Oleh: Sumanto Al Qurtuby

Waktu belajar resolusi konflik dan studi perdamaian (conflict resolution and peace studies) di Eastern Mennonite University, Harrisonburg, Virginia, Amerika Serikat, saya pernah mendapat kehormatan untuk mengisi “Sekolah Minggu” di Harrisonburg Mennonite Church (HMC), gereja Mennonite terbesar di kota Harrisonburg. Panitia, Helmut Noah, meminta saya menyampaikan tema tentang peace and nonviolence (perdamaian dan tanpa kekerasan) dari perspektif Islam—sebuah tema yang sulit saya jelaskan mengingat wajah dunia Islam belakangan dari Saudi Arabia sampai Indonesia yang belepotan dengan kekerasan dan aksi-aksi vandalistisme lain. Jujur saja, sebagai seorang Muslim yang lama dibesarkan di pondok pesantren, madrasah, dan IAIN, saya malu menyampaikan tema itu. Selain itu, saya khawatir kalau tetap menyampaikan tema itu dengan mengatakan bahwa Islam yang benar adalah Islam yang ramah, santun, toleran, anti-kekerasan, dan menjunjung tinggi perdamaian, akan ada “tuduhan” apology mengingat mereka tahu kalau saya Muslim. Ini sungguh membuat saya dilematis. Akhirnya, saya minta kepada panitia untuk mengubah tema itu dengan sharing tentang bagaimana pandangan American-Christians terhadap Islam dan Indonesia, dan sebaliknya saya akan me-response dan menyampaikan perspektif orang-orang Muslim Indonesia tentang Kristen dan Amerika, tentu saja sejauh yang saya tahu.
Tawaran saya itu disetujui. Bagi saya berbicara dalam komunitas Kristen Amerika adalah kesempatan baik untuk, orang Jawa bilang, “ngudo roso” (menumpahkan segala perasaan dan pikiran) tetapi bukan dalam konteks untuk saling menjatuhkan atau saling mengunggulkan peradaban, tradisi, dan kebudayaan masing-masing melainkan untuk mencari semacam mutual-understanding satu sama lain. Dasar pemikiran inilah yang membuat saya bersemangat berangkat ke gereja meskipun suhu berada di bawah –15 C. Dengan mengenakan “jubah tebal” pagi itu saya berangkat dengan ditemani oleh Prof. Lawrence Yoder, pengajar mata kuliah missiology di Eastern Mennonite Seminary. Seperti sudah saya duga sebelumnya, dalam sesi sharing gagasan itu orang-orang Kristen Amerika khususnya “the Mennonites” hanya mengungkapkan “sisi-sisi negatif” dari Islam (atau tepatnya dari perilaku umat Islam) di Indonesia seperti perusakan gereja-gereja di Jawa Barat dan tempat lain, konflik Muslim-Kristen di Maluku, aksi-aksi terorisme dan sweeping terhadap orang-orang Barat, maraknya pengeboman dan demonstrasi anti-Barat (AS), dan lain-lain. Ada juga yang bertanya tentang “nasib kaum perempuan” Indonesia. Pertanyaan ini dilatarbelakangi oleh nasib buruk kaum Hawa di Afghanistan khususnya semasa rezim Taliban yang hanya dijadikan sebagai obyek penindasan, atau kaum perempuan pada umumnya di Arab dan Timur Tengah yang tidak memiliki hak-hak sebagaimana umumya kaum laki-laki Muslim.
Saya menyadari sepenuhnya bahwa sejumlah “proposisi negatif” itu mereka dapatkan dari media massa, cetak maupun elektronik, yang pada umumnya memang punya kegemaran dan “hobi” mengekspose hal-hal “sensasional” dan “vulgar” ketimbang menyajikan “fakta-fakta empiris” yang lebih akurat dan “menyejukkan” meskipun memang harus diakui ada sejumlah media yang “mencerdaskan” dan menjadi “penyambung lidah” kepentingan rakyat banyak. Waktu itu saya tidak menyangkal 100% pandangan teman-teman Kristen Mennonite. Memang apa yang mereka sampaikan adalah bagian dari “fakta-fakta empiris” wajah Islam (tepatnya, dunia Muslim) Indonesia (juga belahan dunia lain). Memang harus diakui ada sekelompok Islam di Indonesia yang hobinya melakukan kekerasan dan tindakan anarkis lain: pengurusakan, pemukulan, penyerangan, dan setrusnya.
Selain “mengamini” penjelasan mereka, saya juga memaparkan sejumlah “fakta-fakta empiris” lain dari wajah Islam Indonesia. Saya jelaskan bahwa: aksi-aksi terorisme, kekerasan dan perilaku vandalistic itu hanya dilakukan oleh segelintir umat Islam bukan representasi wajah dunia Islam Indonesia; bahwa konflik tidak hanya terjadi antara Islam v Kristen melainkan juga Islam v Islam (misalnya kelompok konservatif muslim v moderate muslim) atau Islam v “agama lokal” (indigenous religions); bahwa orang-orang muslim “tengil” itu tidak hanya merusak gereja tetapi juga terhadap properti umat Islam lain. Lebih dari itu saya juga menjelaskan fakta mayoritas umat Islam Indonesia yang moderat dan anti kekerasan dan terorisme. Waktu itu saya katakan bawa mayoritas kaum Muslim di Indonesia menolak perilaku destruktif dan cara-cara kekerasan dalam menyampaikan pesan universal Islam sebagai agama “rahmatan lil alamin” (blessing for all creatures—berkah bagi semua mahkluk). Sebuah survey dari lembaga Indo-Barometer menujukkan bahwa 88.88% dari responden menolak cara-cara kekerasan untuk melawan tindakan “immoral behaviors,” 96.2% responden juga menolak melakukan tindakan kekerasan terhadap non-Muslim, dan lebih dari 95% responden setuju bahwa sikap toleransi dalam menjalin hubungan dengan agama lain adalah vital dan sangat penting dalam membangun hubungan antar-agama yang harmonis di Indonesia (The Jakarta Post, June 22, 2007). Tidak lupa, saya juga memaparkan fakta bahwa nasib kaum muslim perempuan Indonesia jauh lebih baik dan terhormat ketimbang nasib mereka di masa almarhum rezim Taliban dan dimanapun di belahan dunia Islam di Timur Tengah, apalagi Arab yang tidak menghargai perempuan.
Penjelasan saya tutup dengan sebuah “tausiyah” agar orang-orang Kristen-Amerika melihat realitas keislaman secara “komprehensif” tidak hanya dari sudut pandang orang-orang Muslim fundamentalis-konservatif saja. Meminjam istilah Gus Dur, saya katakan bahwa dunia Islam itu seperti hutan belantara, jika kita melihat dari jarak jauh maka yang tampak adalah sebuah “kesatuan pemandangan” yang biru akan tetapi jika kita melihat dari jarak dekat apalagi kalau kita masuk di dalamnya, maka akan tampak banyak pohon yang berlainan jenis. Jadi apa yang mereka saksikan mengenai fundamentalisme-konservatisme sebetulnya hanyalah salah satu saja dari ribuan “pohon keislaman” yang bertebaran di “belantara Islam.” Diam-diam mereka menganggukkan kepala mendengar penjelasan saya yang menurut mereka mungkin “sesuatu yang baru”. Ketika teman saya, Lawrence, meminta tanggapan Helmut Noah selaku panitia atas “khotbah Minggu” saya, dia berkomentar singkat “much different”. Akhirnya, sebagai “penghargaan” saya diundang makan siang di sebuah restoran Barat yang mewah dan laris dan enak (minimal dari perspektif santri dan orang kampung seperti saya).
Sebagaimana orang-orang Kristen Amerika (di forum itu) yang memandang umat Islam secara “gebyah uyah” dan “misunderstanding”, sebagian umat Islam di Indonesia juga menilai bahwa umat Kristen Amerika (without exception) adalah sekumpulan orang yang mempunyai pandangan seragam (homogen), yakni anti-Islam, mem-back up penuh infiltrasi dan imperialisasi pemerintah AS ke Afghanistan dan Iraq, berada di belakang Israel dan sindikat Yahudi dalam konflik negara ini dengan Palestine, bersekongkol dengan Yahudi-Kristen untuk menghancurkan Islam, dst. Jelasnya, sikap dan pendapat masyarakat Amerika adalah sama persis seperti sikap dan pendapat pemerintah George Bush sekarang yang gemar perang, dll dsb. “American people are identical with its government. America is a set of people with a homogeneous opinion and ways of thinkin,”demikian saya katakan untuk menggambarkan pandangan dan sikap beberapa teman Muslim di Indonesia. Laskar Jihad misalnya, seperti ditulis Noorhaidi Hasan dalam Faith and Politics: the Rise of the Laskar Jihad in the Eras of Transition in Indonesia (Indonesia 73, 2002: 165-67), mempercayai bahwa konflik kekerasan di Maluku adalah bagian dari “proyek koalisi” global Zionis-Salibis (baca, Yahudi-Kristen) lewat tangan-tangan Republik Maluku Selatan (RMS). Mereka berpendapat bahwa konspirasi kekuatan internasional itu untuk menghancurkan kejayaan Islam dengan menggerakkan isu-isu disentegrasi dan kristenisasi di Indonesia. Maluku, kata mereka, hanyalah “pilot project” dari skenario global ini.
Kesan dan penilaian yang “generalize” dan “gebyah uyah” ini tentu saja sangat tidak tepat—sebagaimana tidak akuratnya pandangan orang-orang Kristen-AS di gereja tadi terhadap fakta keberagaman dunia Islam. Bahwa ada masyarakat Amerika yang membenci Islam dan mendukung penuh program perang pemerintahan Bush memang ya. Misalnya seperti ditunjukkan oleh watak dan sikap sebagian kaum Baptis, Evangelis Putih, dll. Melalui tokoh-tokoh kharismatik seperti Jerry Falwell, Billy Graham, Pat Robertson, Jerry Vine, Richard Cizik dsb, mereka terus melakukan agitasi anti-Islam dan mendorong Bush untuk maju terus pantang mundur dalam melaksanakan program “war on terror”. Dan Bush tentu saja tidak berkutik menghadapi mereka karena kita tahu merekalah yang berjasa mengantarkan Bush ke Gedung Putih sampai dua kali. Jadi meskipun kebijakan politik luar negerinya dikecam dimana-mana, dia bergeming. Bahkan terakhir meskipun hasil polling menunjukkan lebih dari 60% warga AS menentang perang dia tetap melangkah sampai “ada demokrasi di Iraq”—sebuah alasan yang klise dan klasik. Sekedar diketahui pemerintahan Bush telah membelanjakan milliaran dollar hanya untuk memenuhi ambisi kampanye “war on terror”. Tahun 2005 lalu mereka menghabiskan lebih dari $ 470 billion hanya untuk mengurusi perang, dan tahun lalu Washington menganggarkan 797 T dari total 25.000 T APBN AS untuk program senjata. Demi memenuhi hobi perangnya itu, Bush sampai memangkas pos anggaran lain seperti santunan untuk disable citizens, pensiunan pegawai, dan health care. Dengan dalih untuk melindungi “keamanan dunia”, Bush terus melangkah meskipun kritikan deras mengalir kepadanya dari seluruh penjuru dunia.
Tetapi harap dicatat, di samping kelompok-kelompok anti-Islam ini, sangat banyak warga AS yang menentang perang dan sangat “hangat” dengan kaum Muslim. Dan harap pula dicatat lebih dari 10 juta warga AS adalah Muslim! AS tidak hanya dihuni teman-teman Protestan, Katolik, dan Yahudi tapi juga beraneka ragam agama lain: Islam Sunni, Syi’ah, Sikh, Hindu, Budha, Jain, Bahai, dan sebagainya. Banyak para sarjana Kristen dan Yahudi di AS yang menentang perang sambil terus menyerukan perdamaian global antar-agama. Tokoh-tokoh Yahudi AS yang getol menentang perang dan menjadi juru perdamaian global, al, Marc Gopin, Peter Ochs, Yahezkel Landau, Rabbi Haris, dan lain-lain. Mantan profesor saya, Lisa Schirch misalnya, dalam setiap pembicaraan juga selalu menggebu-gebu mengkritik pedas kebijakan Bush seraya mengatakan lebih baik pemerintah AS menggunakan dana perang yang milliaran dollar itu untuk program pangan, shelter, pendidikan, sanitasi, health care, dll di negara-negara miskin dan berkembang daripada digunakan untuk membeli senjata dan membunuh rakyat tak berdosa. Gerakan anti-perang di AS juga dilakukan kelompok Sojourners (Christians for peace and justice) yang demobilisasi Jim Wallis, tokoh “sayap tengah” Kristen terkemuka dan berpengaruh di AS. Demikian juga Gene Sharp, seorang tokoh intelektual gaek dan senior scholar di Albert Einstein Institution yang dijuluki “the Machiavelli of nonviolence” dan “the Clausewitz of nonviolent warfare”. Lagi, gabungan koalisi Kristen dari berbagai denominasi membentuk “Christian Peacemaker Team” yang tujuan utamanya adalah menetang perang dan segala bentuk kekerasan dan menebarkan perdamaian global. Kelompok ini diinspirasi oleh visi dan perjuangan tanpa-kekerasan yang dilakukan Jesus yang dalam Islam disebut Nabi Isa.
Kelompok-kelompok Kristen tadi melakukan kerja-kerja kemanusiaan dan perdamaian serta menggalang solidaritas global anti perang dan segala tindakan kekerasan lain terhadap sipil di seluruh penjuru dunia yang menderita karena perang melalui dialog, advokasi, mutual understanding, respect, relationship-building, restorative justice practices, dll yang melampaui batas-batas kepercayaan dan keimanan (beyond beliefs and faiths). Menariknya kerja-kerja sosial dan intelektual yang mereka lakukan itu selain dorongan spirit humanity dan liberty, juga karena “digerakkan” oleh “energi kekristenan” yang cinta perdamaian. Sejarah kekerasan yang begitu gelap dalam tradisi Kristen (Eropa) memang telah membuka mata (sebagian) para pengikut Jesus tentang kejamnya peperangan dan indahnya sebuah perdamaian.
Semangat gerakan cinta damai, toleransi, dan anti-kekerasan itu juga dilakukan kelompok Muslim di AS. Di bawah kepempinan tokoh sufi kharismatik, Rabia Terry Haris, dibentuklah Peace Muslim Fellowships yang tujuan utamanya menyerukan wajah keislaman yang damai, toleran, dan anti-kekerasan. Gerakan yang tidak hanya di AS tapi juga di pelosok penjuru dunia Islam lain ini diinspirasi nama “Islam” yang memang bermakna damai serta sejarah kenabian dan ulama-ulama peaceful lain. Semangat kekristenan dan keislaman yang santun, ramah, toleran, damai, saling menghargai, dan saling pengertian inilah yang perlu terus-menerus dipukuk dan dirawat untuk mewujudkan upaya pembangunan perdamaian berbasis agama antara Islam-Kristen (salam-sarane) di Ambon dan Maluku.