
Oleh: Tedi Kholiludin
Sedulur Sikep (Samin) di Kabupaten Kudus untuk kali pertama melakukan pencatatan secara formal administratif perkawinan sesuai dengan keyakinan mereka. Peristiwa bersejarah itu terjadi pada hari Kamis, 25 April 2019 ketika sepasang mempelai melaksanakan Pasuwitan, atau janji pernikahan. Bukti pengesahan oleh pemuka Sedulur Sikep tersebut yang nantinya akan digunakan untuk mendaftarkan perkawinan ke Kantor Catatan Sipil sebelum kemudian diterbitkan akta nikah.
Peristiwa ini sekaligus menandai momen baru dalam konteks relasi kelompok ini dengan pemerintah, meski ketika berbicara mengenai Sedulur Sikep harus dipahami bahwa disana ada keragaman persepsi tentang bagaimana hubungannya dengan negara. Momen baru yang saya maksud adalah kemauan Sedulur Sikep dalam soal pemenuhan prosedur administratif dalam hal dokumen kependudukan.
Kurang lebih selama satu dasawarsa mencermati dinamika kehidupan sosial Sedulur Sikep, lingkaran masalah selalu membelit mereka. Dalam soal stigma di lingkup sosial, pelan-pelan mungkin mulai berkurang. Tetapi pada sisi administrasi kependudukan, mereka kerap berhadapan dengan masalah yang cukup pelik. Satu simpul masalah berkelindan dan menaut dengan masalah lainnya.
Mulai dari kolom agama di Kartu Tanda Penduduk, status anak, identitas kepala keluarga dan seterusnya. Jika diurai, masalah bisa dilihat mula-mula dari pencatatan perkawinan. Karena dari sinilah kemudian anak masalah menjadi bertambah dan menyisir dokumen lainnya. Ketika kelompok Sedulur Sikep memutuskan untuk mencatatkan perkawinannya, maka harapan untuk bisa keluar dari belitan masalah administratif semakin terbuka.
***
Peluang bagi kelompok Penghayat Kepercayaan untuk mencatatkan perkawinannya sudah terbuka lebar sejak terbitnya Undang-undang Administrasi Kependudukan (Adminduk) tahun 2006. Regulasi yang kemudian direvisi pada tahun 2017 itu memberi kesempatan bagi kelompok penghayat untuk mencatatkan secara formal perkawinan kelompoknya. Di Brebes, pemuka penghayat Sapta Darma, telah menikahkan 4 pasangan sesuai dengan keyakinan mereka sejak dikeluarkannya UU Adminduk hingga sekitar tahun 2013-2014. Inilah salah satu respon cepat yang diberikan oleh salah satu kelompok penghayat kepercayaan.
Meski begitu, tidak semua kalangan penghayat kepercayaan merespon peluang UU Adminduk dengan cepat seperti halnya Sapta Darma. Masing-masing organisasi, tentu memiliki dinamika internalnya. Ada yang memiliki alasan filosofis (soal makna agama dan kepercayaan), teknis (kemampuan administrasi dan kapasitas lembaga) dan masalah lainnya. Sedulur Sikep di Kudus belum banyak merespon detil peluang yang dibuka oleh UU Adminduk.
Pemerintah mengajukan syarat, kelompok penghayat kepercayaan yang boleh mengesahkan perkawinan haruslah terdaftar di masing-masing kota/kabupaten. Pendek kata, berbadan hukum. Meski mungkin perkara ringan bagi kelompok tertentu, tapi bagi warga Sedulur Sikep, mendaftarkan kelompoknya kepada pemerintah membutuhkan kematangan alasan tersendiri.
Dalam percakapan dengan mereka yang ada di Kudus, bagi mereka, tugas negara adalah menjamin, menghormati dan memenuhi hak warganya, bukan untuk mengesahkan atau tidak mengesahkan sebuah kelompok keyakinan. Inilah salah satu alasan yang membuat kelompok ini tidak merespon UU Adminduk dengan mendaftarkan kepada kantor pemerintahan.
Cara pandang ini bertahan setidaknya jelang dilakukan judicial review terhadap UU Adminduk 2006 oleh Mahkamah Konstitusi pada 2016-2017. Hingga kemudian, salah seorang yang dituakan disana mengabari saya bahwa ia telah mendaftarkan perkumpulan Sedulur Sikep ke Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik dan kemudian disahkan oleh Keputusan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia pada Januari 2018.
Hemat saya, inilah yang sesungguhnya menjadi titik balik bagi Sedulur Sikep dalam upaya memutus mata rantai kesulitan administrasi yang kerap menimpanya. Sekaligus, sebagai fase perubahan paradigma terhadap pemerintahan dan kebutuhan administrasi kependudukan.
Terdaftarnya organisasi mereka di pemerintahan, otomatis memberi kesempatan untuk mengajukan salah satu diantara warga Sedulur Sikep sebagai pemuka penghayat kepercayaan. Melalui surat nomor 01/SKT/KT/I/19 yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi dibawah payung Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, seorang warga Sedulur Sikep Kudus terdaftar sebagai pemuka penghayat kepercayaan.
***
Pencatatan perkawinan merupakan konsekuensi dari terdaftarnya Sedulur Sikep sebagai organisasi di kantor pemerintahan. Sejak ditekennya regulasi mengenai Administrarasi Kependudukan, butuh waktu yang panjang bagi warga Sedulur Sikep untuk mengambil keputusan; mendaftarkan diri atau tetap dengan pola yang selama ini dijalani. Keduanya tentu menimbulkan konsekuensi. Jika akhirnya mereka kemudian memilih untuk mendaftarkan organisasinya, tentu itu sebuah pilihan yang harus dihormati.