Dehumanisasi Lewat Poligami?

Oleh : Iswatun Ulya (Pengelola Sekolah Gender eLSA Semarang)

Poligami kiranya masih menjadi topik yang “seksi” untuk dibicarakan. Perbincangannya masih menjadi kontroversial. Seringkali, poligami memunculkan pro dan kontra dalam realitas kehidupan sosial keberagamaan.

Pihak yang sepakat akan poligami beralasan bahwa poligami dilakukan apabila memenuhi dua syarat; pertama, dapat mencukupi nafkah keluarga dan mampu berbuat adil kepada istri-istri. Kedua, dibolehkan melakukan poligami dengan kondisi tertentu (darurat).

Sedangkan pihak kedua adalah pihak yang melarang mutlak adanya poligami. Hal ini dikarenakan poligami dapat menimbulkan kasus-kasus kekerasan terhadap pasangan (perempuan) baik fisik, seksual, maupun emosional-psikologi. Tidak hanya itu, poligami juga dapat memicu terjadinya konflik. Baik konflik antar pasangan, konflik orang tua kepada anak atau bahkan anak terhadap anak.

Poligami berasal dari bahasa Yunani, poli atau polus yang memiliki arti banyak, dan kata gamein atau gamos yang berarti banyak. Jadi secara definitif poligami memiliki arti perkawinanan yang banyak dan bisa jadi dalam jumlah yang tidak terbatas (Labib MZ: 1986).

Tidak sedikit ayat dalam al-quran yang membahas mengenai poligami, salah satu di antaranya termuat dalam Q.S an-Nisa ayat 3 yang artinya; Nikahilah oleh kalian wanita-wanita yang kamu senangi, dua, tiga atau empat.
Akan tetapi, jika kalian khawatir tidak dapat berlaku adil, maka nikahilah seorang saja atau nikahilah budak-budak yang kalian miliki. Hal itu adalah lebih dekat pada sikap tidak berbuat aniaya.

Jika ditilik lebih jauh, konteks diturunkannya ayat poligami di atas yaitu lebih banyak membicarakan persoalan anak yatim. Pada waktu itu, anak yatim perempuan seringkali menjadi korban atas perilaku yang tidak adil. Namun, masyarakat tidak memahami maksud ayat yang membahas permasalahan ketidakadilan yang dialami oleh anak yatim, melainkan justru pembenaran bahwa poligami boleh dilakukan.

Baca Juga  Gus Dur dan Kebijakan Kesehatan

Pemahaman teks (ayat al-qur’an) secara tekstual menjadikan seseorang salah kaprah dalam memahami sebuah teks (baca: poligami). Sehingga diperlukan reinterpretasi (penafsiran ulang) atas sebuah teks.
Sebagaimana menurut Asghar Ali Enginer, Al-quran dan Hadis sebagai sumber utama hukum Islam memiliki dua dimensi, yaitu normatif dan kontekstual. Sifat kontekstual al-quran bahwasanya kandungan-kandungan dalam al-quran berasal dari sejarah kebudayaan dan tradisi ketika al-quran diturunkan.

Sedangkan sifat normatif al-quran adalah kandungan yang bersifat transendental, meletakan norma bagi perilaku keseharian manusia. Singkatnya, sebuah teks tidak bisa hanya ditafsirkan secara tekstual, melainkan harus sesuai tempat dan masanya (shalih likullizaman wa makan).

Pernikahan dalam Islam sejatinya menganut prinsip monogami. Namun, jumlah perbandingan perempuan yang lebih banyak dibandingkan laki-laki, seringkali dijadikan legitimasi dan politisasi laki-laki untuk melakukan poligami.

Tak hanya itu, faktor penyebab poligami juga disebabkan oleh domestikasi perempuan atau pengiburumahtanggaan perempuan. Hal ini disebabkan kultur masyarakat yang menganggap bahwa laki-laki memiliki posisi sebagai superioritas, sedangkan perempuan sebagai manusia kelas dua (the second human being). Kultur patriarkhi dalam masyarakat baik disadari atau tidak sebenarnya masih begitu terasa bahkan terjadi dalam kehidupan keseharian.

Islam sesungguhnya melindungi hak-hak dan martabat perempuan dari praktik poligami. Meskipun dalam Islam memperbolehkan praktik poligami dengan batasan empat orang istri. Itupun dengan syarat bahwasanya pembolehan dengan empat orang istri pada waktu itu merupakan suatu bentuk perlindungan terhadap perempuan.

Karena pada saat turunnya Islam, laki-laki bisa melakukan poligami dengan istri tak terbatas. Sehingga Islam datang untuk memberi batasan, dengan ketentuan harus bisa bersikap adil.

Selain faktor agama, poligami sangat terkait dengan iklim sosial suatu masyarakat. Poligami dilakukan dalam rangka mencapai kapitalisasi dan pengelolaan sumber daya. Dengan menikahi perempuan lebih dari satu, maka dengan mudah seorang laki-laki memiliki tenaga kerja ganda yang siap bekerja tanpa diberi upah. Dalam kondisi yang seperti ini, lagi-lagi perempuan yang dirugikan.

Baca Juga  Menyibak Eksklusifitas Fikih Klasik Terhadap Kebebasan Beragama; Sebuah Pengantar Merumuskan Fikih Kebebasan Beragama

Posisi perempuan yang dirugikan akibat poligami hal ini sebagai mana hasil penelitian Alwy Rahman dalam buku ‘Gelas Kaca dan Kayu Bakar’ di tradisi di Sulawesi Selatan, selain perempuan dijadikan sebagai objek makian dalam kehidupan keseharian, perempuan juga dianalogikan seperti gelas kaca dan kayu bakar.

Analogi gelas kaca dan kayu bakar memiliki arti bahwa dalam kehidupan masyarakat, perempuan harus mengalami retak dan pecah. Sementara, analogi kayu bakar, dimaknai bahwa perempuan harus terbakar, hangus dan menjadi abu. Sedangkan laki-laki adalah api, siap membakar dan menghanguskan kayu bakar.

Bentuk implikasi poligami dalam kehidupan keseharian merupakan kekerasan terhadap perempuan. Ini sesuai dengan definisi kekerasan terhadap perempuan pasal 1 deklarasi PBB tentang penghapusan diskriminasi terhadap perempuan.
Bahwa, setiap tindakan yang berakibat menyengsarakan atau menimbulkan penderitaan, baik secara fisik maupun psikologis seksual, termasuk ancaman tindakan dan perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di umum maupun rumah tangga.

Menilik Poligami pada masa Rasulullah Saw. Ayat poligami diturunkan di Madinah setelah Perang Uhud. Banyak prajurit muslim yang gugur di medan perang. Sehingga jumlah janda dan anak-anak yatim meningkat. Dengan kondisi yang seperti itu, Nabi memutuskan untuk menikahi para janda dalam rangka menolong. Poligami yang dilakukan Nabi bukan merupakan suatu bentuk hegemoni atas perempuan atau bahkan dehumanisasi terhadap perempuan. Justru, nabi menjunjung tinggi nilai-nilai yang ada dalam al-quran (Q.S an-nisa: 3) yakni menegakan keadilan diantara istri-istri dan hak-hak anak yatim perempuan.

Nabi Muhammad menikahi Khadijah sampai Khadijah tutup usia. Hanya sekitar 13 tahun dari sisa usianya Rasulullah menikahi beberapa istri, terutama janda-janda tua dan mantan istri sahabatnya yang meninggal di medan perang. Selain dengan maksud menolong, Nabi juga mampu berbuat adil.

Baca Juga  Merawat Persaudaraan Dalam Keberagamaan

Namun, poligami pada masa Nabi dengan situasi saat ini kiranya sudah tidak relevan lagi. acap kali ajaran Islam disalahartikan untuk kepentingan politisi laki-laki. Belum lagi alasan klasik yang muncul ketika laki-laki memutuskan berpoligami karena ingin menolong perempuan.

Seandainya alasan menolong itu benar, kenapa poligami dilakukan dengan perempuan yang masih muda dan cantik? Hal ini pada akhirnya tetap saja menjurus pada persoalan seksualitas dan penurunan derajat perempuan.

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Dompet di atas Meja: Status Kesehatan dan Konfidensialitas dalam Ruang Sosial Kita

Oleh: Tedi Kholiludin Saya terbiasa meletakkan dompet di rumah pada...

Gelap itu Nyata, Bangkit itu Janji: Antara Iman dan Harapan

Oleh: Tedi Kholiludin Saat dalam perjalanan mudik untuk berlebaran bersama...

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

De Las Casas dan Perlawanan atas Kolonialisme: Cikal Bakal Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Bartolomé de las Casas (1485–1566) adalah seorang...
Artikel sebelumnya
Artikel berikutnya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini