Oleh: Denni Pinontoan
Pengajar Agama Kristen Negeri (IAKN) Manado
Siapapun yang datang ke Tomohon, pasti akan mendengar suara adzan dari sebuah mesjid menggema sejak subuh hingga magrib. Sebaliknya, pada hari Minggu, anda hanya akan mendengar suara lonceng dari banyak gereja pada pagi hari, setelah itu senyap. Suara nyanyian jemaat, doa dan khotbah pendeta hanya terdengar di masing-masing gedung gereja.
Tomohon adalah sebuah kota yang sejak tahun 1860-an menjadi pusat pendidikan Kristen di Tanah Minahasa. Sejak tahun 1930-an, Tomohon juga menjadi pusat dari gereja terbesar di Tanah Minahasa, yaitu Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM).
Sejak akhir abad ke-19, Tomohon juga menjadi pusat pusat administrasi misi Katolik. Tahun 1891 sudah berdiri sebuah gedung gereja Katolik yang berkerangka kayu, dengan dinding bambu, yang beratapkan rumbia. Dalam perkembangan kemudian, di kota ini juga berdiri sekolah-sekolah Katolik.
Tomohon kemudian menjadi kota yang mayoritas penduduknya beragama Kristen Protestan, kemudian menyusul Kristen Katolik. Kantor Sinode GMIM berdiri di kota ini. Terdapat rumah sakit “Bethesda” (berdiri tahun 1950) milik GMIM, dan rumah sakit “Gunung Maria” (berdiri tahun 1930) milik Gereja Katolik. Sekolah-sekolah Kristen banyak sekali di kota ini.
Namun, di kota ini terdapat pula tiga mesjid. Masjid Nurul Iman adalah tertua. Mesjid jami ini berada Kel. Kampung Jawa. Kemudian Masjid Al-Mujahidin sebagai mesjid besar di kelurahan Matani. Lalu Masjid At-Taqwa sebagai mesjid jami berdiri berdampingan dengan pesantren Hidayatullah di kelurahan Kinilow.
Di kota yang terletak di kaki Gunung Lokon ini, bunyi adzan menggema terdengar hampir seantero kota. Ini satu bukti yang sulit terbantahkan, bahwa warga Tomohon yang Kristen, sepertinya halnya orang-orang Minahasa pada umumnya adalah toleran dan moderat.
Saya kira, hal ini disebabkan oleh salah satu karakter khas orang-orang Minahasa adalah keterbukaan dan keramahtamahannya, yang tentu karena menghidupi nilai-nilai budaya yang mengajarkan penghargaan dan penghormatan, pertama-tama pada kemanusiaan setiap orang atau kelompok yang beragam identitas.
Jadi, ungkapan yang sering terdengar menyebut orang-orang Minahasa itu terbuka dan toleran, itu bukan slogan kosong untuk hanya memperoleh predikat daerah terukun. Kerukunan atau toleransi yang sering dipolitisir demi citra baik secara politis oleh kalangan tertentu, sesungguhnya memang nyata dalam kehidupan sosial masyarakat Minahasa.
Bukan hanya antar orang-orang Minahasa yang Kristen dengan umat beragama Islam, Hindu, Budha, Konghucu, tapi juga di internal kekristenan. Di banyak wanua/roong (kampung/desa) di Minahasa ini kita dapat menemukan 10 gedung gereja yang berbeda-beda denominasi. Justru konflik karena persaingan yang hebat dan rumit terjadi di ranah internal ini.
Namun, bersamaan dengan kebanggaan citra sebagai daerah terukun dan tertoleran, suara-suara kritis juga sering terdengar, mulai dari kongkow-kongkow dengan syaraf tegang karena prasangka sampai forum-forum akademik. Citra yang membanggakan itu kemudian akan diperlawankan dengan opini-opini yang menyedernahakan fakta. “Ah, orang-orang Minahasa itu terbuka dan toleran tidak benar. Lihat saja, aksi ormas-ormas ‘adat-Kristen’ itu yang menolak pembangunan mesjid. Wacana intoleransi sering juga sekali terdengar dari mereka!”
Iya, isu intoleransi memang lebih gampang diproduksi daripada cerita sukses toleransi di media sosial untuk kampanye solidaritas sejagad dalam suatu motif “playing victim”. Dan, ini sering lebih berhasil untuk suatu maksud polarisasi ketimbang “carita bae”, bahwa fakta memang “torang di sini baku-baku bae”.
Jadi, rupanya ada tiga kategori seputar keragaman atau relasi antara yang berbeda-beda di Tanah Minahasa atau Sulawesi Utara pada umumnya. Pertama, wacana politisasi kerukunan yang memang normatif dan bahkan sering berlebihan. Kedua, kerukunan dan toleransi yang dihidupi sehari-hari, dengan dinamika yang sungguh manusiawi. Dalam dinamika ini, ada keragaman yang saling berbagi dan memberdayakan, tapi juga ada ketegangan dan selalu berusaha diselesaikan dengan cara ala orang-orang kebanyakan.
Ya, katakanlah ibarat hidup berumah tangga, kata Andar Ismail, “ada ribut, ada rukunnya.” Ketiga, wacana yang terlalu “lebay”, dipenuhi dengan kebencian, prasangka dan sudah pasti dalam relasi yang tidak jujur dan tulus. Kategori ketiga ini sebetulnya problem besar di negara ini. Wujudnya yang sering tampak adalah politisasi identitas, aksi-aksi anti perbedaan dan bentuk relasi yang munafik.
Kualitas relasi antara yang berbeda-beda memang mesti selalu siap diuji. Demikian, seorang yang mengklaim diri atau diakui secara populer pluralis, toleran dan pejuang kerukunan juga mesti melewati ujian itu: apakah sikapnya itu jujur dan tulus, atau hanya sebuah pencitraan demi maksud politisasi identitas?
Ada riak-riak yang mesti dikelola dalam masyarakat Minahasa yang beragam. Tahun 2023 ini, satu yang masih kuat dalam ingatan, yaitu peristiwa tanggal 25 November 2023 lalu, yaitu bentrok dua massa.
Ormas Makatana Minahasa yang merayakan HUT organisasinya ke-12, bersamaan dengan itu massa yang diorganisir oleh Barisan Solidaritas Muslim (BSM) Bitung menggelar aksi damai Bela Palestina dan sholat Ghaib untuk masyarakat Muslim korban peperangan di Jalur Gaza, Palestina di lokasi yang berbeda. Bentrok tersebut menyebabkan tewasnya satu orang dari massa ormas Makatana Minahasa.
Setiap peristiwa yang melibatkan dua kelompok yang berbeda identitas, entah agama atau bersama dengan itu etnis dan ideologi, di era digital ini pasti bersama dengan itu akan muncul kiriman-kiriman media sosial, entah teks, gambar dan video yang tidak dapat menggambarkan secara jelas fakta.
Justru yang dominan adalah opini-opini pro dan kontra yang membungkus fakta yang dipenggal-penggal tersebut. Setelah ketegangan di lokasi mereda, justru kerusuhan opini di medsos baru akan dimulai.
Sikap Keragaman di Media Sosial
Di medsos tiga kategori sikap orang-orang terhadap keragaman muncul. Ada yang tiba-tiba muncul dengan wacana yang menenangkan seolah tanpa beban atas nama kerukunan dan toleransi. Ada yang yang muncul dengan marah-marah, tapi masih berusaha untuk menemukan fakta sebenarnya.
Nah, ada pihak, yang pun dia seorang atau kelompok yang di situasi damai mencitrakan diri pejuang toleransi dan kerukunan, eh tiba-tiba muncul dengan fakta-fakta yang dipilih-pilih untuk mengatakan, kaumnyalah yang menjadi korban dan teraniaya. Itu bagi dia/mereka adalah kebenaran. Padahal, yang namanya peritstiwa bentrok apapun, fakta yang sebenarnya pasti belum langsung dapat diketahui pada saat itu, apalagi hanya dengan menganalisa gambar atau video.
Dari banyak peristiwa yang merupakan riak-riak keragaman di Tanah Minahasa dan Sulawesi Utara pada umumnya, saya kira satu faktor penting yang membuatnya tidak meluas dan dapat dengan segera diatasi adalah peran dari masyarakat yang menghidupi warisan budaya yang moderat.
Ada benarnya apa yang pernah dikatakan oleh David Henley, Maria J. Schouten dan Alex J. Ulaen dalam sebuah artikel bersama mereka tahun 2007: “Selain memiliki masyarakat sipil yang kuat dan negara lokal yang relatif beradab, Sulawesi Utara diuntungkan oleh suatu struktur ekonomi yang tidak mendorong konflik”. Tulisan mereka itu tentang upaya perdamaian di Minahasa terkait kerusuhan besar di Ambon dan Palu, dua daerah yang mengapit Sulawesi Utara.
Interpretasi Nilai Budaya Minahasa
Kalau kita coba interpretasi lebih jauh, warisan nilai-nilai budaya Minahasa yang cukup mendominasi daerah ini adalah yang telah memberi kontribusi penting bagi penciptaan masyarakat sipil yang kuat, negara lokal yang relatif beradab, struktur ekonomi yang tidak mendorong konflik.”
Tentu yang dimaksud di sini adalah warisan budaya yang telah bertranformasi menjadi sikap hidup secara sosial yang terbuka, dominan dengan keramahtamahan, politik yang relatif egaliter, dan ekonomi yang lumayan stabil.
Jadi, keragaman di Tanah Minahasa itu adalah suatu keadaan relasi sosial yang dinamis tapi selalu berusaha dikelola secara konstruktif. Demikian pula dengan konsekuensi-konsekuensi yang muncul darinya. Dinamika itulah yang disebut kehidupan “ribut-rukun”, ibarat kehidupan berumah tangga. Konflik atau ketegangan tidak untuk ditiadakan, tapi mesti selalu dikelola.
Iya, karena sepertinya orang-orang Minahasa selalu berusaha menjadikan Tanah Minahasa ini sebagai “rumah bersama” bagi semua orang yang ingin hidupnya lestari dari tanah ini. Kecuali bagi mereka yang tidak mau berumah di sini, maka prasangka dan kebencian akan selalu berusaha dipelihara hidup di kepala dan cara bersikapnya. Dan, itu adalah sebuah kemunafikan dalam berelasi!