Oleh: Tedi Kholiludin
Ruang perkuliahan sering saya gunakan sebagai sarana belajar kepada teman-teman mahasiswa. Satu waktu, saya meminta mereka untuk berbagi kisah hidupnya. Bagaimana mereka memaknai hidup dan kehidupannya. Teman-teman mahasiswa menarasikan tentang satu fase dalam hidup yang dianggap memiliki makna dan kemudian menyimpulkan apa yang makna dari fragmen hidupnya tersebut.
Ada banyak cerita yang disajikan. Seorang mahasiswa berkisah bahwa hidup adalah bagaimana mensiasati kegagalan. Ia pernah mendaftar ke sebuah perguruan tinggi negeri dengan alasan praktis; dekat dengan rumahnya sehingga bisa bolak-balik saat berkuliah. Namun, harapannya itu tak terpenuhi. Meski sempat menurunkan semangat dalam beberapa saat, ia tak lantas larut. Ia pergi ke Semarang yang tentu saja mengharuskan ia harus pergi jauh dari rumahnya. Hikmahnya, ada banyak cerita dan pelajaran yang didapatkan di kota barunya ini.
Mahasiswa lain menuturkan tentang sakit yang pernah dideritanya. Perjuangan untuk bisa sembuh menjadi momentum yang tak pernah dilupakannya. Sakit yang mungkin bisa saja merenggut nyawanya. Cerita kemudian yang tersaji, sakitnya sembuh, dan ia bisa kembali merasakan kehidupan.
Cerita-cerita lain saya baca dengan seksama. Saya tertegun membaca kisah demi kisah teman-teman yang beragam. Setiap orang, menurut saya, punya cara memaknai hidup melalui kisah-kisah yang dialaminya. Entah itu kemudian disadari atau tidak. Terucap atau tidak.
***
Saya merasa tertarik untuk belajar tentang cara manusia memaknai hidupnya. Karena dengan hidup, manusia bisa melakukan aktivitas kemanusiaannya. Bisa berbakti kepada orang tua, mencari ilmu, bekerja dengan baik, hanya bisa dilakukan oleh mereka yang bernafas, hidup.
Latar belakang kenapa kemudian saya merasa perlu menulis soal hidup adalah cerita sebuah keluarga yang meledakkan diri di tiga gereja Surabaya minggu lalu. Juga kasus-kasus bom bunuh diri lainnya. Dengan memarkir kehendak teologis untuk masuk ke surga yang diyakini akan didapatkannya ketika melakukan tidakan tersebut, hemat saya, cara itu menghilangkan kesempatan mereka untuk melakukan hal yang lebih bermanfaat bagi kemanusiaan.
Ketika turut bergumul dan belajar isu kesehatan, saya menjadi tersadar bagaimana berharganya nyawa. Orang yang sakit segera diobati, didampingi, menjaga untuk tetap hidup sehat, hingga kemudian kembali pulih. Sakit kepala, pilek, sakit gigi, bahkan sakit hati pun diupayakan untuk sembuh. Anomali dalam tubuh perlu dicarikan obatnya.
Menyembuhkan rasa sakit adalah ikhtiar untuk memulihkan kehidupan. Kalau sakit saja perlu dihilangkan agar bisa hidup normal, bagaimana memahami orang yang justru menanggalkan kehidupannya dengan menyengaja. Bagaimana bisa memuliakan hidup orang lain sementara kehidupannya sendiri saja dinistakan.
***
Gamal Al Banna mengatakan bahwa jihad saat ini adalah hidup di jalan Allah, bukan mati di jalan Allah. Hidup adalah syarat manusia bisa menikmati ciptaanNya. Hidup bisa bermakna sebagai ikhtiar untuk menunda kematian, bukan menyegerakannya. Dalam kehidupan ada banyak kesempatan untuk belajar dari kekalahan dan kegagalan. Ada banyak harapan yang ditancapkan dan sekeras mungkin diraih. Sekali lagi, hal tersebut membutuhkan nafas kehidupan. Hidup adalah syarat mutlak agar manusia bisa menunjukkan performa sebagai hambaNya.
Tidak hanya kepada sesamanya, pada makhluk hidup lainnya sekalipun, manusia diajarkan untuk saling menyayangi, mengasihi. Menjaga agar ekosistem terjaga dengan baik, agar mata rantai kehidupan terus tersambung. Mencederai diri hingga menyebabkan kematian ditambah dengan jatuhnya korban selain dirinya, adalah pembangkangan kepada Sang Pemberi Hidup.
Ketika hidup, kita bisa menghidupkan, juga menghidupi.