Ahmadiyyah, Eksklusi dan Problem Minoritas

Oleh: Tedi Kholiludin

Sejak awal kehadirannya di bumi nusantara, jemaat Ahmadiyah selalu mendapat cibiran dari kebanyakan orang Islam. Mereka dinilai sebagai komunitas penyebar aliran sesat, karena menganggap Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang nabi dan rasul. Ini tentu pendapat yang berbeda dengan pemahaman umum. Terlebih lagi Jemaat Ahmadiyah menilai bahwa Mirza Gulam Ahmad juga dipercayai sebagai Isa Al Masih yang dijanjikan Allah akan turun di akhir zaman, sebagaimana termaktub dalam al Qur’an 61:10. Sehingga gelar yang disandangnya adalah masih mau’ud. Karena mengembangkan ajaran “sesat” inilah kemudian mereka seakan menjadi komunitas yang terisolir dari komunitas muslim yang memiliki pandangan “normal” tentang agama. Tak jarang mereka mendapat perlakuan yang kasar dan tidak manusiawi, seperti halnya yang terjadi di Parung Bogor 15 Juli 2005.

Terror juga dilakukan terhadap jemaat Ahmadiyah di beberapa tempat di Jawa Barat. Di Bandung misalnya, Pengurus Jemaat Ahmadiyah setempat masih merasa was-was seiring maraknya larangan terhadap kegiatan jemaat tersebut yang ditambah lagi dengan keluarnya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang memutuskan bahwa ajaran Ahmadiyah sesat. Hal yang sama juga terjadi daerah lain di Desa Manis Lor, Kecamatan Jalaksana, Kabupaten Kuningan. Jemaat Ahmadiyah daerah tersebut mengaku kerap menerima teror dari sekelompok masyarakat, bahkan di depan jalan masuk desa tiga hari lalu terpasang sejumlah spanduk yang intinya menentang keberadaan mereka di desa itu. Dan yang terbaru adalah tragedi pembantaian Jemaat Ahmadiyyah di Cikeusik Pandeglang Banten awal tahun 2011 yang menyebabkan meninggalnya tiga orang Jemaat Ahmadiyyah.

Terlepas dari ajaran yang mereka anut dan yakini, model kekerasan yang dipraktekan kepada komunitas Ahmadiyah jelas sangat bertentangan dengan norma hukum maupun norma agama. Dalam UUD 45 dijelaskan bahwa melaksanakan ajaran keagamaan yang sesuai dengan keyakinannya adalah hak umat beragama. Sementara, norma agama secara normatif juga mengajarkan agar selalu mengedepankan amar ma’ruf daripada nahiy munkar.

Konteks Historis

Sebagai sebuah gerakan keagamaan, Ahmadiyyah lahir di India pada akhir abad 19 dalam situasi dimana umat Islam disana berada dalam situasi kemunduran di bidang agama, politik, ekonomi, sosial dan bidang lainnya. Saat itu, India ada dalam kekuasaan Inggris yang memenangkan revolusi tahun 1857 yang kemudian menyebabkan India menjadi koloni Inggris di Asia (Zulkarnaen, 2006: 1).

Kehadiran Ahmadiyyah di India, merupakan rangkaian dari sejarah Islam yang panjang. Sejak kalahnya Turki Usmani dalam serangan ke Benteng Wina tahun 1683, Barat mulai menyerang kerajaan tersebut dan berhasil mengalahkannya pada abad 18. pada abad berikutnya, bangsa Eropa didorong oleh semangat revolusi industri dan ditunjang oleh berbagai penemuan baru, mampu menciptakan senjata modern. Singkat kata, Inggris kemudian berhasil mengambil India dan Mesir, Perancis menguasai Afrika Utara dan bangsa Eropa berhasil mengambil alih wilayah-wilayah muslim lainnya.

Dalam situasi keterbelakangan inilah Ahmadiyyah lahir. Mirza Ghulam Ahmad, (MGA) (lahir, 13 Februari 1835) pendiri Ahmadiyyah sebenarnya mencoba untuk berorientasi pada pembaruan pemikiran. Ia mengaku diangkat Tuhan sebagai al-Mahdi dan al-Masih yang memiliki tanggung jawab moral untuk memajukan Islam dengan memberikan interpretasi baru terhadap ayat al-Qur’an sesuai tuntunan zaman dan “ilham” Tuhan kepadanya. Kondisi itu sepertinya didorong oleh himpitan dari kelompok Hindu dan Kristen.

W.C. Smith menganggap kelahiran Ahmadiyyah ini sebagai satu bentuk pertahanan dari infiltrasi budaya, rasionalisasi dan westernisasi yang digaungkan oleh Sayyid Ahmad Khan (reformis pemikiran dari India). Sementara Gibb mengidentifikasi Ahmadiyyah sebagai gerakan pembaruan yang bersifat liberal dan cinta damai dengan maksud untuk mencari perhatian orang yang telah kehilangan kepercayaan terhadap Islam dengan pemahaman yang lama. MGA tidak hanya menyatakan dirinya sebagai al-Mahdi Islam, tetapi juga al-Masih bagi umat Kristen serta Avatar (inkarnasi) Krishna. (Smith, 1979: 368 dan Gibb, 1995: 104-106)

Ide pembaharuan MGA, ia realisasikan pada bulan Desember 1888. Ia secara terang-terangan mendapat perintah Tuhan melalui ilham Ilahi untuk menerima baiat dari pengikutnya. Wahyu yang ia terima itu berbunyi,

Baca Juga  Pesan Normatif dan Pesan Ideologis dalam Perppu Ormas

“Jika sudah kamu putuskan dalam hatimu maka bertawakallah pada Allah dan buatlah bahtera di bawha tilikan Kami dan wahyu Kami. Orang-orang yang melakukan baiat dengan engkau, mereka sebenarnya melakukan baiat dengan Allah. Tangan Tuhan berada di atas tangan mereka.”(Tadzkirah 167-168)

Perintah Tuhan itu menuntut MGA melakukan dua hal, Pertama, menerima baiat dari para pengikutnya. Kedua, membuat bahtera atau membuat wadah untuk menghimpun kekuatan guna menopang misi dan cita-cita kemahdiannya.

Setelah kematian MGA pada 30 Mei 1908, terjadilah perpecahan di tubuh Jemaat Ahmadiyyah. Ada tiga pokok persoalan yagn menjadi bibit perpecahan, masalah khalifah (pengganti pimpinan), iman kepada MGA dan kenabian. Diantara tiga masalah itu, poin kedua dan ketiga mungkin yang paling pelik. Persoalan mengenai nabi terakhir adalah pokok permasalahan yang kemudian memunculkan silang sengketa.

Ada dua pendapat dari kelompok Ahmadiyyah tentang masalah kenabian terakhir ini. Pendapat pertama berkeyakinan kalau pintu kenabian tetap terbuka sesudah Rasulullah. Sementara pendapat kedua menyatakan kalau MGA tidak mendakwahkan diri sebagai nabi.

Kelompok yang memegang pendapat pertama mendasarkannya pada ucapan MGA dalam Eik Ghalthi Ka Izalah/Memperbaiki suatu Kesalahan (tt: 14 via Zulkarnain, 2006: 72) yang berbunyi

“Kapan dan di mana pun aku telah mengingkari panggilan nabi atau rasul maka maknanya tidak lain hanya bahwa aku bukanlah nabi atau rasul yang mustaqil, membawa syariat baru, dan menjadi nabi yang berdiri sendiri, melainkan aku menerima karunia-karunia keruhanian dari Rasulullah saw, karena aku menaati beliau serta dianugerahi nama dari Rasulullah saw. Oleh karena itu, aku menerima ilmu-ilmu gaib dari Allah SWT. Dengan demikian, aku adalah rasul dan nabi, namun tidak membawa syari’at baru. Nabi dengan arti semacam ini tidak pernah aku ingkari. Justru dengan makna inilah Allah selalu memanggilku nabi dan rasul”

Sementara kelompok kedua mendasarkan keyakinannya pada tulisan MGA dalam “Majmu’ah Isytiharat” (1892: 95 via Zulkarnain, 2006: 72) yang berbunyi

“Ketahuilah wahai saudaraku kaum Muslimin bahwa kata-kata semacam itu yang seringkali termuat dalam tulisan-tulisan saya…yaitu bahwa muhaddats dalam satu segi berarti nabi…Maksud kata-kata itu tidak dalam arti yang sebenarnya, melainkan digunakan dalam aahrti yang lebih luas lagi…Oleh karena itu, saya tidak ragu sedikit pun untuk memberikan makna lain untuk menentramkan saudaraku umat Islam semuanya. (Yakni) apabila adalam tulisan-tulisanku digunakan perkataan nabi, hendaklah itu diarhltikan muhaddats dan anggaplah perkataan nabi tidak ada lagi.”

Perbedaan inilah yang kemudian menjadikan Ahmadiyyah terpecah ke dalam dua kelompok, Ahmadiyyah Qadhiyan dan Ahmadiyyah Lahore pada tahun 1914. Di Indonesia dua kelompok ini terepresentasi dalam Jemaat Ahmadiyyah Indonesia (JAI) sebagai kelompok Qadhiyan yang berpusat di Jakarta dan Gerakan Ahmadiyyah Indonesia (GAI) yang berpusat di Jogjakarta.

Kisah Ahmadiyyah di Indonesia

Di Indonesia perkembangan Ahmadiyyah diawali dari kisah keberangkatan dua pelajar dari Sumatera Barat, Abu Bakar Ayub dan Ahmad Nuruddin ke Hindustan pada 1922. Di India, mereka berkenalan Ahmadiyyah di Lahore setelah sempat mendengar nama Kwaja Kamaluddin, pemimpin Ahmadiyyah Building. Setelah beberapa saat mendapatkan pendidikan pada komunitas Ahmadiyyah Lahore, mereka berdua kemudian pergi ke Qadhian setelah selama enam bulan tinggal di Lahore. Mereka menemui Mirza Basyiruddin Mahmud, putera MGA yang juga Khalifah II untuk belajar agama. Setelah belajar bahasa Urdu, mereka kemudian belajar tentang agama pada Mirza Basyiruddin Mahmud. Tak lama kemudian mereka baiat kepada Khalifah II itu.

Setelah menjadi anggota Ahmadiyyah, Nuruddin dan Ayub menginformasikan kepada keluarganya di tanah air tentang biaya hidup di Qadhian yang sangat murah. Lalu, datanglah banyak pelajar lain ke Qadhian. Pada 1926, akhirnya banyaklah berdatangan pelajar dari kota lain di Sumatera seperti Padang, Padang Panjang, Batu Sangkar dan Tapaktuan, Aceh. Setibanya di Sumatera mereka kemudian mendirikan Perkumpulan Ahmadi Indonesia.

Tahun 1924 atas permintaan pelajar alumni Qadhian, Ahmadiyyah Qadhian mengirim Maulana Rahmat Ali untuk menjadi mubaligh di Sumatera dan Jawa. Tahun 1925 Maulana Rahmat Ali berangkat ke Indonesia melalui Penang, Medan, dan Sabang. Ia kemudian memulai tabligh di Tapaktuan. Tetapi Maulana Ali tidak bisa dengan bebas mengembangkan tablighnya. Ia mendapat kecaman, salah satunya dari ayah Hamka, Dr. H. Abdul Karim Amrullah. Tetapi itu tak menghambat dakwah Ahmadiyyah hingga kemudian mencapai angka 15 orang. Setelah tahun 1929 ada pelajar yang pulang ke Padang, Maulana Rahmat Ali meninggalkan Sumatera menuju Jawa untuk mengembangkan tabligh.

Baca Juga  Tabib dari Isfahan: Ibnu Sina dalam Film “The Physician”

Di Jawa, Maulana Rahmat Ali tidak pergi ke Yogyakarta yang ternyata sudah ada mubaligh dari Lahore. Ahmadiyyah di Jogjakarta hadir terlebih dahulu, tepatnya pada 1924 setahun lebih awal dari Qadhian di Sumatera. Dua mubaligh yang datang ke Yogyakarta adlah Maulana Ahmad dan Mirza Wali Ahmad Baig. Namun, informasi tentang Ahmadiyyah di Yogyakarta tidak sejelas di Sumatera.

Jika ditilik secara lebih mendalam, banyak hal yang sebenarnya menarik dicermati dari gerakan Ahmadiyah ini. Ada banyak sisi kelebihan yang tak dimiliki firqah lain. Sebagai jaringan keagaman internasional Ahmadiyah hingga saat ini masih tetap mendakwahkan ajarannya melalui saluran “Muslim Television Ahmadiyah” (MTA) yang merupakan stasiun muslim pertama di dunia yang mengudara secara internasional. Stasiun televisi yang memancar dari London itu dapat diterima di seluruh dunia dan disiarkan selama 24 jam dengan menggunakan beberapa bahasa yaitu Bahasa Urdu, Arab, Inggris, Perancis, Bosnia, Bangladesh, Indonesia dan Jerman.

Melalui channel MTA inilah, pidato-pidato pidato-pidato Khalifah Jemaat di London bisa langsung disimak oleh pengikutnya di seluruh jagat. Seperti khutbah Jum’at Hazrat Mirza Taher Ahmad dan sebagainya. Hingga saat ini, jemaat Ahmadiyah telah menyebar ke-120 negara. Dan, dalam penyebaran agama Islam di Amerika dan Eropa sebenarnya umat Islam harus mengucapkan rasa terima kasih kepada Jemaat Ahmadiyah. Merekalah yang mendakwahkan Islam secara bijak, jujur, terbuka dan jauh dari aksi kekerasan dan anarkhisme. Bahkan di negara yang penduduknya kebanyakan non muslim, Ahmadiyah justru lebih bisa diterima. Di Rwanda, Hongkong dan Portugis Ahmadiyah telah menunjukan eksistensi komunitasnya. Itulah torehan prestasi yang hingga saat ini jauh melebihi komunitas Sunni, Syi’ah, NU, Muhammadiyah, atau kelompok keagamaan lainnya. Inilah torehan tinta emas yang barangkali sulit ditemukan bandingannya dalam komunitas umat Islam.

Tetapi, prestasi itu tetap saja tidak membuat umat Islam di Indonesia terutama, bisa menerima Ahmadiyah sebagai anak kandung Islam. Kemajuan dalam pengembangan sistem informasi seakan tidak memiliki arti, tatkala pemikiran keagamaan yang dikembangkannya dianggap melenceng jauh dari landasan normatif yang sebenarnya juga masih dalam perdebatan.

Saat ini, pemikiran keagamaan memang sedang diuji karena sangat lekat dengan idiom-idiom kafir, sesat dan murtad. Benar mungkin kata Intelektual asal Mesir Amin al Khuli bahwa kapan pun, pemikiran memang sebuah kekafiran. Ia diharamkan dan diperangi. Bersama lalunya zaman, ia menjadi sebuah aliran bahkan keyakinan dan pembaharuan. Ini artinya bahwa di satu sisi pemikiran menjadi sebuah keharusan untuk melakukan pembaharuan. Tetapi di sisi lain pemikiran keagamaan (al tafkir al diniy) juga sepertinya membuat seseorang menjadi sulit untuk lepas dari lingkar kesesatan bahkan kekafiran (al takfir al diniy).

Meskipun demikian, sebenarnya ada satu hal yang patut dicermati, tentang klaim yang selalu mengatasnamakan agama tersebut. Tafsir tunggal atas kebenaran nampaknya masih mendominasi alam pikiran umat Islam saat ini. Apa yang dipraktekan oleh kelompok mayoritas selalu dipersonifikasikan sebagai ajaran agama yang absah. Sementara, kaum minoritas yang memiliki penafsiran berbeda atas doktrin agama dinilai melanggar pakem dan karenanya tidak sesuai denga norma syari’at. Padahal dalam pemikiran keagamaan, yang sesuai dengan mainstream belum tentu memiliki kadar kebenaran tinggi. Begitu juga sebaliknya. Pemikiran yang disuarakan oleh kaum minoritas bukan tidak mungkin justru merepresentasikan kehendak Tuhan.

Kaum Minoritas Yang Tertindas

Kejadian yang menimpa sekte Ahmadiyah sebenarnya juga ada dalam tradisi agama lain. Di Islam sendiri, banyak kaum minoritas yang juga bernasib sama dengan Ahmadiyah. Di Iran kaum Bahai juga dituduh kafir dan dianggap telah mencerabutkan diri dari tanah kelahirannya sendiri. (Payam Akhavan: 1996). Oleh Ulama Syi’ah Iran, kaum Baha’i kemudian dipinggirkan dan diisolir dari berbagai spectrum kehidupan, ekonomi, politik maupun system religiusitas. Yang lebih mengerikan mereka menjadi korban kampanye genosida yang diberlakukan atas usaha pera teolog Islam. Dan hingga saat ini kampanye tersebut masih berlangsung. Entah sudah berapa banyak korban jiwa yang jatuh karena penyiksaan terhadap mereka.

Baca Juga  Masjid Harus Netral Ideologi

Untuk menjustifikasi kebenarannya di hadapan rakyat Iran dan menangkis kritik di forum Internasional, pemimpin Iran menegaskan bahwa Baha’i dianiaya bukan karena keyakinan agama mereka, tetapi lebih karena mereka adalah agen dari imperialis-zionis yang bertujuan menghancurkan pemerintahan Islam. tetapi beberapa pengamat justru meragukan kebenaran argumen ini. Karena kaum Baha’i tidak pernah terlibat dalam urusan politik partisan atau kegiatan-kegiatan subversif dan bahwa penganiayaan atas mereka merupakan contoh jelas dari genosida yang dilancarkan terhadap sekelompok kambing hitam.

Pengalaman yang menimpa sekte Bahai di Iran itu juga dialami oleh komunitas pengikut Madzhab Pure Land dalam Agama Buddha. Mazhab Nichiren yang memiliki cara pandang keagamaan yang eksklusif menilai bahwa telah terjadi banyak penyimpangan atas teks, ajaran dan praktik di kalangan umat Buddha pada abad ke 13 di Jepang. Penganut mazhab ini yakin bahwa Lotus Sutra adalah satu-satunya teks suci yang valid. Dari sini, Nichiren menganggap orang seperti Shinran dan Honen serta pengikut Mazhab Pure Land adalah bagian dari orang yang melanggar hukum sejati (Dharma).

Nichiren menganggap bahwa membunuh orang yang melanggar Dharma termasuk Shinran dan Honen tidak akan pernah tertimpa hukum karma. Mengutip pernyataan Buddha Nichiren mengatakan bahwa membunuh orang lain akan masuk neraka, menjadi hantu kelaparan atau binatang, kecuali dalam kasus pelanggaran Dharma.

Selain dua komunitas di atas tentunya masih banyak kelompok keagamaan lain atau individu yang dinilai sebagai penyebar aliran sesat. Dalam Islam sebut saja misalnya nama Fazlur Rahman (Pakistan), Nashr Hamid Abu Zayd (Mesir), Muhammad Syahrur (Syria), Amina Wadud, Farid Essack (Afsel), Abdul Karim Soroush (Iran), Nurcholis Madjid atau Gus Dur (Indonesia). Dalam tradisi agama Kristen ada nama John Shelby Spong serta nama lain yang menjadi sasaran kemarahan kaum “agamis”.

Dalam dinamika pemikiran keagamaan, cara pandang yang selalu menilai sesat pemikiran orang lain tentu menjadi penghambat laju perkembangan pemikiran itu sendiri. Ragam pemikiran yang seharusnya menjadi bagian dari khazanah pemikiran keislaman justru menjadi mafsadat bukannya rahmat. Padahal Nabi sendiri menghendaki bahwa heterogenitas pemikiran harus berwujud di atas horizon keterbukaan dan saling memahami.

Jelaslah sudah bahwa sebetulnya tidak ada seorang pun yang dapat menangkap suara terdalam dari agama. Yang selama ini dilakukan tidak lain adalah upaya untuk menafsirkan agama yang menjelma dalam pemikiran keagamaan itu. Jadi sungguh tidak beralasan jika ada yang mengklaim bahwa ada kesesatan dalam sebuah pemikiran. Karena tidak ada yang mengetahui siapa tentara-tentara Tuhan, kecuali diriNya. (wa maa ya’lamu junuuda rabbika illa huwa).

Ini artinya bahwa otoritas untuk memvonis sesat atau benar sebuah ajaran bukanlah milik manusia. Apapun produk pemikiran keagamaan semuanya belum dapat dijamin kebenarannya. Begitu juga dinamika yang terjadi di Ahmadiyah. Mereka sedang berproses untuk menguji kematangan doktrinalnya. Dan tidak hanya Ahmadiyah sebenarnya yang sedang melakukan proses itu. NU, Muhammadiyyah, Persis, dan ormas serta kelompok keagamaan lain berada pada tahapan yang sama.

Sungguh tidak beralasan jika saat ini kita masih menyibukan diri dengan klaim-klaim itu. Yang terpenting adalah bagaimana hal tersebut kita pahami sebagai kekayaan khazanah pemikiran keislaman yang dapat membuat kita lebih dewasa dalam beragama. Karena kepercayaan dan keyakinan terhadap ajaran agama merupakan suatu hal yang asasi dan harus dihormati. Terlebih pluralisme pemahaman terhadap teks-teks Islam merupakan suatu kewajaran dalam diskursus keagamaan dewasa ini.

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

De Las Casas dan Perlawanan atas Kolonialisme: Cikal Bakal Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Bartolomé de las Casas (1485–1566) adalah seorang...

Tiga Tema Alkitab sebagai Basis Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam "Justice and Only Justice: A Palestinian...

Kekristenan Palestina dan Teologi Pembebasan: Berguru Pada Naim Stifan Ateek

Oleh: Tedi Kholiludin Ia adalah seorang Palestina dan bekerja sebagai...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini