Oleh: Tedi Kholiludin
Pada setiap kebahagiaan yang kita nikmati, selain karena ia adalah kuasa Allah, juga hadir karena sentuhan tangan manusia. Jalan yang kita arungi untuk pulang, rumah yang memberi rasa aman, cahaya yang menerangi malam, bahkan makanan yang kita santap, semuanya lahir dari kerja, pilihan, dan keputusan manusia. Kita hidup di dunia yang dibentuk, dirawat, dan diubah oleh tangan manusia, dari generasi ke generasi.
Situasi yang sama juga berlaku pada penderitaan dan bencana. Di balik banjir yang meluap, tanah yang longsor, dan udara yang kian sulit dihirup, sering kali ada jejak langkah manusia; kebijakan, hutan yang ditebang, sungai yang disempitkan, dan keserakahan yang dibiarkan tumbuh. Tidak semua bencana sepenuhnya “alami” karena sebagian diantaranya adalah cermin dari relasi manusia yang retak dengan bumi tempat berpijak.
Natal mengajak kita berhenti sejenak di tengah dunia yang bergerak terlalu cepat. Di hadapan bayi yang lahir di palungan, kita diajak merenung: tangan seperti apa yang sedang kita gunakan untuk membentuk dunia ini, apakah tangan yang merawat kehidupan, atau tangan yang tanpa sadar ikut melukainya?
***
Sembari merasakan hadirnya terang yang memberi hidup dan harapan bagi manusia, kita membaca ulang firman Allah dalam Kitab Kejadian: “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi” (Kej. 1:28).
Pembacaan secara harfiah terhadap ayat ini berpotensi memunculkan semangat kedigdayaan manusia atas makhluk lain. Manusia seperti mendapatkan mandat ilahi untuk menguasai alam, seolah bumi diserahkan ke tangan mereka. dengan hawa nafsu yang tak terkendali, yang terjadi kemudian adalah eksploitasi sumberdaya serta perusakan ekologi untuk kepentingan mereka sendiri.
Kitab Kejadian memang dengan jelas memuat “taklukkanlah”. Dari kata ini kita beroleh ketegasan. Dalam “penaklukan” ada kuasa, tanggung jawab, dan peran aktif manusia dalam semesta. Namun, ayat “taklukkanlah” mesti didudukkan dalam keseluruhan Kitab Kejadian. Ia mesti diletakkan dalam bingkai yang lebih luas ihwal bagaimana kuasa itu dijalankan.
Kejadian 2:15 memberi kunci pembacaan yang sangat bernas: manusia ditempatkan di Taman Eden “untuk mengusahakan dan memelihara”. Dengan demikian, “menaklukkan” tidak pernah dimaksudkan sebagai kebebasan tanpa batas, melainkan sebentuk kuasa yang berada dalam pagar perawatan. Kekuasaan itu sah sejauh ia bertaut dengan upaya untuk menjaga kehidupan; ketika ia merusak, ia telah keluar dari maksud semula.
Alkitab mengajarkan bahwa kuasa manusia atas bumi bersifat relasional dan etis. Manusia tidak berdiri di luar atau di atas alam, melainkan di dalamnya. Ia boleh mengolah, tetapi tidak boleh menghabisi. Manusia boleh memanfaatkan, tetapi tidak boleh memperbudaknya.
Kata “taklukkanlah” perlu dipahami secara lebih jernih. Menaklukkan tidak berarti menguasai alam dan hasilnya semata-mata untuk kepentingan material manusia. Sebaliknya, menaklukkan justru menunjuk pada kemampuan manusia untuk tidak dikuasai oleh kekayaan alam, untuk tidak menjadikan hasil bumi sebagai berhala yang mengendalikan nurani dan tindakan. Ketika manusia dikuasai oleh hasrat memperkaya diri, sesungguhnya kekayaan alamlah yang sedang menaklukkan manusia. Relasi manusia dengan bumi kemudian berubah menjadi relasi yang saling menghancurkan: manusia kehilangan kemanusiaannya, dan alam kehilangan kehidupannya.
***
Natal mengajak kita untuk belajar bahwa kehidupan tidak ditopang oleh penumpukan tapi kecukupan; bukan karena kekuasaan tapi kecakapan. Dalam tradisi tasawuf, sikap ini dikenal sebagai qana’ah kemampuan untuk merasa cukup, bukan karena kurang atau tidak adanya pilihan, melainkan karena kejernihan hati dalam menempatkan diri di hadapan Tuhan dan ciptaan. Sikap cukup merupakan salah satu resep dalma menata ulang relasi kuasa manusia atas bumi. Kuasa tidak lagi dijalankan sebagai dorongan untuk mengambil sebanyak-banyaknya, tetapi sebagai keberanian dalam membatasi diri demi keberlanjutan hidup.

