Oleh: Tedi Kholiludin
Satu hal yang menarik ketika berkunjung ke Paroki adalah hadirnya gereja yang bersanding dengan fasilitas-fasilitas publik lainnya; sekolah, klinik dan lainnya. Memang tidak semua paroki memiliki infrastruktur penunjang. Dan jikapun ada, kepemilikannya tidak selalu berada di bawah naungan gereja. Ada pengelola atau yayasan yang secara struktur terpisah dari gereja.
Gedung-gedung di Paroki itu memiliki dua fungsi sekaligus; privat dan publik. Gereja adalah tempat beribadah sementara bangungan di kanan dan kirinya diperuntukkan bagi pelayanan kemanusiaan. Tak hanya paroki sebenarnya yang menjalankan dua fungsi sekaligus itu. Di banyak Gereja Kristen, hal tersebut juga tersedia. Di Gereja Kristen Muria Indonesia (GKMI) Sompok (Semarang) misalnya. Persis di lantai satu gereja yang bersanding d engan kantor sinodenya, ada banyak ruangan yang salah satunya difungsikan sebagai Taman Kanak-kanak.
Selain soal fungsi gandanya, bangunan beberapa gereja di lingkungan paroki (khususnya di Kota Semarang) juga sangat ikonik. Ini yang kerap membuat saya menghentikan langkah sejenak untuk memandanginya. Dan mengagumi juga tentunya. Gereja Santo Yusuf yang menjadi bagian dari Paroki Santo Yusuf Gedangan misalnya. Gereja yang dibangun 1870-1875 itu menyajikan sebuah panorama Neogotik yang sangat ciamik.
***
Paroki atau Parish (Bahasa Inggris) merupakan implementasi dari sebuah tertib administrasi dalam Gereja Katolik. Ia didirikan berdasarkan aturan-aturan kewilayahan dan jemaat dalam jumlah tertentu. Karena makna mula-mula dari gereja itu bukanlah gedung, tapi kumpulan umat yang beriman, maka paroki pun menempati kedudukan yang kurang lebih seperti itu. Ia tak serta merta berkait dengan wilayah, namun jauh melampaui teritori fisik seperti itu. Dibawah paroki biasanya ada yang disebut wilayah, stasi, lingkungan dan blok.
Semua hal ihwal yang terkait dengan peraturan ini termaktub dalam Kitab Hukum Kanonik (KHK) 1983 alias 1983 Codex Iuris Canonici, atau 1983 Code of Canon Law. Dalam kanon 515 artikel 1 KHK disebutkan, “Paroki ialah komunitas kaum beriman kristiani tertentu yang dibentuk secara tetap dalam Gereja partikular, yang reksa pastoralnya, dibawah otoritas Uskup diosesan, dipercayakan kepada Pastor Paroki sebagai gembalanya sendiri.”
Beda halnya dengan stasi (gereja di bawah paroki), gereja yang ada di lingkungan paroki ditunggui langsung oleh para imam atau romo. Mereka tinggal di dalam lingkungan paroki. Segala aktivitas yang terpusat di gereja selalu ada dan diketahui oleh romo. Kreasi para pengurus paroki pastinya hasil dari obrolan matang dengan romo.
Harus diakui, ada tarikan nafas yang berbeda ketika di sebuah gereja ada pendeta atau romo yang tinggal di sekitarnya. Ia bisa menjadi wakil dari gereja itu untuk berkomunikasi dengan lingkungan sekitarnya. Di daerah dimana umat Katolik atau Kristen itu tidak terlalu banyak, sebagian besar dari jemaat gereja biasanya bukan berasal dari wilayah dimana gereja itu berdiri.
***
Warna sebuah paroki, juga akan sangat ditentukan oleh romo yang ditempatkan disana. Passion-nya akan terlihat dalam penerjemahan aktivitas paroki. Ada paroki yang begitu aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial; dialog antar umat beragama, penanaman pohon dan lainnya. Salah satu cara yang mudah untuk mengidentifikasinya adalah melihat minat romo yang bertugas di paroki itu. Tidak absolut memang.
Di lingkungan para romo sendiri, peminatan studi mereka tidak tunggal. Ada romo yang mengkaji serta mendalami interreligious dialogue, liturgi, Islamologi dan lainnya. Sehingga, arah dan nyawa paroki, salah satunya, ditentukan oleh pikiran-pikiran para romo tersebut. Walaupun mungkin ada perbedaan kekhususan, tetapi dimensi teologis serta sosiologis seperti disinggung bagian awal tulisan ini, akan selalu ditemukan di paroki manapun.