Oleh: Tedi Kholiludin
Judul Buku : The Malady of Islam
Penulis : Abdelwahab Meddeb
Jumlah Halaman : 241 halaman
Penerbit : Basic Books, New York
Tahun Terbit : 2003
Nama Abdelwahab Meddeb, terdengar kurang mentereng dibanding Muhammad Sa’id al-Asymawi atau Abdelwahab El-Affendi. Al-Asymawi menghentak jagat pemikiran politik Islam karena gugatannya terhadap para islamis. Ia menyebut Allah menginginkan Islam menjadi agama, sementara manusia menyetirnya demi kepentingan politis. El-Affendi melalui karyanya ”Who Need an Islamic State” (sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia), mengkritik peran negara dalam urusan agama. Di kesimpulannya, El-Affendi mengatakan bahwa nilai sentral yang mengatur komunitas politik Islam dan memberinya makna adalah kebebasan. Belum lagi jika Meddeb dijejerkan dengan John L. Esposito atau Olivier Roy.
Namun, tentu ada alasan penting mengapa hari ini kita membicarakan karya dan pemikiran Meddeb. Karya Meddeb yang sedang kita diskusikan sungguh provokatif ”The Malady of Islam”. Dalam kesempatan ini saya berusaha memaparkan point-point yang ditawarkan Meddeb dalam buku ini untuk kemudian memberikan beberapa tanggapan atas argumentasi Meddeb.
Meddeb membagi buku ini ke dalam empat bagian. Masing-masing berbicara mengenai ”Islam: Inconsolable in Its Destitution”, A Genealogy of Fundamentalism”, Fundamentalism Against the West dan ”The Western Exclusion of Islam”. Saya akan menyarikan percikan pemikiran yang tercover dalam empat bab tersebut, meski tuturannya tidaklah terlalu sistematis.
Meddeb menjabarkan pemikirannya dalam bentuk essay-essay. Jadi kalau boleh ditimba, buku ini tidak berisi pemikiran utuh atau buku hasil dari perasan keringat sebuah penelitian. Namun, jangan terlalu cepat menyimpulkan dan mengatakan bahwa buku ini tidak berbobot. Banyak karya yang berbentuk essay tetapi cukup menghentak. Periksa Beyond Beliefnya Robert N.Bellah atau Essay on Critical Theologynya Gregory Baum. Juga ingat bahwa The Clash of Civilization yang menggegerkan dunia itu ditulis Samuel P. Huntington kali pertama “hanya” dalam sebuah Jurnal Foreign Affairs pada 1993.
Dengan kata lain, karya Meddeb yang satu ini bolehlah ditempatkan sebagai karya bermutu meski tidak terlalu istimewa. Persis seperti komentar Silvana Tropea yang meresensi buku hasil penerjemahan Pierre Joris dan Ann Reid untuk Amazon.com. Tropea mengatakan bahwa analisis yang dilakukan oleh Meddeb terhadap “penyakit umat Islam” bukanlah sesuatu yang mengejutkan (not entirely startling). Disebut demikian, karena pemikiran yang hendak diajukan Meddeb sudah bisa ditebak, menghantam sendi-sendi pemikiran Fundamentalisme Islam. Kata Meddeb fundamentalism and integrism essentially mean a search for purity, and a consequential rejection of all “outside” elements.
Dalam Islam, Meddeb mengatakan bahwa tidak ada institusi yang memiliki legitimasi atau kekuasaan absolut terhadap doktrin. (hlm. 6) Namun secara tradisional akses terhadap teks dijaga ketat; seseorang harus mematuhi kondisi-kondisi khusus untuk membuatnya berbicara atau berbicara dalam namanya. Inilah “kekuasaan tradisional” menjelma menjadi pagar pembatas untuk siapapun masuk dalam lubang teks. Meddeb juga mengatakan bahwa dunia Islam terus menerus tidak bisa dihibur dalam penderitaannya.
Dalam bab A Genealogy of Fundamentalism Meddeb mencoba merunut akar-akar pemikiran fundamentalis dalam Islam. Dia menemukan basis pemikiran tersebut dalam tradisi salah satu imam madzhab yakni Ibn Hanbal. Pemikiran Ibn Hanbal ini yang kemudian menginspirasi para penerusnya antara lain Muhammed Ibn ’Abd al-Wahhab (103-1792) dan Ibn Taimiyyah (1263-1328). ’Abdul Wahhab adalah pendiri gerakan Wahabisme yang mengajarkan dengan mengabungkan teori Ibn Hanbal dan Ibn Taimiyyah.
Selain berangkat dari cara pembacaan yang literal terhadap teks, setelah merunut akar genealogi fundamentalisme Islam, Meddeb berhipotesis, bahwa ”…I have the feeling that Wahhabite Saudi Arabia and Puritan America were held over the same baptismal font”. (61) Meddeb merasa heran dengan kemunculan kelompok puritan Amerika yang berdialektika dengan Saudi yang Wahabi. Atau kalau ada dialektik, mungkin terjadi, dalam bahasanya Meddeb, misapprehension. Padahal agama, dalam masyarakat Amerika seperti yang dituturkan Alexis De Tocqueville, ”in America religion is the road to knowledge and the observance of the divine laws leads man to civil freedom” (61). Inilah paradoks di dunia modern.
Dunia modern, saat ini bergerak dari Eropanisasi ke Amerikanisasi. (70) Kolonialisme tradisional secara perlahan menjadi jalan bagi aliansi antara negara-negara berdaulat, meskipun seringkali yang terjadi adalah reduksi terhadap proteksi implisit yang menjaga kekuasaan bersama dari sebuah bagian besar dengan perlindungan terhadap masyarakat asli.
Di bagian lain, Meddeb mengatakan bahwa klaim fundamentalisme Islam kerap mengkhayalkan sebuah utopia. Cara yang biasa mereka gunakan biasanya ”…using an example from modern times, recall that the Medina vision was at the origin of Wahhabism and that it constituted the credo of fundamentalists, the salafis of the ineteenth century.” (96)
Yang paling penting dikatakan disini adalah bagaimana relasi antara Wahabisme sebagai salah satu varian fundamentalisme Islam, dengan barat. Barat, kata Meddeb bukanlah isu selama kemunculan Wahabisme. Gerakan Wahabisme ini lahir pada abad 18, sebelum kesuksesan barat, sebelum penaklukan dunia oleh imperialisme borjuis. (96). Karenanya, kelahiran Wahabisme tidaklah undergo agresi kolonial tetapi ia lahir karena luka akibat kekerasan internal, kekerasan militer yang ditimbulkan oleh Raja Mesir dan kekuatan Ottoman. Sebagai doktrin, Wahabisme mengekspresikan polemik kekerasan dan paksaan dalam keseluruhan bidang konsep dalam Islam.
Prinsip itu kemudian memanifestasikan dalam bentuk penolakan terhadap demokrasi, sekularisasi, nation-state. Ini ditolak karena berasal dari barat dan illegitimate.(103). Sasaran dari semua bentuk Wahabisme ini dimaksudkan agar seseorang lupa akan tubuh, objek, jarak, keindahan; pengaburan ini berarti pemaksaan untuk membuat a generalized amnesia, salah satu gejala penyakit yang melanda umat Islam. Penyakit ini bisa dilihat dalam banyak wilayah dan perilaku yang berbeda dalam pelbagai strata masyarakat.
Meskipun demikian, Meddeb mengatakan bahwa ia tidak merasa bingung dengan penyakit-penyakit ini. ”The sickness of Islam, it has existed throughout history. It exist now”, begitu kata Meddeb, tegas.
Lalu apa yang menjadi tawaran Meddeb setelah dia menghantam pemikiran kolot dalam Islam?
Di bagian awal buku ini, Meddeb mengatakan bahwa interpretasi terhadap teks tidak hanya untuk menggali dan melakukan diversifikasi terhadap ”a good Islam” dan ”a bad Islam”, tetapi lebih dari itu akan sangat bermakna bagi Islam jika ia membuka diri untuk didiskusikan dan diperdebatkan, membuka kembali pluralitas pendapat, membuka ruang untuk perbedaan, menerima bahwa yang lain memiliki kebebasan untuk berbeda pendapat. (6-7) Bagi umat Islam akan menjadi lebih baik jika debat intelektual menemukan kembali kebenaran dan membiasakan diri untuk berada, dalam bahasanya Meddeb polyphony offers.
Tawaran berikutnya saya temukan saat Meddeb diwawancarai Qantara. Meddeb mengatakan bahwa para kritikus Islam sekarang ini belumlah apa-apa jika dibandingkan dengan para kritikus Islam pada abad 9 dan 10. kritik Meddeb terhadap Islam ia akui sama dengan apa yang dilakukan Friedrich Nietzsche dalam kekristenan.
Terakhir, saya sarikan hasil wawancara Meddeb sekaligus untuk mencari apa yang sebenarnya menjadi obat bagi penyakit Islam ini. ”… if you remove all the outside elements from what makes up Islamic civilization, there’s not much left; all of Islamic civilization is founded on the adoption and adaptation of elements that came from outside. Without the contributions of the Persians, Indians and Greeks, there would have been no Islamic civilization”.