Nahdlatul Arabiyyah Semarang: Jejak Keturunan Arab yang Terlupakan

Oleh: Tedi Kholiludin

Pertumbuhan organisasi keturunan Arab di Hindia Belanda pada awal abad 20 direpresentasikan oleh munculnya Al-Jam’iyat al-Khairiyah atau yang lebih dikenal dengan Jamiat Khair dan Jam’iyat al-Islam wal Ersyad al-Arabiya yang kemudian familiar dengan nama Al-Irsyad. Jamiat Khair berdiri di Jakarta tahun 1901 lalu mendapatkan legalitas pada 17 Juli 1905. Al-Irsyad lahir 6 September 1914 dan mendapatkan legalitas pada 11 Agustus 1915 atau satu dasawarsa pasca berdirinya Jamiat Khair.

Kedua organisasi tersebut mulanya berasal dari satu induk, Jamiat Khoir. Perbedaan antara kalangan Sayid dan non-Sayid di organisasi itu menjadi salah satu pemicunya. Golongan Non-Sayyid merasa bahwa mereka memiliki kedudukan setara dengan kelompok Sayyid. Bahkan Kapitan Arab atau orang-orang yang menjadi pemimpin di kalangan Arab sebagai kepanjangan tangan pemerintah Belanda, banyak yang berasal dari kalangan Non-Sayyid seperti Syaikh Umar Manggus di Jakarta (Noer, 1996).

Pada 4 Oktober 1934, dengan dihadiri oleh kurang lebih 40 orang Arab peranakan atau muwallad, dideklarasikanlah Persatoean (ejaan baru; Persatuan) Arab Indonesia (PAI) di Semarang. Dua orang yang berperan penting dalam pendirian organisasi dengan semangat unifikasi ini adalah Abdurrahman (AR) Baswedan dan Sayyid Nuh Alkaff. AR Baswedan adalah representasi dari Al-Irsyad sementara Nuh Alkaf delegasi dari Rabithah Alawijah yang juga editor Majalah Mingguan yang berbasis di Semarang, Pewarta Arab.

Tidak semua golongan keturunan Arab mendukung sepenuhnya pembentukan PAI, karena yang menentang juga banyak. Pewarta Arab edisi 10 Oktober 1934, menurunkan headline yang sangat menohok untuk menanggapi mereka yang tak setuju atas pendirian PAI. “Kalau bangoen satu pergerakan baroe. Kegontjangan poeblik pasti ada. Tandanja mereka beloem semoea insaff,” tulis Pewarta Arab. PAI, tambah redaktur Pewarta Arab, akan berfokus pada karya betapapun dikerjakan oleh sedikit orang. “… boekan menghendaki riboean ataw ratoesan orang, tetapi mereka hendak dan maoe bekerdja, sekalipoen dengan djoemblah jang paling sedikit,” imbuh Pewarta Arab.

Baca Juga  Cafe eLSA, Menjelma Agen Pulsa

Ada satu organisasi keturunan Arab yang tidak banyak dijabarkan dalam literatur-literatur sejarah keturunan Arab di Hindia Belanda (lihat misalnya dalam Mobini-Kesheh; 1999, van den Berg; 2010). Sebelum deklarasi PAI, di Semarang berdiri sebuah organisasi yang dalam koran setempat ditulis dengan nama yang berbeda, tapi merujuk pada kelompok yang sama. Organisasi tersebut, seturut yang secara eksplisit tertuang dalam media, adalah Nahdoh Al Arabiah (Djawa Tengah, 9/05/1919). Pada edisi lain tertulis, Nahdloh Arabiah (2/12/1920). Selanjutnya dalam tulisan ini, organ tersebut akan ditulis dengan penyesuaian ejaan sekarang, “Nahdlatul Arabiyyah.”

Nahdlatul Arabiyyah didirikan di Kampung Melayu, Semarang pada Selasa (malam), 29 April 1919. Dalam sebuah rapat yang dihadiri oleh seluruh warga keturunan Arab di sebuah gedung sekolah, mereka bersepakat untuk membentuk sebuah Vereeniging baru yang beranggotakan seluruh kalangan keturunan masyarakat Arab, khususnya di Semarang. Mereka kemudian bersepakat memberi nama organisasi, yang artinya kurang lebih kebangkitan bangsa Arab.

Jika merunut organisasi Arab lain yang ada di Semarang, bisa dikatakan Nahdlatul Arabiyyah adalah kelompok awal, meski mungkin belum pasti bisa dikatakan yang tertua. Sebagai pembanding, Rabithah Alawiyah Cabang Semarang mulai bergeliat pada sekitar pertengahan tahun 1933 dan melaksanakan musyawarah pada 2-3 Februari 1934 (Djawa Tengah, 17/02/1934).

Kehadiran sebuah madrasah bernama “Al-Maarif” di Semarang menjadi salah satu pemantik berdirinya Nahdlatul Arabiyyah. Bangsa Arab di Semarang mulai serius mengamati dan memperhatikan pertumbuhan sekolah tersebut. Mereka juga terus berupaya agar lembaga pendidikan ini bisa memperkuat anak didiknya agar bisa mengikuti derap dan laju perkembangan zaman.

Pembentukan Nahdlatul Arabiyyah juga terjadi di Madrasah atau Sekolah “Al-Maarif” yang beralamat di daerah Petek, Kampung Melayu Semarang. Dan, secara langsung, pendirian Nahdlatul Arabiyyah adalah sebagai bentuk dukungan dari aspek kelembagaan terhadap lembaga pendidikan tersebut. Dalam sebuah surat kabar dijelaskan bahwa Al-Maarif didirikan untuk “… menegoehken midrasa terseboet (baca: Al-Maarif), soepaja bisa idoep soeboer dan berdaja oepaja goena memadjoekan bangsa Arab ke medan kemadjoean.”

Baca Juga  Perempuan sebagai Korban dan Pelaku Intoleransi Hingga Agen Perdamaian

***

Jika melihat hubungan antara berdirinya Nahdlatul Arabiyyah dengan Sekolah “Al-Maarif,” pendirian organisasi keturunan Arab itu dimaksudkan sebagai payung secara kelembagaan atas sekolah. Hingga tahun 1920, bisa jadi Al-Maarif itu satu-satunya sekolah yang didirikan oleh komunitas keturunan Arab di wilayah Semarang.

Pembentukan organisasi Nahdlatul Arabiyyah di Semarang ditandai dengan pengesahan kepengurusannya. Sayyid Abdulkadir Al-Munawwar ditunjuk sebagai Presiden Nahdlatul Arabiyyah. Sementara, Sayyid Idrus bin Muhammad Al-Jufri dipercaya sebagai wakil Presiden Nahdlatul Arabiyyah. Nama lain yang masuk dalam jajaran kepengurusan adalah Sayyid Idrus bin Abdullah Al-Idrus serta Sayyid Idrus bin Abdullah Al-Jufri.

Dalam sejarah dan dinamika kelompok keturunan Arab di Semarang, tersebut nama seorang Kapiten Arab bernama Sayyid Idrus bin Muhammad bin Ali Al-Jufri yang mulai bekerja pada 1 Desember 1927 menggantikan Sayyid Muhdar bin Abdullah al-Habsyi. Besar kemungkinan nama tersebut adalah bagian dari pengurus Nahdlatul Arabiyyah. Nama lalin yang juga menjadi pengurus adalah Sayyid Ali bin Muhammad Al-Juffri, seorang saudagar di kawasan Kampung Melayu yang pada 1924 membuka sebuah penginapan bernama Hotel Arabistan.

Periode pertama kepengurusan Nahdlatul Arabiyyah ini berakhir setahun kemudian, tepatnya apda 28 November 1920. Bertempat di Sekolah Al-Maarif, algemenevergadering tahunan dilakukan untuk memilih pengurus baru. Sayyid Idrus Al-Jufri kemudian terpilih sebagai ketua Nahdlatul Arabiyyah periode dua. Sayyid Abdullah Masgan mendampingi Sayyid Idrus sebagai Wakil Presiden. (Djawa Tengah, 2 Desember 1920).

Dalam sambutan akhir, Presiden Nahdlatul Arabiyyah yang baru, Sayyid Idrus Al-Jufri menyampaikan terima kasih kepada pemerintah di Hindia Belanda serta mengingatkan kewajiban dari pada pengurus perkumpulan yang sudah berumur satu tahun tersebut. Setengah sebelas malam, vergadering ditutup.

Hingga setahun kepengurusan Nahdlatul Arabiyyah, eksistensi Sekolah Al-Maarif sangat dirasakan, terutama untuk para muridnya. Mereka tidak hanya mendapatkan pelajaran secara lahiriah saja tetapi juga batinnya. Kecakapan para guru di sekolah Al-Maarif, membuat murid-murid yang berasal dari berbagai latar belakang, termasuk kalangan Bangsa Jawa, juga bisa fasih berbicara Bahasa Arab. Sebuah pencapaian yang patut diapresiasi oleh seluruh lapisan, terutama dari golongan keturunan Arab.

Baca Juga  Sedulur Sikep dan Fase Perubahan Paradigma

Diedit dan ditambahkan pada 5 Mei 2025.

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Memahami Jalur Eskalasi dan Deeskalasi Konflik

Oleh: Tedi Kholiludin Konflik, dalam wacana sehari-hari, kerap disamakan dengan...

Tiga Pendekatan Perdamaian

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam artikel “Three Approaches to Peace: Peacekeeping,...

Wajah-wajah Kekerasan: Kekerasan Langsung, Kekerasan Struktural dan Kekerasan Kultural

Oleh: Tedi Kholiludin Johan Galtung (1990) dalam Cultural Violence membagi...

Memahami Dinamika Konflik melalui Segitga Galtung: Kontradiksi, Sikap dan Perilaku

Oleh: Tedi Kholiludin Johan Galtung dikenal sebagai pemikir yang karyanya...

Laporan Tahunan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Jawa Tengah 2024

ELSA berusaha untuk konsisten berbagi informasi kepada public tentang...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini