Memutus mata rantai keilmuan untuk menciptakan pengetahuan sendiri adalah keangkuhan yang tak masuk akal. Jika “ilmu” sudah dipikirkan oleh generasi terdahulu (al-mutaqaddim), maka generasi belakangan (al-muta`akhkhir) harus mengambil dan melanjutkannya. Ilmu masa lalu diterima jika sesuai dengan kebenaran, dan ditolak apabila salah sembari memaafkannya.
Dalam berfilsafat, umat Islam harus mengambil dari para filsuf masa lalu (al-qudamâ`) dengan mempelajari karya-karyanya. Berkaitan dengan ini, Ibnu Rusyd memberikan fatwa “wajib” kepada orang yang memiliki kapasitas tertentu untuk membaca buku-buku yang ditulis oleh al-qudamâ`.
Kapasitas dimaksud, yaitu; 1) Memiliki bakat dan kesiapan mengkaji filsafat (dzakâ`u al-fithrah). 2) jujur dan mencari kebijaksanaan/kebenaran (al-‘adâlah asy-syar’iyah wa al-fadlîlah al-‘ilmiyah wa al-khuluqiyah).
Menurut Abid al-Jabiri, syarat pertama, yakni “dzakâ`u al-fithrah” merupakan syarat yang sudah dikenal di kalangan filsuf Andalusia. Ibnu Bâjah dan Ibnu Thufail sudah menggunakan istilah ini sebagai persyaratan. Mengkaji filsafat membutuhkan bakat dan kesiapan sebagaimana mempelajari sastra dan musik. Hal ini tidak semua orang memiliki kemampuan yang sama.
Sedangkan syarat kedua, yaitu “al-‘adâlah asy-syar’iyah wa al-fadlîlah al-‘ilmiyah wa al-khuluqiyah” merupakan syarat yang asing di kalangan filsuf. Menurut al-Jabiri, maksudnya adalah pembaca karya-karya filsafat yang ditulis oleh pendahulu harus memiliki sifat yang dalam bahasa sekarang dikenal dengan istilah “kejujuran ilmiyah (al-amânah al-‘ilmiyah)”. “Al-‘adâlah asy-syar’iyyah (adil menurut agama)” dalam hukum Islam (fikih) menjadi syarat sahnya persaksian (asy-syahâdah). Yakni, orang yang bersaksi dapat diterima persaksiannya apabila memiliki sifat ini. Fuqahâ` mendefinisikannya dengan: “menjauhi dosa besar, menjaga diri dari dosa kecil, dan menjaga martabat.”
Maksud Ibnu Rusyd menggunakan istilah ini, yaitu “pembaca” karya filsuf masa lampau menempati posisi sebagai “saksi”, sehingga harus adil (tidak boleh menambah dan mengurangi keterangan), dan tidak boleh melibatkan hawa nafsu yang memunculkan sikap menerima dan menolak hanya berdasarkan kemauannya sendiri. Selain itu, istilah “al-‘adâlah asy-syar’iyah” juga bermakna pemilahan dan pemilihan terhadap keterangan yang ditulis para filsuf terdahulu. Artinya, seseorang memposisikan dirinya sebagai “pembaca aktif” yang kritis terhadap keterangan-keterangan yang sebenarnya tidak pantas untuk disebut sebagai ilmu pengetahuan, terlebih terhadap pembahasan yang diharamkan agama, seperti ilmu ramalan, sihir, dan mantera.
Sedangkan maksud dari “al-fadlîlah al-‘ilmiyah wa al-khuluqiyah” yaitu pembaca filsafat harus melepas semua kepentingan selain untuk mencari kebaikan, kebijaksanaan, dan kebenaran.
Dalam hal ini Ibnu Rusyd sedang merumuskan hukum belajar filsafat yang berbeda dengan fuqahâ` dan mutakallimîn. Bagi Ibnu Rusyd, hukum “haram” belajar filsafat tidak bisa di-gebyah-uyah. Justru sebaliknya, ada di antara umat Islam yang diwajibkan oleh agama untuk mempelajarinya, yaitu orang yang memenuhi 2 persyaratan di atas. [elsa-ol/KA-@khoirulanwar_88/001]