yesus ketika puasa 40 hari, kata Romo Didik, dalam puasa kita diajarkan untuk menahan lapar, menahan hasrat untuk menunjukan kekuatan dan menahan diri dari kekuasaan.

Ketika ditanya tentang hakikat puasa dalam Katolik, pria yang memimpin Jesuit di Paroki Bongsari tersebut menjelaskan, hakikatnya ialah sebagai pertaubatan, mempertajam batin dan amal kasih bagi orang lain.

Baca Juga  Bersarung Menatap Salib: Pandangan Muslim Tentang Gereja, Kebangsaan dan Kemajemukan

“Puasa dilakukan umat Katolik salah satunya ialah sebagai bentuk pertaubatan. Lalu juga sebagai jalan spiritual untuk mempertajam batin karena dalam puasa, walau fisik lemah akan tetapi kepekaan rohani atau jiwa lebih kuat jika dibandingkan ketika tidak puasa serta sebagai amal kasih bagi orang lain,” paparnya.

Bentuk puasa sebagai amal kasih bagi orang lain dipaparkan Pastor Gereja Bongsari tersebut dengan mewujudkannya dalam gerakan Aksi Puasa dan Pembangunan (APP). APP ini, menurut Romo Didik, ialah pengumpulan uang dari jemaat untuk keperluan sosial umat manusia bukan hanya umat Katolik saja.

“Melalui APP ini, puasa setidaknya menjadi upaya untuk mempertajam rohani serta mempekakan diri terhadap roh serta sesama manusia,” pungkas Romo Didik.(Sidik)

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Nahdlatul Arabiyyah Semarang: Jejak Keturunan Arab yang Terlupakan (Bagian Pertama)

Oleh: Tedi Kholiludin Pertumbuhan organisasi keturunan Arab di Hindia Belanda...

Dompet di atas Meja: Status Kesehatan dan Konfidensialitas dalam Ruang Sosial Kita

Oleh: Tedi Kholiludin Saya terbiasa meletakkan dompet di rumah pada...

Gelap itu Nyata, Bangkit itu Janji: Antara Iman dan Harapan

Oleh: Tedi Kholiludin Saat dalam perjalanan mudik untuk berlebaran bersama...

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini