Oleh: Tedi Kholiludin
Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) di Jawa Tengah pada tahun 2018 dilaporkan naik dari tahun sebelumnya. Jika pada 2017 IDI Jawa Tengah mencapai 70,85 poin, tahun 2018 angkanya naik menjadi 72,17. Meski begitu, jika dilhat secara nasional, posisi Jawa Tengah dibawah rata-rata, yakni 72,39.
IDI adalah takaran kuantitatif yang dilakukan untuk melihat tren perkembangan demokrasi di Indonesia. Tidak hanya dari sudut pandang pemerintah saja tetapi juga elemen masyarakat sipilnya. Dalam IDI, tiga indikator menjadi ukuran; kebebasan sipil, hak-hak politik, dan aspek lembaga demokrasi.
Saya beberapa kali terlibat dalam diskusi bersama Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Tengah mengenai hal ini, khususnya pada tema yang berkaitan dengan kebebasan sipil atau civil rights. Dari sisi kebebasan sipil, setidaknya ada empat dimensi yang diukur; kebebasan berkeyakinan, kebebasan berkumpul dan berserikat, kebebasan berpendapat serta kebebasan dari diskriminasi.
Data-data yang dikumpulkan oleh teman-teman di Yayasan Lembaga Studi Sosial dan Agama (ELSA) dalam bidang kebebasan berkeyakinan di Jawa Tengah, kerapkali dihadirkan dalam diskusi terfokus serta wawancara mendalam. BPS mencatat bahwa dimensi kebebasan berkeyakinan di Jawa Tengah mengalami penurunan. Dan situasi ini juga terjadi di Sumatera Utara, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, DIY dan Jawa Timur. Saya akan menyoroti dimensi kebebasan berkeyakinan di Jawa Tengah dari unsur yang ada dalam kebebasan sipil.
Faktor Regulasi
Pada aspek kebebasan berkeyakinan, indikator-indikator tertentu menjadi ukuran. Misalnya, apakah di wilayah tersebut ada atau tidak aturan yang membatasi kebebasan beribadah pemeluk agama. Atau, dalam kurun satu tahun tertentu, ada atau tidak pejabat pemerintah yang melakukan diskriminasi, entah melalui tindakan atau ucapan.
Situasi politik, seperti pemilihan umum, kerapkali dijadikan sebagai latar munculnya diskriminasi atas dasar keyakinan. Beda pilihan politik, lalu mendayagunakan agama sebagai peluru kendali untuk melakukan agitasi. Jika ini menjadi tesis, maka saya kira hal tersebut tidak relevan dengan konteks masyarakat Jawa Tengah 2018. Kita tahu bahwa Pemilihan Gubernur Jawa Tengah tak menyisakan bekas dalam perkara ini. Teramat beda dengan Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta tahun 2017 silam.
Dari sisi regulasi, surat Bupati Banjarnegara tentang penghentian aktivitas kegiatan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) setempat adalah faktor yang diduga menurunkan indek demokrasi dari unsur kebebasan sipil, khususnya pada aspek kebebasan berkeyakinan. Melalui surat bernomor 300/370/Kesbangpollinmas/2018, bupati setempat memeringatkan JAI sebanyak 3 kali untuk mencopot papan nama sampai diminta menghentikan kegiatan.
Situasi serupa pernah dialami Jawa Timur ketika gubernur setempat mengeluarkan Peraturan Gubernur nomor 55 tahun 2012 tentang Pembinaan Kegiatan dan Pengawasan Aliran Sesat di Jawa Timur. Dikeluarkannya aturan tersebut membuat indeks propinsi ini menurun pada aspek kebebasan berkeyakinan.
Saya mengkonfirmasi temuan BPS melalui data yang kami miliki. Penurunan itu bisa dimengerti karena memang ada situasi yang “mendukung” menurunnya IDI dalam aspek kebebasan berkeyakinan tersebut. Hemat saya, tindakan pembatasan yang dilakukan oleh negara melalui dokumen legal, merupakan tindakan yang memiliki bobot besar dalam pencapaian kualitas demokrasi.
Meski begitu, membaca angka-angka ini juga harus agak hati-hati. Kuantitas tidak selalu menggambarkan kualitas secara general. Menurunnya kebebasan di Jawa Tengah dalam aspek angka, tidak berarti bahwa sama sekali tak ada aktualisasi kehidupan keberagamaan yang bebas sesuai dengan keyakinan masing-masing. Promosi untuk terus merajut kerukunan selalu ada di pelbagai wilayah Jawa Tengah.
Singkatnya, penurunan aspek kebebasan sipil tak mesti berbanding lurus dengan kondisi kebebasan berkeyakinan di Jawa Tengah yang menurun seluruhnya secara kualitatif.