Perda Moral Kota Tegal

Oleh: Yayan M Royani

“Untuk meminimalisasi risiko melanggar HAM, Pemkot bisa memaksimalkan peran tokoh agama untuk meningkatkan moralitas warga”

MELIHAT realitas dekadensi moral pada sebagian masyarakat saat ini, kiranya tepat visi dan misi pasangan Ikmal Jaya SE AK-Habib Ali Zaenal Abidin SE pada 2009-2014, yaitu menciptakan masyarakat Kota Tegal yang lebih bermoral dan berdaya guna. Sebagai upaya mewujudkannya, setelah dilantik, keduanya, lewat format eksekutif, menetapkan beberapa kebijakan, antara lain mengeluarkan SK Wali Kota Nomor 423.5/143.B/2011 tentang Penetapan Baca Tulis Alquran sebagai muatan lokal di tingkat SD/MI dan SMP/MTs, serta rencana SK Wali Kota Tegal melarang masyarakat menyalakan televisi pada pukul 18.00-21.00.

Meskipun kebijakan tersebut bertujuan baik, faktanya menuai pro dan kontra dari berbagai pihak. Misalnya Ketua Dewan Penidikan Kota Tegal Sisdiono Ahmad berpendapat SK Wali Kota mengenai Baca Tulis Alquran sebagai muatan lokal cacat hukum karena memaksakan kehendak dan diskriminatif.

Pendapat lain muncul dari Kepala Kantor Kemenag Provinsi Jateng Drs H Imam Haromain Asy’ari, MSi yang merespons positif gagasan mematikan siaran televisi pada jam mengaji, dengan memberi catatan bahwa kewajiban mengaji dikembalikan kepada kemauan masyarakat. Dua pendapat itu mengindikasikan bahwa pemerintah dianggap tidak tepat bila terlalu mengatur hal-hal yang menyangkut moralitas masyarakat.

Pada dasarnya, moral dan agama adalah masalah keyakinan yang lebih bersifat privasi dan menjadi bagian dari HAM. Hal itu sesuai dengan Kovenan Hak-hak Sosial Politik, utamanya Pasal 18 Ayat (1) yang menyebutkan,’’ Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan, dan beragama’’. Ketentuan ini mencakup kebebasan menentukan agama dan kepercayaan.

Dalam konteks HAM, seharusnya pemerintah memperhatikan perannya sebagai pemangku tanggung jawab melalui tiga sikap. Pertama; kewajiban menghormati, yang biasa disebut dengan kewajiban negatif yang menghendaki tindak omisi, yaitu keharusan negara tidak ikut campur atau abstain terhadap dinikmatinya hak-hak atau kebebasan tertentu, termasuk masalah moral dan agama.

Baca Juga  Perjumpaan Damai Islam Yahudi

Kedua; kewajiban melindungi, berarti negara harus melindungi semua individu dan kelompok masyarakat pada saat kebebasan mereka dilanggar oleh pihak lain. Kewajiban melindungi juga berkaitan dengan pencegahan tindakan yang memungkinkan dilanggarnya hak atau diabaikannya hak tertentu. Adapun yang menjadi objek biasanya adalah kelompok minoritas yang rentan terhadap diskriminasi.

Ketiga; kewajiban memenuhi atau memfasilitasi, dalam hal ini terkait dengan hak ekonomi, sosial, dan budaya seperti hak pendidikan, mendapatkan pekerjaan, pangan, air bersih, atau perumahan dan sebagainya. Karena itu, kewajiban negara terhadap hak ini adalah untuk memenuhinya, bisa secara langsung ataupun bertahap, yang lazimnya menggunakan perencanaan.

Peran Tokoh

Untuk meminimalisasi risiko melanggar HAM, pemerintah dapat memaksimalkan peran tokoh agama

untuk meningkatkan moralitas masyarakat, antara lain dengan memberikan fasilitas seperti bantuan dana atau pembangunan untuk pengembangan kegiatan keagamaan oleh organisasi keagamaan. Langkah itu merupakan upaya konkret menjalin kerja sama dengan elemen masyarakat.

Kelemahan pemerintah menetapkan peraturan yang berkaitan dengan moralitas adalah pengawasannya di wilayah grass root, yang efektif jika dijangkau oleh tokoh agama dan masyarakat. Karenanya, sebagai bentuk efisiensi program, optimalisasi peran tokoh agama dan masyarakat menjadi sangat urgen dalam menciptakan masyarakat madani, yaitu masyarakat yang dewasa dalam menghadapi permasalahan moral di lingkungannya, ketimbang membuat perda.

Pemkot juga harus melihat realitas akan pluralitas masyarakat sehingga harus memikirkan dampak dari kebijakan yang diundangkan. Kita perlu menyadari bahwa moral adalah permasalahan bersama.

Peran serta dari semua lapisan masyarakat sangat menentukan kesuksesan dalam meningkatkan moralitas masyarakat.

Tulisan ini dimuat di harian Suara Merdeka 1 Maret 2012

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Nahdlatul Arabiyyah Semarang: Jejak Keturunan Arab yang Terlupakan (Bagian Pertama)

Oleh: Tedi Kholiludin Pertumbuhan organisasi keturunan Arab di Hindia Belanda...

Dompet di atas Meja: Status Kesehatan dan Konfidensialitas dalam Ruang Sosial Kita

Oleh: Tedi Kholiludin Saya terbiasa meletakkan dompet di rumah pada...

Gelap itu Nyata, Bangkit itu Janji: Antara Iman dan Harapan

Oleh: Tedi Kholiludin Saat dalam perjalanan mudik untuk berlebaran bersama...

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini