Dompet di atas Meja: Status Kesehatan dan Konfidensialitas dalam Ruang Sosial Kita

Oleh: Tedi Kholiludin

Saya terbiasa meletakkan dompet di rumah pada ruang terbuka. Maksudnya tidak di laci tertutup atau tempat khusus dimana saya saja yang bisa mengaksesnya. Terbuka itu, maksudnya bisa diakses oleh istri saya atau Najma yang saya anggap sudah cukup paham soal isi dompet. Bisa di atas meja atau dalam lemari. Galibnya dompet, tentu isinya bermacam-macam; segala jenis kartu, STNK (Surat Tanda Nomor Kendaraan) motor atau mobil, serta sejumlah rupiah jika kebetulan ada.

Meski dompet itu milik saya yang adalah suaminya, Meiga selalu minta izin saat ia hendak mengambil sesuatu didalamnya; entah uang, meminjam STNK atau lainnya. Di lain kesempatan, saya juga seringkali terlebih dahulu menyuruhnya mengambil saja sendiri di dompet, apa yang dibutuhkannya. Saya memintanya untuk mengambil sendiri uang atau kartu ATM yang dia perlukan misalnya.

Betapapun kami sudah hidup bersama puluhan tahun dan sudah tentu ia tahu kalau saya punya dompet yang kerap tergeletak di tempat-tempat yang bisa dijangkau. Ia juga tahu kalau isi dari dompet itu ada kartu tanda penduduk, sejumlah uang dan lainnya. Toh demikian, Meiga tidak berusaha untuk melihat sedetil mungkin isi dompet saya, termasuk menghitung jumlah rupiah yang ada di sana. Ia menghargai apa yang menurutnya adalah hak saya. Dompet itu milik saya dan hanya saya yang berhak membuka dan menunjukannya kepada orang yang saya percaya.

***

Di era keterbukaan, adalah sebuah keuntungan yang sangat besar karena kita begitu mudah mengakses dan membagi informasi. Di detik yang sama kita bisa mendapatkan berita atau informasi dari lokasi yang jaraknya beratus mil dari kursi yang sedang kita duduki. Pelbagai kemudahan kita dapatkan dengan kecanggihan teknologi.

Masalahnya, tak jarang kalau apa yang tersaji di ruang publik itu terburu-buru dikonsumsi banyak orang, padahal belum ada proses konfirmasi. Orang terburu-buru mengedarkan informasi yang belum lengkap dengan tanpa menyertakan konteks misalnya atau karena siapapun ada di ruang digital yang bersifat publik, seringkali tak ada filter atas informasi yang sejatinya tidak untuk konsumsi publik.

Baca Juga  Alisa Wahid: Gusdurian Harus Berjuang Seperti Gus Dur

Pada tempat-tempat tertentu di rumah, Meiga atau Najma, bisa melihat dompet saya. Meski bisa melihat, tidak kemudian otomatis membuat mereka mengotak-atik isi dompet. Mereka paham di dalam dompet ada isinya, namun ada etika untuk tidak membuka tanpa izin. Betapapun orang-orang terdekat, mereka tetap mempraktikan dan menjaga etika tersebut. Itu dilakukan, karena kita paham, ada area yang tak bisa dimasuki sembarangan, meski secara fisik ada di depan mata.

***

Sama seperti dompet yang boleh terlihat tapi tidak bisa begitu saja bisa dibuka, status kesehatan seseorang pun berada dalam wilayah yang serupa. Status seseorang yang terinfeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus) misalnya. Kita bisa saja tahu bahwa seseorang memiliki kondisi tertentu yang terlihat dari pola aktivitasnya, rutinitas medis, atau bahkan raut wajah yang tak seperti biasanya. Hanya saja, asumsi yang dimiliki melalui tatapan mata itu tidak serta-merta memberi kita hak untuk mengulik lebih dalam, apalagi menyebarkan informasi yang belum tentu ingin ia bagikan.

Status kesehatan, termasuk seorang yang positif HIV, adalah hak yang bersifat privat dan dijamin oleh dokumen internasional maupun nasional. Constitution of the World Health Organization misalnya menekankan pentingnya kerahasiaan dan privasi pasien. Hal yang sama bisa kita temukan dalam Undang-undang Kesehatan Nomor 36 tahun 2009. Sebagai payung hak asasi manusianya, tentu saja ihwal privasi itu dijamin oleh Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Hak kesehatan tak hanya dijamin secara moral tetapi juga secara hukum.

Konfidensialitas adalah pilar utama. Prinsip tersebut bukan sekadar aturan formal, tetapi juga bentuk penghargaan atas hak pasien dan perlindungan atas kerawanannya. Konfidensialitas juga menjadi pelindung dari pelabelan dan perlakuan diskriminatif yang bisa muncul dari asumsi publik yang keliru. Karenanya, hal tersebut tak hanya preferensi pribadi, tetapi norma universal yang dipegang. Menjaga kerahasiaan juga sekaligus menjunjung harkat serta martabat sehingga menjadi ruang aman seseorang sebagai manusia.

Baca Juga  Welas Asih ing Dunyo Saisine: Catatan Kegiatan Madrasah Inklusi

Informasi pribadi yang menyangkut status kesehatan seseorang, bukanlah sesuatu yang layak disebarluaskan hanya karena secara teknis kita mampu melakukannya. Keterbukaan teknologi mestinya diimbangi dengan kedewasaan etika: tahu kapan harus melihat, dan tahu kapan harus menahan diri. Bahwa sekadar melihat atau mendengar sesuatu di ruang publik, apakah yang berasal dari unggahan media sosial, kabar yang beredar di grup WhatsApp, atau bisik-bisik dari lingkungan, tidak berarti kita punya hak untuk menyimpulkan, mengomentari, apalagi menyebarkannya.

Keterlihatan bukan berarti keterbukaan penuh. Sebagaimana dompet yang kita lihat, informasi yang seolah ada di depan kita pun perlu disikapi dengan kehati-hatian dan kesadaran bahwa ada batas antara tahu dan melampaui.

Dompet saya, misalnya, sering tergeletak di ruang terbuka di rumah: bisa di atas meja, di rak dekat pintu, atau di ruang tengah. Secara kasat mata, ia bisa dilihat oleh siapa pun di rumah, termasuk istri saya, Meiga. Tapi keterlihatan itu tidak otomatis menjadi undangan untuk membukanya, apalagi membongkar isinya satu per satu.

Meiga tahu betapapun ia bisa melihat, menyentuh atau bahkan membuka dompet itu dan mengaduk-aduk isinya, tetap ada batas etika dan rasa hormat yang membuatnya meminta izin sebelum mengambil sesuatu dari dalamnya. Dompet itu memang terlihat, tetapi tidak serta-merta “terbuka.” Ia tidak mengira-ngira isi uang di dalamnya, tidak mengutak-atik kartu-kartu di sana, karena ia memahami kalau di balik benda yang terlihat itu, ada wilayah pribadi yang tidak bisa disentuh sembarangan.

Kata Merleau-Ponty (via Margaret Lock and Vinh-Kim Nguyen, 2010), pengalaman tubuh yang bersifat sensori; melihat, menyentuh, merasakan, adalah dasar utama manusia memahami dunia. Tubuh bukan sekadar objek fisik, melainkan pusat dari kesadaran yang aktif membentuk makna melalui interaksinya dengan lingkungan. Inilah persepsi. Namun, justru karena pengalaman itu melekat pada tubuh yang berkesadaran, maka persepsi tidak pernah netral atau otomatis membuka semua lapisan makna. Melihat sesuatu tidak serta-merta memberi hak untuk mengakses atau memilikinya. Sama seperti dompet di atas meja yang dapat terlihat oleh siapa pun di rumah, tetapi tetap tidak bisa dibuka sembarangan, informasi yang hadir melalui tubuh orang lain misalnya melalui raut wajah atau unggahan di media sosial, tetap berada dalam wilayah pribadi yang memerlukan izin dan penghormatan etis sebelum diselami lebih jauh. Persepsi memberi akses awal, tapi norma, aturan serta regulasi sosial, membatasinya.

Baca Juga  Gereja Mormon di Indonesia dan Pergulatan Membangun Identitas (bagian 1)

Di ruang sosial atau ruang digital, kita kerap melihat postingan sesuatu sembari memberi petunjuk soal kondisi kesehatan seseorang, mungkin lewat foto, caption, atau statusnya. Tapi itu tidak lantas berarti semua orang berhak menyimpulkan, menyebarkan, atau menanyakan lebih jauh tanpa izin. Sama seperti dompet, keterlihatan informasi tidak otomatis menghapus batas privasi. Ada ruang yang hanya bisa dibuka oleh si pemilik, kepada orang yang ia percaya, dalam waktu dan cara yang ia kehendaki.

Seorang yang positif HIV berhak menentukan siapa yang boleh tahu, kapan, dan dalam konteks serta kebutuhan apa ia memberitahukan. Informasi kesehatan adalah milik individu itu sendiri. Memberi seseorang ruang untuk memegang kendali atas informasi pribadinya adalah bentuk pengakuan bahwa ia berdaulat atas tubuh dan kehidupannya sendiri.

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Memahami Jalur Eskalasi dan Deeskalasi Konflik

Oleh: Tedi Kholiludin Konflik, dalam wacana sehari-hari, kerap disamakan dengan...

Tiga Pendekatan Perdamaian

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam artikel “Three Approaches to Peace: Peacekeeping,...

Wajah-wajah Kekerasan: Kekerasan Langsung, Kekerasan Struktural dan Kekerasan Kultural

Oleh: Tedi Kholiludin Johan Galtung (1990) dalam Cultural Violence membagi...

Memahami Dinamika Konflik melalui Segitga Galtung: Kontradiksi, Sikap dan Perilaku

Oleh: Tedi Kholiludin Johan Galtung dikenal sebagai pemikir yang karyanya...

Laporan Tahunan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Jawa Tengah 2024

ELSA berusaha untuk konsisten berbagi informasi kepada public tentang...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini