Oleh: Tedi Kholiludin
Dalam sebuah cuitannya, KH. Ubaidullah Shodaqoh, Rais Syuriyah PWNU Jawa Tengah mengingatkan tentang standar kesalehan. Saya kutipkan saja twit lengkapnya disini;
“Mengukur kesalehan, kefashihan presiden dg ulama, ibadah makhdlohnya dg abid tdklah bijak arif. Keimaman pak Jakowi waffaqohulloh bkn karena kefasihannya tapi symbol sebab beliau adalah waliyulamri. Kesalehannya diukur dg seberapa jauh dia dapat riayatuddin & siyasatuddunya.”
Beliau mengirimkannya 30 Januari lalu, saat ramai-ramainya netizen mengomentari Presiden Jokowi yang menjadi imam sholat berjamaah. Twit dari Kyai Ubed, tegas. Pengasuh Pondok Pesantren Al-Itqon itu menyerukan kepada khalayak agar menimbang individu dari sudut pandang kualifikasinya. Kalau pejabat negara, maka ukuran kesalehannya tentu sesuai dengan tanggungjawabnya sebagai pejabat publik.
Presiden adalah pemimpin politik yang tugas utamanya mengatur lalu lintas hak warganya. Ia hanya berurusan dengan persoalan dunia semata. Bahwa kemudian ada performa agama yang bersifat privat (sholat, haji, dll) mencuat ke publik, tentu dalam kapasitasnya sebagai seorang yang beragama. Seberapa dalam ia menghayati atau mengamalkan agama, mestinya tidak menjadi standar apakah dengan begitu seseorang layak atau tidak menjadi presiden. Tidak berarti sekuler (total) juga, karena selalu ada langgam agama dalam beberapa tautan kebijakan publik.
Politik adalah tentang bagaimana mencari solusi atas persoalan dunia. Beda dengan agama, yang tak hanya berurusan dengan masalah dunia saja, tetapi juga akhirat. Teman-teman yang belajar tentang filsafat politik, saya kira bisa memahami logika ini.
Sungguh tidak fair kalau ada yang mengkritik Jokowi sebagai presiden, dilihat dari fasih atau tidaknya ia dalam memimpin jamaah sholat. Jika hendak mengkritik, ranahnya tentu pada arah kebijakannya. Tentang ketidakberpihakannya kepada masyarakat kecil misalnya. Atau tentang sistem penanganan bencana yang belum teratur dan hal lain yang memang dalam lingkaran kapasitasnya sebagai presiden.
***
Penghakiman kepada seseorang atau sebuah kelompok dari sudut pandang yang tak terkait dengan kapasitas primer, tak hanya terjadi di dalam dunia yang kerap bersinggungan dengan politik, tetapi juga sering saya jumpai dalam kehidupan akademik di kampus.
“Tinjauan Hukum Islam tentang Praktik Pernikahan Penghayat Kepercayaan.” Simak misalnya judul tersebut. Ini salah satu contoh bagaimana standar sebuah kelompok digunakan untuk melihat absah atau tidaknya praktek masyarakat yang lain. Ini sama dan sebangun dengan judul “Pandangan Islam terhadap Penyaliban Yesus Menurut Teologi Kristen.” Sudah jelas-jelas Yesus itu meninggal di kayu salib dalam keyakinan umat Kristen, dan sudah jelas pula kalau umat Islam memiliki keyakinan yang berbeda.
Masing-masing kelompok memiliki kekhasan, karakteristik dan keunikan dalam membingkai posisinya. Kita punya hak untuk mengambil sikap. Namun, tentu harus bijak, fair dan tanpa mengabaikan aturan main. Jangan karena memiliki perspektif yang berbeda, kemudian dengan mudah menyematkan label “pencemaran,” “penghinaan,” dan sebagainya. Saya kira ada batas yang tegas antara mengkritik dengan menghina. Orang mengkritik dengan data, argumen dan dalil. Yang menghina biasanya zonder akal sehat, membabi buta.
Saya merasakan akhir-akhir ini ilmu pengetahuan seperti menjadi barang yang tak ada gunanya. Mereka yang sudah dipenuhi rasa kebencian, kerap mengabaikan penjelasan-penjelasan ilmiah. Ada kecenderungan bahwa akal sehat tak lagi mendapatkan tempat.
Betapa seorang yang teramat benci dengan Jokowi, memasang meme Jokowi yang hendak nonton film di bioskop pada hari minggu, sementara fotonya hendak turun membantu korban bencana alam. Membantu korban bencana alam tentu sesuatu yang sangat mulia. Namun, mengatakan presiden tidak peduli dengan rakyatnya karena di hari itu ia menonton film tentu bukan argumen sehat.
Politik masih digerakkan oleh kuasa benci. Kekuasaan menjadi alasan kenapa kebencian atas nama etnis atau agama dihembuskan.
***
Ben S. Carson, Profesor Emeritus bidang bedah syaraf di John Hopkins University menulis, percaturan politik yang ia saksikan di Amerika Serikat menunjukkan situasi yang “biasa,” tidak logis. Politics as usual is illogical, kata Carson. Seorang politisi tidak pernah merespon sebuah isu, sampai kemudian ia tahu bagaimana sesungguhnya garis partai bersikap. Lanjut Carson, juga tak banyak politisi yang memilih berbeda pendapat dengan pimpinan partai politik. Dan itu terjadi di Amerika Serikat.
Orang yang berpikir logis tentang politik akan lebih memilih untuk bertanya, “bagaimana caranya mencegah korupsi” ketimbang mengabarkan kepada khalayak bahwa pemimpin korup yang seiman lebih baik daripada pemimpin bersih tapi beda keyakinan.