Qur’an bagi yang Tertindas

Judul: Qur’an of the Oppressed: Liberation Theology and Gender Justice in Islam
Penulis: Shadaab Rahemtulla
Penerbit: Oxford University Press
Tahun terbit: 2017
Tebal halaman: 295 halaman
Peresensi: Tedi Kholiludin

Bagaimana seseorang mampu menjelaskan al-Qur’an, teks di abad ketujuh, dalam situasi sosial yang membebaskan, mengatasi realitas penindasan mereka dan konteks masyarakat yang beragam laiknya masyarakat di abad 20 atau abad 21? Pertanyaan inilah yang hendak dijawab oleh Shadaab Rahemtulla dalam buku “Qur’an of the Oppressed: Liberation Theology and Gender Justice in Islam.” Pengajar dalam kuliah Islam and Christian-Muslim Relations di School of Divinity, University of Edinburgh ini mendedah konteks masyarakat Afrika Selatan, India dan Amerika, dunia yang terpisah dari audiens langsung teks (Qur’an).

Rahemtulla menelaah bagaimana empat intelektual muslim mendialogkan Qur’an dengan kondisi lingkungannya. Ia mendaras pikiran Farid Esack (Afrika Selatan), Asghar Ali Engineer (India), Amina Wadud (Afro-Amerika) dan Asma Barlas (Pakistan-Amerika). Keempatnya, mendayagunakan Qur’an sebagai sumber yang kaya untuk melakukan refleksi teologis dan tindakan sosio-politik.

Dua nama pertama, dikenali oleh kalangan intelektual muslim sebagai pemikir yang banyak bergulat dengan ide pembebasan. Esack, bahkan tak hanya menulis, ia adalah aktivis yang menentang rezim apartheid. Dua nama terakhir adalah perempuan yang konsen dengan ide pembebasan dan upayanya menciptakaan keseteraan gender.

Analisis terhadap karya-karya Esack, Engineer, Wadud dan Barlas yang dikerjakan Rahemtulla menunjukkan bahwa tafsir terhadap Al-Qur’an mampu menghadapi penindasan di masa kini, setidaknya karena tiga alasan utama.

Pertama, konten substantif dari teks itu sendiri, yaitu aksennya keadilan sosial dan deskripsi tentang Tuhan sebagai Tuhan yang berbelas kasih dan adil.

Baca Juga  Rasa itu Tidak Bisa Diadili

Kedua, kritik mereka terhadap praktik membaca yang ada, yang (menurut mereka) menimbulkan hambatan untuk mencapai sikap egaliter dan inklusif dalam pemahaman teks.

Ketiga, penerapan praktik membaca baru yang memungkinkan mereka untuk sampai pada pemahaman yang tepat, sehingga membuat teks tersebut secara langsung relevan dengan konteks penindasan mereka sendiri.

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Nahdlatul Arabiyyah Semarang: Jejak Keturunan Arab yang Terlupakan (Bagian Pertama)

Oleh: Tedi Kholiludin Pertumbuhan organisasi keturunan Arab di Hindia Belanda...

Dompet di atas Meja: Status Kesehatan dan Konfidensialitas dalam Ruang Sosial Kita

Oleh: Tedi Kholiludin Saya terbiasa meletakkan dompet di rumah pada...

Gelap itu Nyata, Bangkit itu Janji: Antara Iman dan Harapan

Oleh: Tedi Kholiludin Saat dalam perjalanan mudik untuk berlebaran bersama...

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini