Bertahan untuk tetap Berimajinasi

Oleh: Tedi Kholiludin

Yang tak boleh hilang dari kehidupan manusia adalah kemampuan untuk terus berimajinasi. Tanda-tanda intelejensia, kata Albert Einstein, bukanlah pengetahuan, tetapi imajinasi.

***

Saya baru saja membaca esai lama Yuval Noah Harari, penulis Sapiens. Ia berefleksi tentang makna kehidupan di dunia tanpa pekerjaan. Ia memulai refleksinya dengan mendeskripsikan fenomena yang sekarang dihadapi umat manusia kiwari; pekerjaan-pekerjaan reguler sudah ditanggalkan; artificial intelligence mengganti manusia dan mengambilalih aktivitas manusia.

Dalam masyarakat industrial, yang namanya pekerjaan itu berkaitan dengan aktivitas fisik; mencangkul, bekerja di pabrik, sopir dan lainnya. Era post-industri menggeser makna pekerjaan tak hanya sekadar fisik tapi juga pikiran. Lantas, muncullah kelas pekerja baru; dosen, sekretaris, arsitektur dan lain sebagainya. Masa sekarang, semakin menggeser hakikat pekerjaan bahkan lanskap pekerjaan itu sendiri. Pekerjaan manusia sekarang ada di dunia virtual.

Masalah bagi manusia, kata Yuval, bukanlah bagaimana menciptakan pekerjaan baru. tetapi bagaimana manusia bekerja lebih baik ketimbang algoritma. Di tahun 2050, Yuval memprediksi, dunia akan lahir sebuah kelas baru; kelas yang tak berguna atau tak terpakai (useless class). Bukan hanya orang yang menganggur tetapi benar-benar pengangguran.

Bagaimana agar kelompok-kelompok ini tetap bekerja, memiliki tujuan dan dengan begitu, terpuaskan dengan sendirinya?

Orang yang memiliki harta berlebih akan memanfaatkan “permainan komputer” untuk menjawab kebutuhan ini. Ia akan hidup di realitas virtual untuk mendapatkan kegembiraan serta keterlibatan emosional yang tak ia raih di dunia nyata. Solusi ini bukanlah barang baru sama sekali, ini sungguh-sungguh adalah cara lama.

Berjuta tahun lamanya, kata Yuval, orang sudah punya jalan keluar dari situasi demikian. Di masa lalu, manusia menyebut “permainan realitas virtual” itu sebagai “agama.” Hukum-hukum agama sejatinya hanya memungkinkan eksis dalam imajinasi dunia virtual. Begitupun ihwal pahala-dosa serta surga-neraka.

Baca Juga  Mengaji Islam dan Politik: Beberapa Pilihan Tema dan Pendekatan

Realitas virtual, pada gilirannya tidak perlu kemudian terpisah atau terisolasi dari dunia fisik. dia bisa ditumpangkan. Jika dulu, ia hadir melalui kitab suci, sekarang manusia membungkus kenyataan virtual itu dalam gawai.

***

Seperti halnya ditemukan dalam agama, makna hidup juga ditemukan dalam aspek-aspek yang bersifat sekuler. Ketika seorang bisa membeli mobil mewah dan berlibur ke luar negeri misalnya, maka tidak hanya kenyamanan fungsi normatif yang didapatkan, tetapi juga sebuah permainan yang dimenangkan. Laiknya orang yang begitu menikmati spiritualitas dan ritus dalam agama, mereka yang “memenangkan permainan” melalui perjalanannya ke luar negeri juga mendapatkan makna kehidupan atasnya.

Dua kalimat berikut dari Yuval ini yang bagi saya penting. Baginya, sejauh pengetahuan yang dimilikinya, kehidupan manusia tidaklah memiliki arti. Makna hidup selalu merupakan kisah fiksi yang diciptakan oleh kita, manusia (the meaning of life is always fictional story created by us humans).

Yuval kemudian berkisah tentang realitas virtual sebagai kata kunci bagi useless class ini. inilah kenyataan yang bisa menyediakan makna bagi kelas baru di tahun 2050-an itu. Makna hidup tidak akan berakhir meskipun pekerjaan yang mereka geluti hari ini tak lagi dibutuhkan. Tinggal bagaimana realitas virtual itu dimanfaatkan. Tentu tak mudah, bagaimana seorang yang awalnya adalah sopir harus tiba-tiba menjadi desainer grafis. realitas ini ada di dalam atau di luar komputer dalam bentuk ideologi baru. atau mungkin kombinasi keduanya. Segala kemungkinan masih sangat terbuka terjadi.

Di luar itu, uraian Yuval yang menarik adalah tentang imajinasi. Dalam beberapa hal, mitos, terkadang lebih penting atau minimal sama pentingnya dengan sejarah itu sendiri; meski tentu saja kebenaran keduanya memiliki hukumnya masing-masing. Imajinasi kreatif memungkinkan kita melampaui hadangan-hadangan fisik.

Baca Juga  Catatan Tengah Tahun Kebebasan Beragama di Jawa Tengah 2016

Plato menyuruh kita mendengarkan musik sebagai sebuah hukum moral. “Musik adalah hukum moral. Musik mempersembahkan jiwa kepada semesta, memberikan sayap pada pikiran, menerbangkan imajinasi; memberi pesona dan keriangan pada kehidupan dan segalanya,” katanya.

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Nahdlatul Arabiyyah Semarang: Jejak Keturunan Arab yang Terlupakan (Bagian Pertama)

Oleh: Tedi Kholiludin Pertumbuhan organisasi keturunan Arab di Hindia Belanda...

Dompet di atas Meja: Status Kesehatan dan Konfidensialitas dalam Ruang Sosial Kita

Oleh: Tedi Kholiludin Saya terbiasa meletakkan dompet di rumah pada...

Gelap itu Nyata, Bangkit itu Janji: Antara Iman dan Harapan

Oleh: Tedi Kholiludin Saat dalam perjalanan mudik untuk berlebaran bersama...

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini