Oleh: Ceprudin
Penulis: M. Dawam Rahardjo, Kautsar Azhari Noer, dkk
Editor: Tantowi Anwari dan Evi Rahmawati
Jumlah halaman: 418 + XXVII
Penerbit: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, Komunitas Muslim Epistemik Indonesia dan HIVOS
Tahun Terbit: Oktober 2011
Pada fase modern, paham salafi di Timur Tengah telah banyak melahirkan perkembangan pemikiran Islam dalam konteks yang lebih baru dari sebelumnya. Terkhusus di kalangan Sunni terjadi perkembangan pemikiran yang lebih orisinal, seolah tidak atas pengaruh dari filsafat Yunani. Dari rahim Sunni ini lahir pemikiran kalam dan hukum fiqih modern. Pola pemikiran demikian sangat tampak pada karya-karya Hasan al-Banna dan Sayed Quthb murid dari Muhammad Abduh yang diperjuangkan melalui organisasi al-Ikhwan al-Muslimin. Pola al-Ikhwan al-Muslimin baru lahir bersamaan dengan hadirnya negara-negara bangsa yang umumnya menolak pemerintahan berbentuk sistem monarki.
Syeikh Taqiyyuddin al-Nabhani seorang ulama lulusan perguruan tinggi al-Azhar, banyak mengarang buku mengenai konsep-konsep sistem Islam baik dalam bidang hukum atau konsep pemerintahan dan negara. Untuk merealisasikan gagasan-gagaasannya tersebut kemudian Syeikh Taqiyyuddin bersama beberapa tokoh lainya mengembangkan partai politik bernama Hizbut Tahrir (HT). Meskipun mengkampanyekan berprinsip damai dalam memperjuangkan ideologinya, tapi ternyata HT banyak terlibat dalam usaha penggulingan pemerintaha di berbagai negara di Timur Tengah, (M Dawam Rahadjo, hal. xi). Bagaimana dengan Indonesia?
Aliran-aliran pemikiran yang berkembang di Timur Tengah memang patut diakui bahwa itu mempengaruhi pola perkembangan pemikiran Islam moderenisme di Indonesia. Muhammadiyah misalnya, ormas ini dipengaruhi oleh paham tauhid Wahabi dan sekaligus modernisme Muhammad Abduh. Muhammad Abduh, lebih menegaskan akan perlunya reformasi Islam dengan cara meneladani generasi Muslim awal yang saleh, (Ahmad Sahal, hal. 97).
Sementara itu, dalam masalah modernisme, golongan tradisional bertahan dengan warisan keilmuan tradisional Islam sejak masa salaf hingga kini. Upaya pertahanan keilmuan itu diwujukan dalam bentuk berbagai oragnisasi sosial khusunya Nahdlatul Ulama (NU). salah satu tokoh paling populer dikalangan NU, K. H. Abdurrahman Wahid, pernah menymbangkan pemikiranya melalui karyanya yang berjudul “pribumisasi Islam”. Karya ini bercorak pemikiran Islam dalam dalam konteks masyarakat Indonesia dan dikembangkan oleh orang Indonesia sendiri.
Greg Barton dalam disertasinya menampilkan empat tokoh pembaharu pemikiran Islam, yaitu Ahmad Wahib, Djohan Effendi, Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid. Generasi pembaharu awal ini kemudian menurunkan generasi pembaharu yang lebih muda. Diantara generasi muda yang sangat menonjol dalam pemikirannya adalah Jaringan Islam Liberal (JIL). Ciri utama generasi ini adalah secara garis besar mengusung wacana tentang Liberalisme, Pluralisme, dan Sekularisme. Yang kemudian ini menimbulkan respon pengharaman dari Majelis Ulama Indonesai (MUI).
Kajian pemikiran Islam bisa dilakukan oleh para sarjana dan cendikiawan yang memiliki latar belakang ilmu-ilmu keislaman tradisional, sebagaimana telah dilakukan oleh Musdah Mulia, Bachtiar Effendi, Azyumardi Azra, Luthfi Assyaukanie, dan ulil Abshar Abdalla. Jadi, suatu pemikiran Islam dapat dikembangkan oleh para sarjana dan cendekia yang berlatar belakang pendidikan pesantren seperti sekarang yang dilakukan oleh Abdul Moqsith Ghazali dengan disertasinya “Argumen Pluralisme Agama berbasis al-Qur’an”.
Abdul Moqsith Ghazali, meskipun berlatar belakang pendidikan pesantren tapi dalam menentukan kebenaran ia memposisikan akal sama dengan agama. Akal yang dimiliki manusia merupakan anugerah Allah paling berharga. Akal tak hanya berguna untuk mencapai pemahaman yang mendalam tentang yang baik dan yang buruk, tapi akal juga berfungsi sebagai untuk menafsirkan kitab suci. Tanpa akal, suatu kitab suci tak mungkin dapat dipahami. Dalam pandangan Ibnu Rushd, dalam agama, akal berfungsi untuk menakwilkan kitab suci ketika teks kitab suci tak bisa dikunyah akal sehat.
Sebuah hadits menyebutkan, “al-din aql la dina liman la aqla lahu” (agama itu adalah akal, tak ada agama bagi orang yang tak berakal). Maka benar ketika para ulama menyepakati bahwa kebebasan berfikir (hifzal al-aql) termasuk salah satu pokok ajaran Islam (maqasid al-syari’ah) (Abdul Moqsith Ghazali, hal.13). Dengan posisi akal yang demikian seharusnya Islam sangat lekat dengan kebebasan berfikir.
AGAMA ITU ADALAH AKAL? ??????????????
INGAT BUNG…. AKAL ITU HANYALAH MAKHLUK ALLAH.
BERTAUBATLAH BUNG…… !!!!!!!!!!!!!
yg komen diatas, anda pasti khawarij modern alias wahabi, bisa diliat dari kata2 yg anda pake nyuruh2 orang lain tobat, nih saya kasi cermin buat bercermin