Kekuatan Literasi sebagai Alat Hegemoni dan Penaklukan

Oleh: Iwan Madari (Jurnalis Lepas di Semarang)

Bahasa menurut Noam Chomsky muncul pertama kali di Afrika, sekitar 60.000 sampai 100.000 tahun yang lalu. Jumlah bahasa di dunia modern sekitar 7.000 dan mayoritas kita tidak mengetahui bahasa-bahasa tersebut. Sebagian besar bahasa itu tak tertulis atau mempunyai abjad dan hanya dituturkan oleh beberapa orang. Dari 7.000 bahasa tersebut, ada beberapa bahasa “raksasa” karena digunakan lebih dari 100 juta orang dan digunakan lebih dari sepertiga populasi dunia. Beberapa dari bahasa “raksasa” ini mempunyai pengaruh yang kuat di dunia karena merupakan bahasa-bahasa negara dunia pertama atau negara industri maju. Bahasa adalah media penyambung dari kegiatan interaksi antar manusia, seperti yang dikatakan media adalah sesuatu yang digunakan, alat atau bahan-bahan dalam menyampaikan pesan atau berkomunikasi (Briggs, dan Burke, 2004:7).

Sebelum ditemukan bahasa, manusia berkomunikasi menggunakan mulut dan gerakan anggota tubuh, kemudian manusia mengalami revolusi kognitif. Manusia kemudian mulai menamai benda, makanan, hingga sebuah situasi menjadi sebutan yang mudah diucapkan dan diperkirakan meniru sumber suara benda tersebut. Setelah itu dalam perkembangan selanjutnya manusia bisa berbicara dengan menggabungkan 2 kata yang berbeda, dan kemudian berkembang menjadi bahasa.

Perkembangan bahasa menyesuaikan dengan perkembangan peradaban manusia dari berbicara kemudian perkembangan selanjutnya adalah penemuan karakter yang mewakili bunyi yang diucapkan manusia kemudian menjadi kemampuan membaca dan menulis.

Bahasa Pada Awalnya Adalah Tradisi Lisan

Kemampuan berbicara, bukanlah sebuah hal yang baru karena hal itu telah menjadi sebuah sesuatu yang mengagumkan pada abad 18 dan 19. Terbukti dari studi tentang retorika yang masih dianggap penting sekali dalam kehidupan bermasyarakat (Briggs, dan Burke, 2004:1). Lebih lagi, kemampuan retorika mempunyai tempat yang terhormat pada masa Yunani dan Romawi kuno.

Semua hal diatas merupakan sebuah penghantar untuk mengupas mengapa kemampuan berbicara (orality) mempunyai pengaruh besar dalam kehidupan dan proses pemikiran manusia. Sejalan dengan hal tersebut, Mary Ann Clark mengatakan “All culture begin as Oral culture.”

Walter J Ong membahas soal kelisanan dalam bukunya “Orality and Literacy: Technologizing of the Word” (2005). Namun ia tidak hanya membedakan kelisanan dan penulisan (keberaksaraan) secara sederhana; bahwa yang kelisanan semata tidak tertulis sementara penulisan adalah segala bentuk yang tertulis. Pembedaan ini sering dilakukan para sarjana yang fokus pada ideologi.

Mereka yang sangat memperhatikan “teks”, berasumsi bahwa verbalisasi dalam bentuk oral pada esensinya sama dengan verbalisasi dalam bentuk tertulis. Pembedaan seperti itu pada akhirnya membuat kelisanan dimaknai sebagai “unskillful” dan tidak terlalu berharga untuk dipelajari (Ong. 2005 (2002); 10)

Bahasa adalah sebuah fenomena lisan dan bukan tulisan: “It would seem inescapably obvious that language is an oral phenomenon. Human beings communicate in countless ways, making use of all their senses, touch, taste, smell, and especially sight, as well as hearing (Ong 1967b, pp. 1–9). Some non-oral communication is exceedingly rich —gesture, for example. Yet in a deep sense language, articulated sound, is paramount. Not only communication, but thought itself relates in an altogether special way to sound…” (Ong. 2005 (2002); 10).

Menurut Ong, penulisan tidak dapat menggantikan kelisanan (orality) dan mengikuti gagasan Jurij Lotman, ia menyebut penulisan sebagai “a secondary modeling system, dependent on a prior primary system, spoken language” (Ong. 2005 (2002);8). Jika penulisan mengubah kata-kata menjadi tulisan, maka penulisan selalu meninggalkan jejak sementara kelisanan seakan-akan tidak meninggalkan jejak.

Jika kelisanan tak bisa diganti dengan bentuk apapun dari penulisan (written/print) dan keduanya adalah dua sistem yang saling bergantung satu sama lain maka, menurut Ong, kelisanan dari sebuah budaya tidak akan pernah disentuh, dirusak atau diubah oleh penulisan (writing/print). (Ong. 2005 (2002); 10).

Baca Juga  Sesaji di Tengah Erosi Tradisi

Bila tradisi lisan itu mempunyai arti: “Cerita rakyat yang diungkapkan melalui lisan dan dikembangkan secera beruntun juga melalui lisan. Si pelisan (pengungkap cerita) tidak terikat oleh peristiwanya itu sendiri. Si pelisan bukan penyaksi dan atau bukan peserta dalam peristiwa sejarah cerita, dan tidak bertanggung jawab atas pernyataan yang diceritakannya”.

Sejarah lisan memiliki arti yang khas yang bertanggung jawab, yaitu: “Sumber sejarah yang dilisankan oleh manusia pengikut atau yang menjadi saksi akan adanya peristiwa sejarah pada zamannya”. Si pelisan benar-benar mengetahui, mengikuti kejadian masa lampau yang diceritakan, dengan penuh tanggung jawab atas kebenarannya.
Tradisi lisan tidak sekadar merepresentasikan aktivitas sosio kultural masyarakat sebagai cerminan kesadaran kosmik mereka, tetapi juga sebagai simbolisasi kesadaran spiritual utama masyarakat.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) terbitan Balai Pustaka Jakarta, kata tradisi dan lisan dijelaskan sebagai berikut. Tradisi artinya; pertama, adat kebiasaan turun-temurun dari nenek moyang yang masih dijalankan di masyarakat, lalu kedua, penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan yang paling baik dan benar.

Tradisi lisan artinya sama dengan folklor lisan. Di lain sisi kata mentradisikan bermakna menjadikan tradisi. Tradisi lisan sebagai sumber sejarah, Kuntowijoyo menyimpulkan bahwa sejarah lisan merupakan tuntutan metodologi historiografi modern sekaligus metode mutakhir dalam proses penulisan sejarah, kemudian ditegaskan oleh Paul Thompson telah lama menganjurkan sejarah lisan tak sekedar dimengerti sebagai pengumpulan sumber melalui wawancara.

Sebab sejarah lisan sanggup menempatkan sejarah menjadi lebih manusiawi sehingga sejarah menjadi produksi dan kepemilikan setiap kelas sosial dalam “Oral Tradition: A Study in Historical Methodology” (hlm. xxvi). Selanjutnya melisankan artinya adalah menyatakan atau menyebutkan dengan ucapan atau tutur kata, mengucapkan, menuturkan, dan malafalkan.

Istilah tradisi lisan berkait erat dengan folklor atau cerita rakyat, yaitu cerita rakyat dan adat istiadat tradisional yang diwariskan secara turun temurun, tetapi tidak dibukukan. Menurut William R. Bascom, cerita prosa rakyat dapat dibagi ke dalam tiga golongan besar, yaitu: mitos (myth), legenda (legend) dan dongeng (folktale).

Penemuan Huruf dan Tulisan

Kerajaan-kerajaan besar pada masa lampau menghasilkan informasi dalam jumlah sangat besar. Kerajaan-kerajaan itu harus menyimpan undang-undang, catatan tentang transaksi dan pajak, inventarisasi asset, perdagangan dan militer.

Selama jutaan tahun, manusia hanya menyimpan semua informasi di otak saja, tapi kapasitas otak manusia bukanlah alat penyimpanan yang baik untuk database selevel kerajaan besar, karena daya tampung memorinya terbatas.

Kedua, kalau manusia mati dan otak mereka ikut mati bersamanya, jadi seluruh informasi yang di otak dapat terhapus dalam kurun waktu kurang dari 100 tahun, bisa saja meneruskan informasi dari satu otak ke otak lain, tapi setelah beberapa kali transmisi, informasi cenderung menjadi kabur.

Ketiga, otak manusia sudah teradaptasi untuk menyimpan jenis informasi tertentu. Untuk bertahan hidup, para manusia zaman berburu serta penjelajahan harus mengingat bentuk, kualitas dan pola perilaku binatang dan fungsi-fungsi tumbuhan, selain itu manusia zaman berburu juga harus mengingat pendapat dan hubungan dari anggota kawanan lain. Akibatnya, tekanan dari proses evolusi mengadaptasi otak manusia untuk menyimpan informasi tentang tumbuhan, binatang, topografi dan sosial.

Tatanan masyarakat kompleks mulai muncul sejak manusia mengalami zaman pertanian, jenis informasi baru berupa angka menjadi vital, tetapi otak manusia tidak beradaptasi dan memproses angka-angka . namun, bagi kerajaan besar, data matematis menjadi sesuatu yang sangat vital. Tak akan cukup dengan membuat undang-undang dan menceritakan tentang dewa-dewi.

Ada pengumpulan pajak, untuk memajaki ratusan ribu orang , harus ada pengumpulan data tentang pendapatan dan harta benda warga kerajaan, data tentang pembayaran, pajak, tunggakan, utang dan denda. Belum lagi jutaan data kecil, yang harus disimpan dan diproses.

Baca Juga  Hidup Damai Dengan Orang Kafir, Mungkinkah?

Tanpa mempunyai kapasitas ini, kerajaan tak pernah mengetahui apa sumber daya yang dimilikinya dan sumber daya mana lagi yang bisa dialirkan. Jika untuk menghadapi kebutuhan untuk menghafal dan menangani semua database ini, otak manusia akan overworking.

Ketika jumlah orang dan properti di suatu masyarakat melampaui batas kritisnya, maka sangat diperlukan penyimpanan dan pemrosesan data matematis dalam jumlah besar, karena otak manusia tak mampu melakukannya maka sistem pun runtuh. Selama ribuan tahun pada era pertanian, jaringan sosial manusia tetap relatif kecil dan sederhana.

Peradaban pertama yang mampu mengatasi hambatan ini adalah masyarakat Sumeria, yang hidup di selatan Mesopotamia. Di sana, sengatan matahari menimpa dataran subur menghasilkan panen melimpah dan mampu untuk membangun kemakmuran. Saat penduduknya bertambah banyak, maka informasi yang dibutuhkan untuk mengoordinasi.

Antara 3500-3000 SM, orang-orang jenius Sumeria menemukan sistem untuk menyimpan dan memproses informasi di luar otak mereka, yang dipakai untuk menangani data matematis dalam jumlah besar. Dengan demikian orang-orang Sumeria mampu melepaskan tatanan sosial dari keterbatasan otak manusia. Sistem pemrosesan data yang ditemukan oleh orang Sumeria tersebut bernama “tulisan”.

Menulis adalah sebuah metode menyimpan informasi dengan menggunakan tanda-tanda material. Naskah-naskah pertama dalam sejarah tidak ada yang berupa pandangan filosofis, dongeng, hukum, ataupun karya sastra. Tulisan-tulisan tersebut berisi catatan administrasi; pajak, utang, dan tentang hak milik.

Tulisan awal Sumeria bukanlah aksara penuh yang berperan sebagai representasi bahasa lisan mendekati sempurna, tapi adalah aksara parsial yang hanya terbatas sebagai representasi jenis informasi tertentu saja.

Bangsa Sumeria akhirnya mulai ingin menuliskan hal di luar perhitungan matematis. Antara 3000-2500 SM lebih banyak lagi tanda yang ditambahkan pada sistem penulisan Sumeria yang secara perlahan akhirnya menjadi aksara penuh yang disebut aksara paku (cuneinform).

Sampai tahun 2500 SM, para raja menggunakan aksara paku dan para pendeta menggunakannya untuk mencatat perkataan para dewa. Pada saat itu bangsa Mesir mengembangkan aksara penuh yang kini dikenal sebagai hieroglif. Aksara penuh lainnya yang disebut kanji dikembangkan di Tiongkok sekitar 1200 SM pada zaman dinasti Han dan aksara penuh lain dikembangkan pada tahun 1000-500 SM oleh bangsa Mesoamerika.

Tulisan Sebagai Alat Hegemoni dan Penaklukan

Tulisan secara tradisional merupakan yang paling terbatas secara geografis: sebelum ekspansi Islam dan kolonial Eropa, tulisan tak ditemukan di Australia, kepulauan pasifik, Afrika sub khatulistiwa, dan seluruh dunia baru, kecuali sebagian Mesoamerika. Efek dari terbatasnya persebaran tersebut, peradaban yang memiliki tulisan dan mempunyai budaya baca tulis menganggap diri mereka jauh lebih beradab ketimbang peradaban yang tak mempunyai tulisan, yang sering disebut sebagai orang “barbar”.

Pengetahuan yang ditulis mampu mendatangkan kekuasaan pada masyarakat modern, sebab memungkinkan penyampaian pengetahuan dengan akurasi lebih tinggi dan lebih terperinci. Tulisan bersama senjata, mikroba dan organisasi politik terpusat adalah agen penaklukan modern. Perintah para raja untuk armada penjelajahan disampaikan secara tertulis. Tujuan armada diarahkan dengan peta dan petunjuk dari catatan penjelajahan sebelumnya, memotivasi armada penjelajahan berikutnya. Catatan-catatan tersebut mengajarkan persiapan kepada para calon penjelajah tentang apa yang dihadapi nanti, tulisan menjadikan informasi lebih akurat dan terperinci.

November 1532, tentara Spanyol yang berjumlah 169 orang membantai 80.000 tentara Inka di Cajamarca, Peru karena mereka marah dan merasa terhina ketika raja Inka, Atahuallppa melempar bible yang diberikan kepadanya. Tentara Spanyol yang berjumlah sedikit mampu membinasakan ribuan tentara Inka, karena tentara Spanyol mempunyai keunggulan teknologi militer (pedang, berkuda, baju besi, dan senapan), sedangkan tentara Inka hanya bersenjatakan gada, pentungan, kapak batu dan baju berlapis kulit sehingga perang menjadi tak seimbang.

Baca Juga  Beda Wajah Nasib Syiah: Catatan Singkat dari Empat Wilayah Jawa Tengah

Bangsa Spanyol bisa datang ke Cajamarca karena mereka memiliki teknologi kelautan, sedangkan bangsa Inka tak mempunyai teknologi semacam itu sehingga mereka tak bisa menyeberangi samudera. Penyebab orang Spanyol bisa sampai ke Peru adalah tulisan, sementara bangsa Inka tak mempunyai tulisan, jadi mereka memiliki informasi yang akurat, informasi tertulis semacam ini yang didapat dari pelayaran Columbus dan Cortes setelah penaklukan Meksiko yang membuat orang Spanyol lain berlayar menuju dunia baru.

Di dunia baru, kemampuan baca tulis hanya dimiliki segelintir elite di beberapa suku Meksiko, sehingga tak banyak yang mengetahui kedatangan bangsa Spanyol dan penaklukan Panama, yang hanya terletak 600 mil dari batas utara Inka. Singkatnya, berkat kemampuan baca tulis orang Spanyol, mereka mempunyai kumpulan pengetahuan umum yang luas, sebaliknya bangsa Inka tak punya mempunyai gambaran apapun tentang orang Spanyol atau lawan dari seberang lautan. Penjelajahan dan penaklukan yang dilakukan Spanyol juga disusul bangsa Eropa lain, seperti; Belanda, Inggris, dan Prancis dalam penjelajahan mencari dunia baru.

Pada musim semi 1940 ketika Nazi menyerbu Prancis, ribuan orang Yahudi mengepung konsulat Portugis di Bordeaux dalam upaya mendapatkan kertas penyelamat hidup. Kementerian luar negeri Portugis melarang konsulatnya mengeluarkan visa, tetapi Sousa Mendes bersama timnya menolak perintah tersebut dan bekerja keras menerbitkan visa dan menstempel lembaran-lembaran kertas. Sousa Mendes yang bersenjatakan stempel, menjadi pahlawan dalam sebuah operasi penyelamatan terbesar.

Tulisan berperan kuat menfasilitasi munculnya entitas fiksional yang kuat, mengatur jutaan orang dan membentuk realitas alam. Tulisan juga memudahkan manusia untuk meyakini keberadaan identitas fiksional karena simbol-simbol abstrak memudahkan manusia untuk meyakini keberadaan identitas fiksional tersebut. Realitas para pemburu pengumpul hanyalah berisi tentang pohon, jamur dan hewan buruan. Realitas harian petani adalah mencangkul, membajak, tanaman dan binatang ternak. Para jurutulis Mesir kuno menghabiskan waktu mereka untuk menghitung, membaca dan menulis, realitas mereka cuma berkutat pada administrasi dan pajak.

Seorang jurutulis bisa memutuskan nasib warga satu desa dengan tulisannya. Mayoritas orang tetap buta huruf sampai zaman modern, tetapi para administratur yang maha penting semakin banyak melihat realitas melalui naskah tertulis. Bagi kalangan elit yang melek huruf apa yang tertulis di kertas atau software pengolah kata adalah sama nyatanya dengan pohon, mobil, hewan dan gedung.

Tulisan bisa saja digambarkan secara sederhana menggambarkan realitas, tapi secara perlahan-lahan dia menjadi cara dahsyat membentuk ulang realitas. Ketika laporan resmi bertabrakan dengan realitas objektif, seringkali realitas yang harus mengalah. Siapapun yang pernah berurusan dengan otoritas pemerintahan dan birokrasi komplek lainnya mengetahui bahwa kebenaran nyaris tak penting, yang tertulis di kertas jauh lebih penting.

Kekuatan catatan tertulis mencapai puncaknya ketika muncul yang namanya kitab suci. Para pendeta dari peradaban kuno menjadi terbiasa melihat dokumen sebagai buku pedoman untuk realitas. Pada mulanya teks memberitahu tentang realitas pajak dan administrasi. Namun sebagaimana para birokrat mendapatkan kekuasaan melalui otoritas teks. Para pendeta tidak hanya mencatat daftar properti tuhan, tetapi juga perintah, perbuatan dan rahasia tuhan. Kitab-kitab suci tersebut bertindak seolah menggambarkan realitas secara keseluruhan dan orang-orang terbiasa untuk mencari semua jawaban atas persoalan hidup halaman-halaman kitab suci tersebut.

Lembaga keagamaan memaklumkan bahwa kitab suci itu berisi jawaban tentang semua pertanyaan kita. Secara simultan dia menekan pengadilan, pemerintahan, dan bisnis untuk berperilaku menurut seperti apa yang tertulis di dalam kitab suci. Jika seseorang memprotes bahwa kitab suci itu adalah cuma kertas berisi tulisan maka seseorang itu adalah sesat, calon penghuni neraka dan tak mendapatkan apa-apa dalam kehidupan.

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Nahdlatul Arabiyyah Semarang: Jejak Keturunan Arab yang Terlupakan (Bagian Pertama)

Oleh: Tedi Kholiludin Pertumbuhan organisasi keturunan Arab di Hindia Belanda...

Dompet di atas Meja: Status Kesehatan dan Konfidensialitas dalam Ruang Sosial Kita

Oleh: Tedi Kholiludin Saya terbiasa meletakkan dompet di rumah pada...

Gelap itu Nyata, Bangkit itu Janji: Antara Iman dan Harapan

Oleh: Tedi Kholiludin Saat dalam perjalanan mudik untuk berlebaran bersama...

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini