Oleh: Bayu Renwarin
Peminat Semiotika. Tinggal di Semarang
Manusia memerlukan perangkat komunikasi untuk memahami yang lain. Suatu pendekatan yang paling penting untuk melacak maksud dari manusia adalah bahasa. Bahasa secara definitif merupakan sistem komunikasi yang menggambarkan ide, konsep, pemikiran, perasaan dan ekpresi manusia. Sebagai alat komunikasi, Bahasa terdiri dari sistem symbol dan atau tanda dari suara, teks, gambar yang diproduksi manusia dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Keraf (1980) berpendapat bahwa Bahasa merupakan alat komunikasi antara anggota masyarakat atau komunitas melalui rangkain symbol atau suara yang diciptakan oleh kumpulan kata dari manusia. Klaim Keraf mengandung konskuensi bahwa apa yang dimaksud common symbol memerlukan proses pemaknaan yang disepakati oleh para penutur di suatu wilayah atau negara.
Bahasa sebagai sebuah tanda (sign) pada prosesnya juga memerlukan konsesi atas citra yang muncul dari sistem komunikasi masyarakat yang mengandung informasi. Dari informasi itulah, kesadaran manusia serta konsepsi alam pikiran terbentuk melalui Bahasa baik verbal maupun non-verbal. Susunan simbol itulah yang membantu manusia untuk mengenali konsepsi-konsepsi baik imajiner atau riil. Konsepsi itu yang mengantarkan manusia pada suatu realitas.
Seorang linguist, Halliday (1978), mendefinisikan Bahasa sebagai fakta sosial. Penyingkapan fakta-fakta sosial kemudian diselidiki dan dipelajari oleh para ahli Bahasa. Ia, kemudian, menjadi konsentrasi studi bagi perkembangan ilmu Bahasa (linguistik) maupun ilmu tanda (semiotika/semiologi). Dalam ilmu tanda, Bahasa yang tersusun dari tanda itu tidak serta merta berdiri sendiri sebagai wakil realitas yang dibangun oleh manusia. Ia memiliki proses semiosis yang sekuen, aksidensial maupun actual. Proses semiosis itulah yang menjadi medan pertarungan tafsir terhadap pemaknaan-pemaknaan manusia atas segala sesuatu.
Ilmu tanda seringkali dikenal sebagai semiotika. Semiotika merupakan serapan dari kosa kata Bahasa inggris semiotics yang berasal dari Bahasa Yunani semainon yang berarti penanda dan semionomenon yang berarti penanda atau indikasi.
Secara umum, semiotika adalah ilmu tentang tanda atau suatu episteme eksistensial atau aktual pada tanda yang beredar di kehidupan masyarakat. Latar belakang sejarah, terutama perkembangan semiotika klasik yang menyinggung signifikansi ilmu tanda telah dimulai sekitar dua ribu tahun yang lalu oleh filsuf Yunani dalam tradisi stoik (zeno) pada masa helenisme. Namun, terma semiotika baru muncul pada abad ke 18 yang diperkenalkan oleh filsuf; Lambert.
Pada akhir abad 20, konsepsi dan pengguaan tanda pada suatu dasar yang sistematis mulai mendapatkan perhatian di kalangan akademisi yang secara signifikan menjadi lapangan penelitian. Perkembangan sejarah semiotika modern, dua pionir dari negara yang berbeda dan memberikan kontribusi besar dalam bidang semiotika adalah dan Charles Sanders Peirce (1839-1914); seorang filsuf dari Amerika dan Ferdinand De Saussure (1857-1913); seorang linguist dari negara Swiss.
Charles Sanders Peirce lahir pada 10 september 1839 di Cambridge, dan meninggal pada 19 april 1914 di Pennsylvania, negara bagian Amerika Serikat. Dia telah banyak menulis tentang topik-topik besar di bidang sains; matematika, fisika, ekonomi, psikologi dan ilmu-ilmu sosial lainnya. Ayahnya, Benjamin Peirce, adalah seorang professor matematika di universitas Harvard. Peirce banyak terpengaruh dari pemikiran ayahnya. Sebelum masuk pendidikan formal, Peirce mendapatkan materi-materi yang serius dari ayahnya. Latar belakang intelektual ayahnya, kemudian, menurun pada Peirce.
Karya Peirce yang paling terkenal adalah dua artikel pertama dari enam seri secara kolektif berjudul “Illustrations of the Logic of Science” dan diterbitkan dalam “Popular Science Monthly” dari November 1877 hingga Agustus 1878. Yang pertama berjudul “The Fixation of Belief” dan yang kedua berjudul “How to Make Our Clear Ideas”. Dalam makalah pertama Peirce membela, secara konsisten dengan tidak menerima realisme naif, keunggulan metode ilmiah di atas metode lain adalah untuk mengatasi keraguan dan menetapkan keyakinan atas realitas. Dalam makalah kedua ini Peirce mempertahankan gagasan “pragmatis” dalam konsep yang sangat jelas.
Satu-satunya fakta terpenting yang perlu ditandai dalam mencoba memahami filosofi Peirce tentang kejelasan dan metode yang tepat untuk menetapkan keyakinan adalah bahwa sepanjang hidupnya Peirce merupakan seorang ilmuwan fisika praktis. Gelar itulah yang membawa ia bekerja sebagai ilmuwan fisika selama 32 tahun di United States Coast and Geodetic Survey . Seperti yang dipahami Peirce tentang topik filsafat dan logika, filsafat dan logika itu sendiri juga merupakan ilmu, meskipun “bukan” ilmu pasti. Selain itu, ia memahami filsafat sebagai filsafat sains, dan ia memahami logika sebagai logika sains (di mana kata “sains” memiliki arti sebagaimana terminologi Jerman Wissenschaft yang berarti Ilmu pengetahuan).
Sebagaimana basis filsafatnya yang bertumpu pada pragmatism, ia, kemudian, dikenal sebagai filsuf “pragmatisisme,”. Ketika dia mengatakan bahwa seluruh makna dari suatu konsepsi (yang jelas) terdiri dari seluruh rangkaian konsekuensi praktisnya, dia memikirkan bahwa konsepsi yang bermakna harus memiliki semacam “cash value” pengalaman yang harus mampu berhubungan atau dikaitkan dengan semacam rangkaian pengamatan empiris, Peirce bersikeras bahwa seluruh makna dari konsepsi yang bermakna terdiri dari totalitas pengamatan yang spesifik.
Peirce cenderung menguraikan arti kata menjadi makna dengan menggunakan konstruksi kontra faktual. Peirce bukanlah seorang yang sederhana dalam filosofi sainsnya; dia juga bukan seorang verifikator sederhana di ranah epistemologinya: dia percaya pada realitas abstraksi, dan dalam banyak hal pemikirannya tentang universal menyerupai pemikiran realis abad pertengahan dalam metafisika. Meskipun demikian, terlepas dari kecenderungan metafisiknya, pandangan Peirce memiliki kemiripan yang kuat dengan operasionalisme dan verifikasi sains. Berkenaan dengan konsep fisika, pandangannya sangat mirip dengan, Einstein, yang berpendapat bahwa seluruh makna konsep fisik ditentukan oleh metode pengukuran yang tepat.