Oleh: Khoirul Anwar
Prolog
Fikih bukanlah barang yang hadir secara adem ayem, sepi dari persoalan hidup yang menjangkiti masyarakat di mana fikih itu diproduk. Fikih hadir sarat dengan berbagai kepentingan yang dimiliki fuqahâ` (produsen) khususnya, dan masyarakat (konsumen) pada umumnya. Singkatnya, fikih merupakan potret realita pergolakan politik, ekonomi, dan sosial di mana ia lahir. Namun bukan berarti fikih sama dengan sejarah yang merekam kejadian-kejadian yang terjadi di masyarakat. Fikih lebih dari itu, ia menawarkan solusi problematika umat dan tuntunan menjalankan agama bagi umat Islam dan berlandaskan pada teks-teks keagamaan (al-Nushûsh al-Syar’iyyah). Oleh karena itu masyarakat sering memposisikan pengamal fikih sebagai orang yang saleh atau muslim sejati.
Namun sungguh ironis, bahkan berbahaya jika fikih yang dimaksud hanya tertuju pada fikih masa lalu yang kini tertuang di dalam lembaran-lembaran kitab kuning, karena bagaimanapun fikih hanyalah produk pemikiran manusia yang bersifat lokal dan temporal, bukan karya Tuhan yang abadi, sehingga fikih masa lalu pun memiliki dimensi lokalitas yang terbatas dan temporal. Oleh karena itu bukan hal yang muhal jika fikih klasik untuk masa sekarang sudah tidak relevan lagi, namun bukan berarti fikih anggitan ulama masa lampau itu harus kita musnahkan, karena dengan melupakannya secara total akan berdampak pada keterputusan genealogi keilmuan. Sehingga tindakan yang mungkin lebih bijak adalah menggumulinya dengan berpedoman pada kaidah “al-Muhâfadhah ‘alâ al-qadîm al-shâlih wa al-ibdâ` bi al-jadîd al-ashlah (memelihara fikih lama yang masih relevan dan menciptakan fikih baru yang lebih relevan).”
Salah satu dari persoalan fikih yang sering mengemuka adalah persoalan kebebasan beragama dan berakidah (hurriyah al-dîn wa al-‘aqîdah). Dalam kitab kuning keberadaan non muslim sama sekali tidak diakui oleh Islam, fikih klasik ini berpandangan bahwa semua umat manusia yang hidup di muka bumi harus beragama Islam sehingga fikih ini memiliki watak intoleran terhadap penganut agama lain atau yang tidak beragama sama sekali. Sementara sarjana muslim lainnya ada yang berpendapat bahwa Islam tidak memaksa umat agama lain untuk masuk ke dalam agama yang dibawa nabi Muhammad Saw. itu, singkatnya Islam mengakui kebebasan beragama dan berkeyakinan. Pandangan ini biasanya berdasarkan pada QS. Al-Baqarah 256 sembari tidak mengakui bahwa ayat ini tidak dihapus (mansûkh) oleh ayat pedang. Namun pendapat kedua ini memunculkan persoalan lanjutan, apakah pengakuan Islam terhadap kebebasan beragama tertuju pada orang yang belum memiliki agama, yakni orang tersebut dibebaskan memilih agama sesuai dengan suara hati nuraninya, atau juga meliputi konversi agama seperti dari Islam berpindah ke Kristen, atau bahkan memilih hidup tanpa Tuhan?
lamun kok ilmu tanpo didasari tagwo,nyektine syetan luweh utomo….