Oleh: Abu Hapsin
”No world peace without peace among religions, no peace among religions without dialogue between the religions, and no dialogue between the religions without accurate knowledge of one another.”
(Hans Küng, 1987: 194)
Apa yang disampaikan oleh Prof. Hans Kung di atas, memberikan makna yang sangat dalam bagi setiap umat beragama agar sadar akan kenyataan bahwa klaim kebenaran bukan hanya milik agama atau kelompok tertentu saja. Di luar apa yang kita (sebagai umat beragama) yakini, kenyataannya banyak keyakinan keagamaan yang juga diklaim sebagai suatu kebenaran. Oleh karena itu jika dialog antar umat beragama akan dilangsungkan, maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah mempertanyakan adakah ruang dalam dalam diri kita untuk mendengar keyakinan keagamaan yang diklaim sebagai kebenaran oleh kelompok lain.
Ketertutupan sikap untuk memberikan ruang kepada kelompok lain hanya akan berujung pada sikap eksklusif. Kalau hal ini yang terjadi maka dialog tidak akan bermuara pada tujuan inti yakni menciptakan kehidupan yang harmonis dan damai secara hakiki. Karenanya dialog antar iman menghendaki kesiapan kita untuk menerima dua hal pokok. Pertama, mendengar dan belajar dari para pemeluk agama lain secara langsung mengenai penjelasan kebenaran yang mereka klaim, bukannya memotret keyakinan keagamaan orang atau kelompok lain dengan klaim kebenaran yang kita miliki berdasarkan agama kita. Kedua, mendengar dan belajar dari orang atau kelompok lain tentang bagaimana mereka menggambarkan kita dalam perspektif keyakinan keagamaan yang mereka anut.
Berangkat dari penjelasan di atas, dalam kesempatan ini penulis akan mencoba memaparkan bagaimana potret kelompok lain dalam perspektif Islam atau lebih khusus lagi dalam perspektif al-Qur’an. Pembahasan ini pun tidak penulis lakukan secara detail, tetapi hanya yang terkait dengan hal-hal yang sangat mendasar, yakni paradigma dalam memandang fungsi manusia secara keseluruhan tanpa membedakan keyakinan keagamaan.
Pesan Universal Al-Qur’an
Bagi Muslim, al-Qur’an merupakan wahyu Allah (kalam Allah atau logos), Tuhan Yang Maha Kuasa, yang diturunkan memalui perantara Ruh al-Amin (trustworthy spirit) kepada Nabi Muhamad saw. untuk disampaikan kepada umat manusia secara keseluruhan. Pesan universalitas al-Qur’an ini dapat dibedakan dari dua dimensi; dimensi internal dan dimensi eksternal. Yang dimaksud dengan universalitas berdimensi eksternal adalah pesan universal al-Qur’an yang ditujukan kepada mereka baik yang mempercayai maupun yang tidak mempercayai al-Qur’an sebagai wahyu Allah. Jadi di sini yang menjadi sasaran dari titah Tuhan adalah mausia secara keseluruhan tanpa membedakan latar belakang keyakinan keagamaan, ideologis, suku, ras dan sebagainya. Dalam konteks ini, yang menjadi partikularitasnya adalah umat Islam secara keseluruhan, tanpa membedakan sekte maupun denominasi.
Sedangkan yang dimaksud dengan universalitas yang berdimensi internal adalah pesan universal al-Qur’an yang sasarannya hanya umat Islam secara keseluruhan yang diwujudkan dalam bentuk perintah dan larangan al-Qur’an yang bersifat umum (kulliyat). Dengan kata lain, universal tetapi berlaku hanya untuk intern umat Islam. Oleh karena itu partikularitasnya adalah setiap kelompok, denominasi keagamaan (Islam) atau bahkan individu-individu Muslim yang memiliki perbedaan dalam memahami teks-teks sumber ajaran keagamaan seperti Qur’an maupun Tradisi (sunnah) Nabi. Kalau dari universalitas yang berdimensi eksternal lahir konsep persaudaraan sesama manusia (ukhuwwah insaniyah), maka dari universalitas berdimensi internal ini lahir konsep persaudaraan sesama Muslim (ukhuwwah Islamiyah).
Universalitas Islam yang Berdimensi Eksternal
Islam (dengan ‘I’ kapital) merupakan nama bagi suatu agama yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad saw., sedangkan Muslim (‘M’ kapital) adalah nama bagi para pengikutnya (umat Muhammad saw.). Namun demikian kata “muslim” dalam al-Qur’an tidak hanya sebutan bagi mereka yang tunduk dan patuh terhadap ajaran yang dibawa oleh Muhammad saw. Nabi Ibrahim as. yang justru merupakan leluhur Muhammad saw. dikatakan “muslim” (QS. Ali Imran: 67). Sudah barang tentu sebutan “muslim” bagi Nabi Ibrahim ini bukan karena beliau mengikuti ajaran Nabi Muhammad tetapi karena kepasrahan dan ketundukan kepada Allah serta kelurusan hati dan tindakannya yang tidak mau berbuat syirik (paganism). Itulah karenanya “islam” merupakan nama generik bagi setiap ajaran Tuhan (Allah) yang diwahyukan melalui para nabi-Nya. (al-Baqarah: 112, al-Nisa: 125, al-An’am: 14). Kalau kita melihat surah al-Baqarah ayat: 111 dan kemudian diteruskan dengan ayat: 112 akan sampai pada kesimpulan bahwa di antara orang Yahudi dan Nasrani sebenarnya terdapat orang-orang yang “muslim” dan “non muslim” (dengan “m”), dalam pengertian, ada di antara mereka yang berserah diri dan tunduk kepada (hukum-hukum) Tuhan (Allah) dan ada yang tidak. Allah bahkan menjamin bagi mereka yang “islam” dan berbuat baik dengan jaminan pahala berupa kehidupan surgawi.
Dengan demikian dalam pandangan al-Qur’an “islam” (dengan i) adalah nama generik yang memuat pesan universal (universal message) yang diturunkan oleh Allah sejak zaman Adam as. “Islam” (‘I’ kapital), sebuah organized religion yang dibawa oleh Nabi Muhammad juga memuat pesan universal tersebut, yakni suatu ajaran yang memerintahkan umat Islam untuk tunduk dan patuh (inqiyad) kepada Allah dan hukum-hukum Nya, baik yang tertulis dalam al-Qur’an maupun yang tersebar di jagat raya (Hukum Alam atau Sunnatulah). Mengapa demikian? Karena posisi umat Islam pun sama dengan yang lainnya, yakni sebagai wakil Tuhan di muka bumi (khalifatullah fil ardl).
Akan tetapi bagi umat Islam, dalam menjalankan fungsinya sebagai wakil Tuhan tersebut, Tuhan memberikan petunjuk agar pesan universal (menjadi wakil Tuhan di muka Bumi) tersebut dapat dilaksanakan dengan baik. Karena petunjuk yang ditetapkan al-Qur’an itu masih umum sifatnya, maka kemudian dijabarkan dalam Sunnah (tradisi Nabi Muhammad). Dalam bahasa yang disederhanakan ajaran yang termuat dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah itu ibarat ‘juklak’ dan ‘juknis’ yang dalam bahasa agama disebut dengan syir’ah (al-Maidah: 48) atau syari’ah (al-Jatsiyah: 18). Jadi syari’ah tidak lain dari seperangkat aturan yang ditetapkan oleh Allah melalui para rasul-Nya dalam rangka melaksanakan pesan universal tersebut. Namun satu hal yang perlu diketahui bahwa meskipun pesan-Nya universal, Allah tidak menetapkan cara yang sama dalam melaksanakan pesan tersebut.
Pesan universal ini tidak lain adalah kepercayaan atau titipan (amanah), dan ini tentunya terkait erat dengan eksistensi manusia itu sendiri. Dengan anugerah akal pikiran, manusia memang makhluk yang paling pantas untuk mengemban amanah. Amanah yang diberikan Allah kepada manusia ini berupa kepercayaan untuk menjadi wakil (khalifah) Allah di muka bumi, menjaga dari kerusakan, menciptakan kehidupan yang aman dan damai serta memakmurkan bumi. Sedangkan modal untuk menjadi khalifah, Allah telah memberi akal pikiran kepada manusia. Akan tetapi akal pikiran ini masih merupakan potensi dasar yang bisa saja keliru atau bahkan berpotensi destruktif dalam menjalankan tugasnya. Itulah karenanya Allah menurunkan “juklak” berupa wahyu melalui para nabi. Ketaatan serta ketundukan terhadap aturan-aturan yang ada dalam “juklak” tersebut ditambah dengan ketaatan terhadap “juknis” yang ditemukan dalam ajaran dan tradisi Nabi Muhammad itulah yang dinamakan “ibadah”. Kalau demikian, dalam konteks menjaga mafsadat dan memakmurkan bumi, “ibadah” itu merupakan wasilah (perantara) agar tujuan memakmurkan bumi ini sejalan dengan yang dikehendaki oleh pencipta dan pemilik bumi, yaitu Tuhan (Allah).
Mengingat ibadah ini merupakan perantara, maka wajar atau mungkin saja bagi Allah untuk tidak membuatnya sama. Dengan demikian universalitas Islam itu terletak dalam tugas menjadi khalifah (wakil Tuhan), bukan dalam tata cara melaksanakannya. Inilah yang penulis maksudkan dengan dimensi eksternal dari universalitas Islam. Mengetahui dimensi eksternal dari universalitas Islam ini penting bagi setiap Muslim agar menyadari sepenuhnya bahwa di luar dirinya masih banyak orang atau kelompok lain yang juga menjalankan tugasnya menjadi khalifah. Dalam kenyataan kehidupan sehari-hari bisa disaksikan banyak di antara non Muslim, bahkan ateis sekalipun, yang jauh lebih taat dalam menjaga amanat menjalankan tugasnya sebagai wakil Tuhan ini. Sebaliknya, banyak di antara orang Muslim sendiri yang perbuatannya justru bertentangan dengan tugasnya sebagai wakil Tuhan, menimbulkan banyak mafsadat, seperti korupsi, memfitnah orang lain, mengadu domba (namimah), membabat hutan, mengotori lingkungan dan sebagainya.
Dalam mendefinisikan “orang lain” (the others), biasanya masing-masing kelompok agama, termasuk umat Islam, sering melihatnya dari simbol-simbol keyakinan keagamaan yang nampak di permukaan. Simbol-simbol keagamaan bahkan seringkali dijadikan identitas serta batasan yang kaku dalam mendefinisikan “kita” dan “mereka”. Identitas ini bahkan tidak jarang menjadi faktor penghambat dalam melakukan hubungan kerjasama untuk membangun ukhuwah insaniyah (persaudaraan sesama manusia) maupun ukhuwwah wathaniyah (persaudaraan sebangsa).
Identitas ke-kita-an dalam rangka menjalankan “juklak” dan “juknis” (bukan dalam menjalankan tugas menjadi khalifah (wakil Tuhan) memang diperlukan oleh seluruh agama, karena identitas inilah yang membedakan tata cara beribadat antara masing-masing agama. Tanpa identitas dan simbol-simbol keagamaan yang diyakini bersama, maka agama secara sosiologis tidak lagi bisa dikatakan sebagai agama. Agama akan tereduksi menjadi keyakinan individual. Karena itu yang perlu dikembangkan bukan bagaimana menghilangkan simbol-simbol yang mencerminkan identitas dan keyakinan keagamaan tetapi bagaimana agar simbol-simbol itu tidak menjadi penghalang untuk melakukan kerjasama dalam rangka meramaikan (memakmurkan) bumi serta menjaganya dari kerusakan.
Kalau memang demikian, pertanyaannya lalu untuk tujuan apa kita membangun persaudaraan sesama manusia (ukhuwwah insaniyah)? Jawabannya jelas, yakni untuk tujuan memakmurkan bumi (isti’mar al-ardl). Di sinilah letak persoalan paling mendasar dalam memandang the others yang kebetulan memiliki tata cara beribadah dan sistem keyakinan keagamaan yang berbeda. Mereka harus diperlakukan saudara atau teman kerja dalam rangka memakmurkan bumi, karena memakmurkan bumi juga menjadi tugas non Muslim. Sebaliknya individu-individu Muslim yang tidak bisa menjalankan tugasnya memakmurkan bumi, tidak harus dijadikan teman kerja. Memakmurkan bumi ini tidak bisa dilakukan oleh orang per orang tetapi harus merupakan team work yang solid, yang masing-masing sadar dan paham akan fungsi kekhilafahannya.
Atas dasar pertimbangan tersebut, maka dalam memandang yang lain (the others) harus dilakukan perubahan paradigma. Kalau semula the others itu adalah mereka yang berbeda dalam menampilkan simbol-simbol keyakinan keagamaan, atau berbeda dalam melaksanakan tugas ibadah, maka sekarang (karena kita bicara dalam konteks memakmurkan bumi), the others itu harus didefinisikan sebagai orang-orang yang tidak melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai wakil Tuhan (khalifah). Berdasar pada paradigma demikian, maka umat Islam tidak boleh lagi mempertanyakan “what their religious conviction is” tetapi “how their religious conviction cope with the problem of humanity”. Inilah makna universalitas Islam dalam dimensi eksternalnya. Hanya dengan pemahaman mendalam serta kesadaran penuh akan fungsi khilafah yang universal inilah pribadi-pribadi Muslim akan bersikap inklusif dalam memandang the others.
Penutup
Untuk bisa membangun hubungan harmonis antar umat beragama, masing-masing di antara kita harus bersikap terbuka menerima saran maupun kritik dari yang lain. Sikap keterbukaan ini bahkan menjadi prakondisi agar dialog antar umat beragama bisa berjalan dengan baik dan menghasilkan gagasan, teoritis maupun praktis, untuk tujuan yang mulia yakni memakmurkan bumi. Memakmurkan bumi dan menjaga bumi dari kerusakan bukan hanya tugas kelompok agama tertentu melainkan menjadi tugas universal kita semua sebagai manusia.
Sebagaimana kita rasakan bersama, kehidupan dunia modern telah begitu jauh memasuki kehidupan manusia bahkan sampai ke pelosok pedesaan. Secara pasti, modernitas ini telah memberikan pengaruh, baik langsung maupun tidak, terhadap kehidupan umat beragama di mana saja. Banyak temuan-temuan manusia cerdas telah memanjakan kita untuk menjalani hidup ini, namun tidak sedikit pula dampak negatif telah merusak sendi-sendi kehidupan kemanusiaan yang harus kita hadapi. Sebagai umat beragama, tentunya kita harus merasakan semua ini sebagai kerusakakan bumi (fasad fil ardl), atau meminjam istilah Paul F. Kniter, global suffering.