Oleh: Tedi Kholiludin
Jelang maghrib, wanita cantik berjilbab berbaris rapi membawa kardus berisi ragam panganan; kolak, kurma dan es teh manis. Mereka mengambil tempat di dekat lampu merah di jalan yang penuh keramaian. Saat lampu menunjuk warna merah, mereka pun beraksi. Makanan dan minuman dibagikan kepada para pengguna jalan.
Ternyata, di lampu merah itu juga ada dua atau tiga anak muda yang membawa selebaran. Isinya, informasi menu dan harga baru selama ramadlan di sebuah restoran. Tak jauh dari tempat itu pula, reklame berukuran besar berdiri. Kontennya masih berkaitan dengan pernak-pernik puasa. Promosi sarung dan mukena serta pakaian Islami tepatnya.
Adzan maghrib berkumandang. Parkiran di depan sebuah restoran cepat saji sesak dengan kendaraan roda empat dan dua. Besar kemungkinan tak ada lagi ruang kosong di dalam warung itu. Dua meja panjang masih belum bertuan. Diatasnya, sebuah kertas bertulis “reserved” menjadi penegas status meja tersebut.
Tak lama kemudian dua rombongan datang, sang empunya meja. Karena makanan sudah siap tersaji, mereka menyantap hidangan berbuka puasa itu, sebelum kemudian dilanjutkan dengan obrolan-obrolan yang tak jauh dari pekerjaan mereka.
Makan bersama di restoran merupakan salah satu cara pimpinan di kantor bersama anak buahnya turut menghiasi ramadlan. Membahagiakan anak buah juga pastinya. Cara lain adalah dengan mengundang penceramah untuk memberikan taushiyah jelang berbuka atau datang ke panti asuhan sembagi membagikan paket peralatan ibadah dan bantuan dana.
Panorama jelang sahur juga tak kalah meriah. Warung-warung musiman bermunculan. Kalangan kelas menengah perkotaan pastinya sangat terbantu kehadiran mereka. Tak perlu repot memasak, cukup memanfaatkan kehadiran mereka saja.
Pada masyarakat perkotaan, itulah kurang lebih alur kehidupan yang dilewati selama Ramadlan. Gejala yang di negeri kita, mungkin belum dua dasawarsa usianya. Puasa terbingkai melalui berbagai aktivisme yang tak biasa, karena tidak dilakukan pada hari-hari biasa. Ada nilai yang coba diapungkan; berbagi, silaturahmi, kepedulian, sedekah, dan lain sebagainya. Jadilah kemudian banyak label; Ramadlan Berbagi, Ramadlan Ceria, Ramadlan Ekstra, Connected Ramadlan, Holiday Ramadlan, Ramadlan for Modern Women dan sebagainya.
Pusat perbelanjaan juga turut memeriahkan ramadlan. Ornamen bertemakan ramadlan yang bertaut dengan tawaran-tawaran menggiurkan dipampang di pelbagai sudut. Mobil mewah keluaran terbaru di pajang di atrium. “Bisa buat mudik pak,” seorang marketing menawarkan kepada pengunjung yang rupanya sedang ngabuburit di mall.
Tak hanya ruang fisik yang menyimpan semangat Ramadlan, isi gawai yang tak pernah lepas dari genggaman orang-orang kota, juga turut terpapar. Pada berita tentang kenaikan harga daging ayam, promosi paket murah berbuka, hingga potongan harga untuk pengiriman jasa antar barang.
***
Kota-kota modern menjadi tempat munculnya kontradiksi-kontradiksi besar; jadi simbol kemajuan, kreativitas, demokrasi dan kesejahteraan, tetapi juga kerap menghadirkan kemiskinan, ketimpangan, eksploitasi dan kekecewaan. Filosof, seniman, novelis dan lainnya berusaha hadir untuk memahami ambiguitas-ambiguitas kota. (Stevenson, 2003). Meski bagi sebagian kalangan kota adalah ladang yang menjanjikan, tetapi bagi mereka yang kurang beruntung, kota adalah penjara yang menyengsarakan. Karena kerumitan inilah maka tidak ada penjelasan tunggal yang memadai tentang apa dan mengapa hal tersebut terjadi.
Gaya hidup masyarakat urban saat ramadlan dan setidaknya seminggu setelah lebaran berimbas pada inflasi, naiknya harga-harga di pasar. Permintaan meningkat, tetapi penawaran tidak berubah. Selebrasi ramadlan masyarakat urban tercermin pada perilaku ekonominya yang cenderung konsumtif, yang disebabkan faktor budaya, personal, psikologis, dan sosial. Banyaknya uang yang beredar, maka semakin turun nilainya. Di sisi lain, ada kalangan masyarakat kota yang berpendapatan rendah dan kemudian terkena imbas dari situasi ini. Begitulah paradoks kehidupan masyarakat perkotaan.
Beberapa lembaga penyalur zakat, infak dan sedekah menangkap situasi ini dengan menyediakan mekanisme distribusi dalam jejaring (online). Praktis dan bisa dilakukan dengan cepat. Dengan telpon genggamnya, orang-orang kota cukup buka aplikasi lembaga penyalur sedekah dan mentransfer sejumlah uang untuk disumbangkan kepada mereka yang berhak.
Begitulah umumnya orang kota memaknai dan menghiasi ramadlan. Ada kesalehan yang terbangun dan diekspresikan ke ruang publik, dahaga spiritual yang diobati serta menumbuhkan semangat untuk berbagi dengan sesama. Dan di saat yang sama, tetap memanfaatkan potongan harga dari gerai-gerai ternama, buka bareng di restoran dengan view laut dan mengganti kendaraan dengan model terbaru agar bisa digunakan untuk mudik ke kampung bersama keluarga.