Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya menyatakan menolak permohonan para pemohon uji materi UU No. 1 PNPS 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/Atau Penodaan Agama (selanjutnya ditulis PNPS 1965). Pernyataan tersebut diungkapkan dalam sidang pembacaan putusan Senin (19/04), di gedung MK Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat. Atas dasar putusan itu, maka UU PNPS 1965 dinyatakan tetap berlaku.
Atas dasar putusan MK tersebut, Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang menyatakan:
- Menyayangkan ditolaknya permohonan para Pemohon dicabutnya PNPS 1965. Berlakunya UU PNPS 1965 akan melanggengkan diskriminasi terhadap aliran kepercayaan. PNPS 1965 sejak awal kemunculannya merupakan pagar pembatas bagi aliran kepercayaan yang dianggap sebagai penoda agama. Dalam beberapa kasus seperti dalam pembuatan Akta Kelahiran, KTP dan pendaftaran pernikahan, mereka kerap mengalami persoalan.
- Semakin kaburnya antara apa yang disebut sebagai penafsiran keagamaan dan penodaan agama. Selama ini kasus yang menimpa Yusman Roy selalu dianggap sebagai penodaan agama, padahal yang terjadi adalah penafsiran terhadap ajaran agama. Dengan begitu PNPS 1965 membuka kemungkinan untuk terjadinya penghakiman terhadap penafsiran keagamaan atas nama penodaan agama.
- Memberikan wewenang kepada negara untuk menjadi hakim teologis, membedakan mana yang disebut “ajaran yang sehat” untuk membedakannya dengan “ajaran yang sakit”. Prinsip ini jelas melanggar dasar-dasar kebebasan beragama. Negara seharusnya tidak bisa mengintervensi keyakinan masyarakatnya, negara hanya bisa mengatur lalu lintas hak warganya.
Semarang, 20 April 2010
Tedi Kholiludin
Direktur