Oleh: Tedi Kholiludin
Struktur sosial, atau lebih mudah kita membayangkannya sebagai posisi sosial, bagaimanapun juga memiliki pengaruh terhadap sebuah hubungan. Posisi tersebut bisa semakin melanggengkan prasangka, tetapi jika hal tersebut cepat disadari untuk kemudian menelurkan sebuah karya komunikasi yang egaliter, maka status sosial relatif tidak memiliki dampak negatif.
Masalah dalam ruang sosial, kerap berbanding lurus dengan problem ekonomi. Jurang yang terlampau jauh, berpotensi menebalkan kecurigaan dan prasangka. Konflik etnis atau agama, sering terjadi karena gejolak besar dalam ruang ekonomi (dan pertarungan politik). Ketimpangan itulah akarnya, sementara masalah etnis atau agama bisa menjadi pemantiknya.
Hubungan-hubungan keseharian masyarakat Tionghoa dengan kelompok lainnya, bisa dibaca dari sudut pandang ini. Struktur sosial mereka, tidak hanya menentukan pada ada atau tidak adanya konflik, tetapi juga bagaimana menyadari struktur itu untuk kemudian menerjemahkannya pada sebuah praksis agar terjadi relasi yang egaliter.
Dalam sebuah obrolan ringan, Harjanto Halim menuturkan jika dicermati, sejatinya tidak ada konflik terjadi ketika orang Tionghoanya tidak hidup berkecukupan alias orang biasa-biasa saja secara ekonomi. Apakah itu artinya orang Tionghoa harus “dimiskinkan” agar tidak terjadi prasangka yang kemudian berujung konflik?
Status sosial tidak melulu bisa diidentifikasi sebagai penyebab terjadinya konflik. Karena perbedaan posisi itu adalah hal yang alamiah, maka butuh upaya untuk mengendalikan dan mengelolanya agar tidak menjadi pemantik konflik. Bagaimana peran dimainkan, itu yang cukup penting, apalagi jika yang terjadi adalah sebuah pola relasi yang bersifat “atasan-bawahan.”
Beberapa orang Tionghoa, mencoba untuk memainkan peran dalam posisinya sebagai seorang atasan. Kemampuan untuk melayani bawahan merupakan salah satu cara yang cukup efektif dalam mengurangi potensi kesenjangan. Sikap-sikap sederhana yang ditunjukkan sejatinya cukup membekas dan secara psikologis, lebih bisa menciptakan kedekatan.
Menyeduh dan menyiapkan kopi untuk sang sopir misalnya. Terkesan sederhana, tetapi akan sangat memiliki makna, apalagi sang atasan membuatkannya dengan segala ketulusan. Atau “sekadar” meminta izin lewat saat dia sedang tertidur atau beristirahat. Gestur seperti itu memang tidak bisa dilihat dalam konteks besar sebagai alat untuk meredam konflik. Tetapi sebagai karya keseharian, hal ini merupakan salah satu bentuk human interest.
Kemampuan untuk masuk ke dalam dunia orang lain (objektivasi dalam bahasanya Berger), adalah syarat terjalinnya sebuah komunikasi efektif. Kehadiran “aku” dalam kosmologi “kamu,” bisa menghadirkan “kita.” Keduanya tak lagi berjarak karena identitas yang berbeda.
Disinilah perlu semacam cultural intelligence, cultural quotient atau kecerdasan budaya. Seorang Tionghoa yang pintar berbahasa ngoko atau Bahasa Jawa halus misalnya, akan lebih cepat diterima oleh pembantunya yang Jawa. Dalam beberapa kesempatan, terutama saat ia hadir dalam forum-forum umat Islam, Harjanto Halim kerap menyitir hadits atau pepatah Arab yang setelahnya, disahuti tepukan tangan peserta. Ia sering melafalkan “uthlubul ‘ilma walaw bisshiin,” “Hubbul wathon minal Iman,” dan sekali pernah berujar “al-muhafadhotu ‘alal qadiim as-shalih wal akhdzu bil jadid al-ashlah.”
Video seorang bule yang lancar berlogat Surabayanan, menjadi viral karena bisa dengan cepat diterima oleh orang Jawa. Itulah kecerdasan kebudayaan, modal untuk bisa masuk ke dalam dunia lawan bicara.