Keanggotaan FKUB dan Partisipasi Publik

Oleh: Tedi Kholiludin

Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) mengemban tugas yang bersifat publik atau menyangkut kepentingan publik. Rekomendasinya dibutuhkan oleh pemerintah ketika hendak menerbitkan izin menyangkut pendirian rumah ibadah. Karena ada sisi publik dari tanggungajawab FKUB, saya hendak membuka ruang diskusi tentang kemungkinan partisipasi publik secara luas untuk mengisi keanggotaan forum ini.

Tugas pokok FKUB sebagaimana termaktub dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (selanjutnya ditulis Perber) tahun 2006 adalah melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat, menampung aspirasi ormas keagamaan dan aspirasi masyarakat, menyalurkan aspirasi ormas keagamaan dan masyarakat dalam bentuk rekomendasi sebagai bahan kebijakan bupati/walikota/gubernur, melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan dan kebijakan di bidang keagamaan yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama dan pemberdayaan masyarakat. Di level kabupaten/kota tugas FKUB ditambah dengan pemberian rekomendasi tertulis atas permohonan pendirian rumah ibadat.

FKUB merupakan kepanjangan tangan pemerintah yang perannya sangat diharapkan, terutama dalam mengenali dan memahami situasi terkini kehidupan keberagamaan. Atas situasi yang berkaitan dengan konflik antar umat beragama misalnya, pemerintah akan serta merta meminta pendapat dari FKUB. Disini, posisi FKUB terasa sangat penting.

Siapa saja yang ada di FKUB?

Dalam Perber disebutkan, keanggotaan FKUB terdiri atas pemuka-pemuka agama setempat yang jumlannya 21 di provinsi dan paling banyak 17 orang di kabupaten/kota. Komposisinya ditetapkan berdasarkan perbandingan jumlah pemeluk agama setempat dengan keterwakilan minimal 1 (satu) orang dari setiap agama yang ada di propinsi dan kabupaten/kota.

Bagaimana pemuka agama bisa menjadi anggota FKUB?

Pada praktiknya, sependek yang saya tahu, tokoh agama yang dimaksud adalah mereka yang direkomendasikan oleh majelis-majelis agama. Majelis agama yang biasanya diminta mengirimkan anggota FKUB antara lain Majelis Ulama Indonesia, Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Persekutuan Gereja Indonesia, Kevikepan atau Keuskupan, Parisada Hindu Dharma, Walubi dan Majelis Tinggi Agama Konghucu. Dinamika organisasi keagamaan di tingkat lokal juga turut memengaruhi kehadiran majelis agama di luar yang disebutkan di atas. Di wilayah Solo Raya misalnya, ada wakil dari Majelis Tafsir Al Qur’an (MTA) yang juga turut menjadi anggota FKUB. Bahkan pegawai di Kementerian Agama Kabupaten/Kota juga ada yang didelegasikan sebagai anggota FKUB.

Baca Juga  Empat Tantangan Agama Sipil

Pemerintah, melalui Badan Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat biasanya mengirimkan formulir kepada pengurus majelis agama setempat. Dalam formulir itu, ada nama-nama yang harus diisi sebagai calon anggota FKUB. Jumlahnya juga sudah ditentukan. Misalnya, NU mengirim 3 wakil, Kristen 2 wakil dan seterusnya.

Seperti disinggung di awal tulisan, saya ingin membuka ruang diskusi tentang kemungkinan pelibatan publik secara luas dalam rekrutmen anggota FKUB ini. Tak ada ketentuan spesifik bahwa anggota FKUB berasal dari majelis agama. Di Perber, kita tidak menjumpai pengaturan tentang asal organisasi atau komunitas yang menjadi calon anggota FKUB. Artinya, jika partisipasi publik dibuka seluas-luasnya, hanya dibutuhkan peraturan walikota/bupati atau gubernur untuk memagarinya secara legal.

Tanpa menafikan eksistensi majelis agama, pelibatan masyarakat secara terbuka, hemat saya, akan memungkinkan terjaringnya calon anggota yang memiliki kualifikasi. Ia bisa berasal dari elemen manapun; kampus, lembaga masyarakat sipil atau dari majelis agama itu sendiri. Kemampuan serta perspektif yang kuat tentang toleransi dan keragaman akan menjadi daya tawar masing-masing calon anggota. Termasuk integritas dan komitmen terhadap nilai-nilai kebangsaan tentunya.

Mereka yang mendaftarkan diri sebagai calon anggota FKUB ini diuji oleh tim independen yang difasilitasi oleh pemerintah. Saya membayangkan, kira-kira, model rekrutmennya kurang lebih seperti yang dilakukan terhadap calon komisioner Badan Pengawas Pemilihan Umum atau Komisi Pemilihan Umum.

Jika ini bisa dipahami dan diterima sebagai alternatif melakukan proses rekrutmen, tinggal satu hal saja yang harus disepakati bersama; tentang term “tokoh agama”. Terhadap hal ini, saya tidak punya jawaban, karena masing-masing dari kita bisa mendefinisikan, siapa dan dengan kriteria seperti apa seseorang bisa dikenali sebagai tokoh agama.

Baca Juga  Kemendesakan Disahkannya Rancangan Undang-Undangan Penghapusan Kekerasan Seksual

Ada beberapa isu yang belum saya elaborasi di tulisan ini. Setidaknya, dua hal yang bisa menjadi bahan diskusi lebih lanjut; (i) relevansi tentang aspek representasi agama dan (ii) apakah keanggotaan hanya boleh dari 6 kelompok agama saja.

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Nahdlatul Arabiyyah Semarang: Jejak Keturunan Arab yang Terlupakan (Bagian Pertama)

Oleh: Tedi Kholiludin Pertumbuhan organisasi keturunan Arab di Hindia Belanda...

Dompet di atas Meja: Status Kesehatan dan Konfidensialitas dalam Ruang Sosial Kita

Oleh: Tedi Kholiludin Saya terbiasa meletakkan dompet di rumah pada...

Gelap itu Nyata, Bangkit itu Janji: Antara Iman dan Harapan

Oleh: Tedi Kholiludin Saat dalam perjalanan mudik untuk berlebaran bersama...

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini