[Banjarnegara -elsaonline.com] Di Jawa Tengah, komunitas Ahmadiyah yang tinggal di perkampungan itu, bisa jadi adalah yang terbesar. Anggota yang tercatat sejumlah 370 jiwa dan 86 Kepala Keluarga. 2 buah masjid dan 3 musholla menjadi penanda lain dari komunitas Ahmadiyah disana.
Tidak sulit untuk mengidentifikasi komunitas yang dimaksud. Mereka adalah kelompok Ahmadiyah yang ada di Dusun Krucil, Desa Winong, Kecamatan Bawang Kabupaten Banjarnegara. Sebagai komunitas yang berkelompok dalam sebuah area administratif (Dusun atau Desa), sekali lagi, jemaat di Krucil mungkin yang terbesar.
Sudah kali yang ke sekian, teman-teman dari Yayasan Lembaga Studi Sosial dan Agama (ELSA) menyambangi tempat ini, meski tidak rutin. Jarak yang jauh adalah penyebabnya. Dari Semarang, tempat dimana teman-teman ELSA berdomisili, ke Banjarnegara jaraknya lebih kurang 135 kilometer. Karenanya hanya pada momen tertentu saja kami bisa menyambangi komunitas Ahmadiyah disana.
Selasa siang (10/10/2023), suasana di Krucil terlihat sepi. Tidak banyak orang yang terlihat berada di luar rumah. Sebagian mungkin sedang beraktivitas di luar rumah, sisanya bisa jadi ada di dalam rumah. Muballigh yang bertugas di wilayah Krucil, kebetulan sedang berada di Wonosobo menghadiri sebuah kegiatan.
Sesampainya di halaman aula milik Jemaat Ahmadiyah setempat, saya segera berkabar dengan pimpinan komunitas di Krucil.
Ahmadiyah mengenali model kepemimpinan ganda (double leadership); spiritual dan jemaat. Pemimpin spiritual adalah seorang muballigh. Ia yang bertanggungjawab atas pembinaan iman jemaat. Pelayanan yang bersifat kerohanian adalah tugas utamanya. Area pelayanannya berubah-ubah, dari satu tempat ke tempat yang lain. Tanggungjawab berbeda diemban oleh Ketua Jemaat. Ia adalah penduduk lokal, yang bertempat tinggal di wilayah tersebut. Ketua Jemaat Krucil adalah penduduk Krucil sendiri yang dalam periode tertentu bergantian memimpin dengan penduduk Krucil lain yang dipercaya sebagai ketua. Tugas utamanya adalah menggerakkan roda organisasi serta mengelola jemaat.
Sembari menunggu Sugiyoto, Ketua Jemaat Ahmadiyah Krucil, saya berkontak dengan salah satu jemaat disana, dan kebetulan ia sedang berada di rumah. Namanya; Nusrat Fauziyya. Ia adalah putri dari almarhum Muhammad Ahmad, muballigh asal Banyubiru, Kabupaten Semarang yang pernah bertugas di Kota Semarang, tepatnya di Jalan Erlangga. Muballigh Muhammad Ahmad adalah kontak pertama jemaat Ahmadiyah dengan teman-teman di ELSA. Sejak ELSA turut melakukan kampanye penerimaan sosial terhadap kelompok-kelompok yang terpinggirkan pada 2005, melalui Muballigh Muhammad Ahmad inilah perkenalan terhadap Jemaat Ahmadiyah mulai terbangun. Muhammad Ahmad telah meninggal pada tahun 2013.
Nusrat Fauziya sempat belajar di beberapa organisasi masyarakat sipil yang berkaitan dengan isu Hak Asasi Manusia (HAM), sebelum kemudian memutuskan untuk mengabdi bersama keluarga kecilnya di Krucil. Kakaknya, Firdaus Mubarik, juga sebangun. Firdaus adalah pendiri Solidaritas Korban Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan (SOBAT KBB). Putra almarhum Muhammad Ahmad yang lain meneruskan jejaknya sebagai muballigh dan calon muballigh.
Nusrat, Firdaus dan putra-putri almarhum Muhammad Ahmad lainnya adalah cucu dari pendiri Ahmadiyah di Krucil, Ahmad Rusydi. Rusydi muda adalah seorang tentara yang ditugaskan ke pelbagai wilayah, dalam dan luar negeri. Ketika mengemban tugas itulah dirinya berbaiat. Kurang lebih tahun 1950-an awal, Rusydi muda mengembangkan jemaat Ahmadiyah di Krucil. Karena dianggap memiliki ilmu pengetahuan lebih, ia diminta pemerintah untuk turut mengajar dengan status Aparatur Sipil Negara (ASN). Pada saat yang sama, Ahmad Rusydi rupanya melihat kebutuhan pengembangan dan penguatan spiritual pada jemaat Ahmadiyah perlu diperkuat. Makanya ia memutuskan untuk meninggalkan status kepegawaiannya dan mengabdi fokus mengabdi kepada jemaat.
Tak lama bersilaturahmi dengan Nusrat, Sugiyoto rupanya telah menunggu di beranda masjid seberang aula. Kami saling berkenalan, karena meski saya telah beberapa kali datang ke Krucil, tetapi perjumpaan dengan Sugiyoto, baru kali pertama. Tak butuh waktu lama untuk akhirnya kami sampai pada tema percakapan yang sama. Selain bertanya tentang keadaan dan kehidupan jemaat di Krucil, saya juga memperbarui informasi hal-hal lain seputar roda organisasi Ahmadiyah yang berjalan dengan sangat baik.
Sugiyoto, yang berprofesi sebagai tukang bangunan, mengajak kami ke sebuah warung bakso. “Disini tidak ada rumah makan, jadi kita makan siangnya bakso saja ya,” ia menawarkan dan kami mengiyakan tanpa berpikir panjang. Tak perlu waktu lama untuk berjalan dari masjid tempat kami bercakap-cakap sebelumnya menuju warung bakso tersebut.
Setelah memilih tempat duduk, sembari menunggu bakso dihidangkan, saya bertanya banyak hal pada Sugiyoto, salah satunya adalah tentang menggerakkan roda organisasi. Menurutnya, dari 370 jiwa yang tercatat sebagai anggota Jemaat Ahmadiyah Krucil, kurang lebih 25 juta bisa dikumpulkan kelompok ini tiap bulannya. Dana itu berasal dari berbagai candah (semacam infaq) yang diberikan oleh anggota.
Ketika ditanyakan apakah jumlah itu termasuk kategori besar atau kecil, Sugiyoto melanjutkan, angkat tersebut ada dalam ukuran lumayan besar untuk komunitas di Jawa Tengah. Belum lagi melihat latar belakang sosial masyarakat Krucil yang adalah masyarakat pedesaan. Dengan mekanisme pengelolaan yang sentralistik, pendapatan itu disetorkan kepada Pengurus Besar (PB) Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Jadi, jika komunitas Ahmadiyah di Krucil hendak melaksanakan kegiatan misalnya, mereka tetap membuat proposal kepada PB JAI dan dinilai kelayakannya untuk diberikan sejumlah dana. Disinilah subsidi silang berlaku. Daerah yang candahnya lebih kecil, sementara memiliki kebutuhan banyak karena hendak membangun infrastruktur, bisa mendapatkan aliran dari daerah lain. begitu seterusnya. Pemerataan akan sangat mungkin terjadi pada banyak wilayah, karena semuanya terlaporkan dan tercatat dengan baik.
Ahmadiyah menekankan pentingnya menggerakkan organisasi dengan dukungan pencatatan, akuntabilitas dan transparansi yang terjaga. Setiap tiga bulan sekali, lanjut Sugiyoto, pengurus daerah (level provinsi) rutin melakukan audit ke level di bawahnya termasuk Krucil. Audit dilakukan, baik dalam aspek keuangan maupun organisasi. Tak hanya dari pengurus daerah pengurus besar pun juga melakukan hal serupa.
Saya bertanya tentang satu mekanisme yang disebut candah wasiyat. Besaran dari candah wasiyat, sudah ditentukan; 10 persen dari penghasilan. “Bagi seseorang yang tak berpenghasilan tetap, bagaimana menentukan 1/10 nya itu? Bagaimana kalau misalnya seseorang memilih untuk menghitungnya lebih kecil dari yang semestinya?” tanya saya. “Itu kembali pada kejujuran dan suara hati nurani masing-masing. Karena candah ini keyakinan dan ibadah, jadi motivasi masing-masing yang menentukannya,” terang Sugiyoto.
Sekarang, Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) telah mensosialisasikan website Candah.ID sebagai aplikasi yang memudahkan jemaat membayar candah, dengan tagline “Kita harus senantiasa mengingat bahwa agama merupakan urusan hati seseorang.” [Tedi Kholiludin]