
Oleh: Abu Hapsin, Ph.D
Demokrasi merupakan sebuah konsep politik ideal yang dibangun diatas kesadaran manusia sebagai makhluk yang memiliki kebebasan berkehendak. Manusia, tanpa membedakan kelas, etnis maupun struktur sosial, sebenarnya diberkati oleh Tuhan suatu kepercayaan diri dan kemampuan untuk membangun dirinya sendiri tanpa adanya interfensi pihak-pihak lainnya. Manusia dapat eksis dalam keadaannya yang utuh jika ia disertai kebebasan untuk menentukan dirinya sendiri. Disinilah letak autentisitas manusia sebagai manusia. Paksaan untuk menjadikan seseorang sebagai “orang lain” bukan hanya berlawanan dengan prinsip-prinsip kebebasan berkehendak, tetapi hakekatnya bertentangan dengan nuraninya sendiri.
Meski demikian, karena hidup ini dipenuhi dengan kebebasan-kebebasan dari setiap individu, maka alam, dengan prinsip keseimbangannya, menghendaki adanya kesepakatan bersama untuk mengatur lalulintas kebebasan. Itulah mengapa kesepakatan untuk hidup bersama (kontrak sosial) merupakan sesuatu yang diinginkan adanya. Jadi kontrak sosial bagi manusia adalah alami.
Dalam mewujudkan kesepakatan bersama itu sudah barang pasti akan terjadi tawar menawar antara individu-individu agar posisi hak masing-masing terhadap yang lainnya menjadi jelas. Pada tahap ini setiap individu memiliki hak untuk menentukan dirinya sendiri berdasarkan keyakinan keagamaan yang dianutnya. Akan tetapi tidak hanya hak yang terkait dengan dirinya sendiri, tetapi juga hak orang lain terhadap dirinya. Disinilah makna kebebasan membuat asosiasi keagamaan, mengekspresikan dan melembagakan suatu keyakinan keagamaan. Keterlibatan setiap individu dalam proses bargaining position dalam suatu masyarakat majemuk itulah sebenarnya merupakan hakekat demokrasi yang terkait dengan kebebasan beragama.
Demokrasi dan Kebebasan Beragama
Dalam bahasa Inggris , kebebasan beragama diistilahkan dalam dua pengertian yakni “religious freedom” dan “religious liberty “. Kedua istilah ini sering digunakan secara bergantian dan memiliki pengertian sinonim yang mengekspresikan ketiadaan paksaan terhadap pikiran seseorang di dalam mengekspresikan apa yang menjadi keyakinannya. Namun dalam konteks politik dan hukum, istilah “religious freedom” lebih sering digunakan daripada “religious liberty.
Carillo de Albornoz sebagaimana dikutip oleh Koshy (1992: 22) berpendapat bahwa religious liberty atau kebebasan beragama memiliki empat aspek utama yakni: kebebasan nurani (liberty of conscience), kebebasan mengekspresikan keyakinan keagamaan (liberty of religious expression), kebebasan melakukan perkumpulan keagamaan (liberty of religious association), dan kebebasan melembagakan keagamaan (liberty of religious institutionalization). Diantara keempat aspek tersebut, aspek pertama (aspek kebebasan yang bersifat nurani) merupakan hak yang paling asli dan paling absolut dalam pengertian bahwa ketidak-terpisahannya dari diri seseorang melampaui ketiga aspek lainnya. Karena kebebasan nurani ini merupakan hak yang paling absolut, maka konsep kebebasan beragama harus mencakup kebebasan untuk memilih atau tidak memilih agama tertentu.
Dengan batasan diatas maka kebenaran pribadi harus dianggap sebagai sebuah nilai yang paling luhur dan agung (supreme value). Ia menghendaki sebuah komitmen dan pertanggungjawaban pribadi yang mendalam. Komitmen dan pertanggungjawaban pribadi ini harus berada di atas komitmen terhadap agen-agen otoritatif lainnya seperti pemerintah, masyarakat dan bahkan Tuhan. Dalam pengertian inilah Prof. Gamwell (1995,30:31) mendefinisikan agama dan dalam konteks inilah ia melihat otentisitas atau keaslian manusia sebagai “manusia yang utuh” yang memiliki kebebasan untuk menentukan dirinya sendiri berdasarkan keyakinan hati nuraninya sendiri.
Kebebasan yang bersifat nurani merupakan dimensi internal dari konsep kebebasan beragama sedangkan manifestasi dari kesadaran ini, baik yang diwujudkan secara personal maupun secara sosial atau institusional , merupakan dimensi eksternalnya. Atas dasar pengertian ini maka definisi kebebasan beragama harus juga mencakup dimensi eksternal dari kebebasan nurani (liberty of conscience). Hal ini didasarkan atas logika bahwa sebuah agama hanya bisa disebut sebagai agama jika ia sudah berwujud institusi sosial. Sehebat dan sekuat apapun sebuah ajaran atau sebuah doktrin, selama ia hanya mengikat secara individual, secara sosiologis ajaran tersebut belum bisa disebut sebagai agama. Dengan demikian kebebasan beragama harus mencakup pula kebebasan untuk menginstitusionalisasikan ajaran agama serta kebebasan untuk melakukan asosiasi keagamaan.
Pembedaan (bukan pembagian) kebebasan beragama ke dalam dimensi internal dan eksternal jelas akan membawa konsekuensi bahwa dimensi eksternal bersifat relatif. Hal ini berarti bahwa hak untuk mewujudkan kebebasan nurani tersebut bergantung pada agen-agen lainnya seperti pemerintah dan elemen-elemen body politics lainnya. Misalnya, meskipun keyakinan atau kesadaran pribadi mengatakan bahwa melakukan tindakan bunuh diri adalah suatu perbuatan mulia, seseorang tidak bisa dengan bebas mewujudkan hal tersebut hanya dengan alasan bahwa hal itu semata-mata adalah haknya dengan mengesampingkan moralitas publik. Manifestasi dari kebebasan beragama menjadi hak publik untuk memberikan penilaian terhadapnya. Dengan demikian masyarakat umum memiliki hak untuk melakukan penilaian terhadap sebuah keyakinan keagamaan pada saat agama memasuki arena politik. Dalam konteks inilah konsep kebebasan beragama sangat terkait erat dengan otoritas politik, yakni negara.
Dimanakah Posisi Negara?
Dalam paradigma teokratik, negara merupakan kepanjangan tangan dari otoritas Tuhan dalam mewujudkan kehendakNya di muka Bumi ini. Pengertian ini mungkin terlalu menyederhanakan persoalan, tetapi inilah inti dari paradigma teokratik. Akibatnya, negara tidak lagi diatur berdasarkan kehendak bebas warganya tetapi ada intervensi Tuhan yang juga turut serta mengarahkan bagaimana negara harus dikelola. Dengan demikian meski ada proses demokratisasi dalam pengalihan kekuasaan, prinsip demokrasi dalam suatu negara teokratik akan mengalami reduksi. Ibarat kebebasan yang diberikan kepada seekor binatang yang buntutnya tetap dipegang erat-erat oleh pemiliknya. Jadi pada hakekatnya dalam suatu negara teokratik demokrasi itu tidak ada. Yang ada hanyalah pemberian mandat untuk bermusyawarah dalam rangka mewujudkan keinginan Tuhan.
Kalau kita sepakat dengan pernyataan di atas, lalu tuhan yang diyakini oleh kelompok mana yang keinginannya akan kita kawal? Ini merupakan pertanyaan yang amat penting ketika dihadapkan dengan kenyataan bahwa kita hidup dalam kemajemukan warga dengan berbagai keyakinan keagamaan yang dianutnya, ketika kita hidup dalam negara yang tidak lagi dimiliki oleh penganut agama tertentu, tetapi hidup dalam sebuah negara yang didirikan atas kesepakatan bersama dari penganut berbagai keyakinan keagamaan.
Keadaan di atas tentunya akan memaksa kita untuk mendefinisikan negara dalam konteks pluralisme dan multikulturalisme. Definisi negara tidak mungkin lagi dibangun di atas paradigma teoktratik yang difungsikan sebagai kepanjangan “Tangan Tuhan”. Negara harus didefinisikan sebagai bentuk asosiasi politik yang hanya berfungsi sebagai “polisi” untuk mengatur lalulintas hak para warganya yang majemuk agar tidak bertabrakan antara kelompok keagamaan satu dengan lainnya.
Karena fungsinya yang hanya mengatur lalulintas hak, maka ada tiga konsekuensi logis yang lahir darinya.
Pertama, negara harus terbebas dari klaim-klalim keagamaan, misalnya negara “Islam” Indonesia. Mengapa? Karena klaim keagamaan dalam suatu negara akan secara otomatis menafikan hak kelompok lain untuk berperan serta dalam menentukan jalannya pemerintahan. Ini tentunya akan bertentangan dengan prinsip demokrasi khususnya terkait dengan kebebasan beragama. Pada hal tidak ada mekanisme pemerintahan untuk masyarakat plural yang lebih baik dari prinsip demokrasi.
Kedua, hanya hukum milik negara (hukum positif), bukan hukum Tuhan yang menjadi alat negara dalam menjalankan roda pemerintahannya. Dengan demkian tugas negara menjadi terbatas hanya untuk menjawab pertanyaan yang bersifat partial yakni bagaimana bernegara serta mengatur warganya di dunia. Sedangkan pertanyaan komprehensif yakni bagaimana dan apa yang harus dijalani warga negara agar selamat dan bahagia dalam menjalani kehidupan di Dunia dan kelak di akhirat menjadi tugas agama. Dalam paradigma nation state segala aturan hukum yang dibuat oleh negara tidak bertujuan untuk kepentingan keselamatan warga dalam menjalani kehidupan setelah mati, tetapi untuk keselamatan warga dalam menjalani hidup berbangsa dan bernegara. Karenanya hukum harus lahir dari institusi politik yang diproduk melalui mekanisme demokrasi.
Pernyataan di atas bukan berarti menutup peluang masuknya hukum Tuhan, misalnya Syari’at Islam, menjadi aturan negara. Dengan mekanisme demokrasi peluang untuk menjadikan hukum Tuhan menjadi hukum positif sangat terbuka lebar. Atas nama demokrasi setiap warga atau kelompok keagamaan tertentu berhak untuk menjadikan ajaran agamanya sebagai hukum positif. Tentu saja selama dilakukan melalui mekanisme demokrasi dan prosedur konstitusional yang sudah disepakati terlebih dahulu oleh seluruh body politics yang majemuk tersebut. Akan tetapi ketika suatu ajaran agama sudah ditransformasi menjadi hukum positif, maka kedudukan dan fungsinya menjadi berubah. Sekarang hukum Tuhan itu sudah menjadi milik negara yang ditujukan bukan untuk menjawab pertanyaan komprehensif tadi. Misalnya, Negara membuat undang-undang anti miras. meskipun isinya mencerminkan ajaran Fiqh atau bahkan sama persis, ketika menjadi hukum positif tidak lagi ditujukan untuk menyelamatkan warga negara di Akhirat dari murka Tuhan, tetapi untuk mengatur kehidupan seluruh warganya agar aman dan tertib dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dengan demikian, mentaati “undang-undang Anti Miras” meskipun undang-undang itu tidak menyebut dirinya sebagai “Undang-undang Syari’at Anti Miras ”, bagi umat Islam sebenarnya secara implisit sedang mentaati Syari’at Islam. Sementara itu secara eksplisit umat Islam sedang mentaati aturan Negara. Dengan cara pemahaman seperti ini maka bagi umat Islam dan juga kelompok keyakinan keagamaan lainnya tidak perlu khawatir akan kehilangan ajaran agamanya dari panggung politik.
Ketiga, karena tugas negara hanya sebagai polisi, secara logika tidak benar jika negara menggunakan jargon agama untuk menghakimi keyakinan keagamaan suatu keklompok tertentu. Kata “sesat” atau “menyesatkan” misalnya, bukan jargon milik negara. Kata tersebut milik agama yang difungsikan sebagai parameter untuk mengukur kebenaran suatu agama dari sudut pandang dirinya sendiri. Secara sosiologis, suatu agama memang harus punya ukuran tertentu sehingga jelas siapa yang termasuk di dalamnya dan siapa yang ada di luar dirinya.
Ketika muncul gerakan sempalan dari suatu agama tertentu, negara harus berada pada posisi netral. Berikan sepenuhnya hak kepada penganut agama untuk menentukan benar atau sesatnya suatu keyakinan keagamaan yang muncul sebagai gerakan sempalan. Tugas negara, sekali lagi, hanya sebagai “polisi di Dunia”. Alatnya adalah hukum. Dengan demikian negara tidak boleh mengintervensi terhadap suatu keyakinan keagamaan selama mereka tidak melanggar hukum negara. Jadi ukurannya bagi negara adalah melanggar hukum atau tidak. Selama para pengikut gerakan sempalan dari agama tertentu adalah orang-orang yang taat hukum, negara justeru harus lebih mengapresiasi mereka sebagai warga negara yang baik. Kecuali jika ada gerakan keagamaan yang jelas-jelas memenuhi unsur “penodaan terhadap agama”, atau memenuhi unsur subversif terhadap NKRI maka negara harus tampil untuk menghakimi. Mengapa? Karena “penodaan terhadap agama” dan “subversi” sudah menjadi jargon milik hukum negara.