William James dan Pengalaman Keagamaan

Oleh: Tedi Kholiludin

Studi agama, khususnya pendekatan psikologi, sangat berhutang pada William James dan kumpulan naskah-naskah kuliah yang kemudian diterbitkan dalam buku, The Varieties of Religious Experience. Buku yang dipublikasikan pada tahun 1902 tersebut, sesuai judulnya, merekam fakta tentang keragaman pengalaman keagamaan. James menelisiik fenomena-fenomena psikologis seperti neurologi, kesantoan, mistisisme, kegilaan, keterbelahan psikis dan lainnya untuk mengaitkan hal tersebut dengan apa yang setiap hari dikenali sebagai kehidupan keagamaan.

James, filusuf yang juga dikenal dengan pragmatismenya, membaca dan menyimak secara mendalam bagaiaman pengalaman spiritual dari seorang Miguel de Molinos (pendiri Quentisme), George Fox (pimpinan kaum Quaker), Leo Tolstoy, dan juga mengelaborasi pengalaman Bhagavad Gita serta pewahyuan Nabi Muhammad.

Inti dari penjelasan James adalah situasi kebatinan yang terjadi ketika “transisi dari ketegangan, rasa tanggung jawab dan kekhawatiran yang berubah menjadi ketenangan, penerimaan dan kedamaian,” tergambar jelas sebagai “hal terindah dari segala perubahan ekuilibrium batin.” Dalam setiap pengalaman keagamaan, situasi ini yang membuat seseorang melewati fase-fase tertentu dalam kehidupannya.

Santo Agustinus, merupakan sosok penting dalam tradisi Katolik yang kehidupannya sempat mengalami keterbelahan kepribadian. Ia menerima pendidikan setengah pagan dan setengah Kristen, hijrah ke Roma dan Milan, menerima Manikhesime (sering juga disebut Maniisme) dan skeptisisme serta pelbagai kegelesihan yang dirasakan ketika ia berupaya mencari kebenaran dan kesejatian hidup. Kepribadiannya terbelah, mengalami kebimbangan dan rasa malu yang muncul karena lemahnya tekad dari dirinya. Sementara, orang lain sudah menapak tangga yang lebih tinggi. Sampai pada satu ketika, ia mendengar seperti suara di kebun yang berseru “summe, lege” (ambil dan baca).

Pengalaman mistisisme, salah satu yang dibahas James, menghadirkan situasi yang tak mudah untuk dijelaskan meski sesungguhnya itu fenomena empirik. James menjabarkan apa yang disebut mistisisme ini dalam empat kata kunci untuk mengenali fenomena ini.

Baca Juga  Sheilaisme

Pertama, ineffability atau tak terlukiskan. Sebagai sebuah pengalaman personal apa yang dialami seseorang tentu tidak mudah atau bahkan tidak bisa dipindahkan ke orang lain. Karena sifatnya itu, maka situasi mistis lebih tepat disebut sebagai ungkapan perasaan dibandingkan argumen keilmuan. Kedua, kualitas noetic (pengetahuan dalam, intuitif). Meski James menganggap mistisisme sebagai keadaan perasaan (state of feeling), tetapi pengalaman itu juga berisi keadaan pengetahuan (state of knowledge). Ada rasa ingin tahu tentang kekuatan Adikodrati.

Ketiga, transiency (kefanaan). Situasi mistis tidak terjadi pada rentang yang panjang. Saat pengalaman itu sudah dilewati, jejaknya terkadang tidak bisa diingat dengan jelas. Baru setelah muncul kembali, pengalmaan tersebut bisa dirasakan dan hal tersebut dipahami sebagai pengayaan batin. Keempat, passivity atau kepasifan. Betapapun apa yang disampaikan seorang yang telah melewati pengalaman mistik muncul dan saat kesadaran terbentuk, maka keadaan mistik itu sendiri seperti keinginan yang terkatung-katung dan ada dalam genggaman kekuatan yang lebih besar.

***

Psikologi seperti halnya agama, kata James berada pada sebuah keharmonisan (juga ketidakharmonisan). Keduanya mengakomodir adanya kekuatan di luar kesadaran manusia yang melampaui batas-batas kehidupannya. Psikologi mengenalkan kekuatan tersebut sebagai subconscious atau pikiran bawah sadar.

Agama dicirikan oleh karakteristik psikologis dimana ada semangat baru yang muncul seperti berkah dalam hidup, berbentuk pesona lirik atau daya tarik atas kesungguhan dan heroisme. Secara psikologis agama juga melahirkan jaminan akan keamanan dan suasana damai serta kasih sayang besar.

Pengalaman keagamaan yang variatif memperlihatkan bahwa dunia nyata merupakan bagian dari semesta yang lebih spiritual dengan signifikansi utama; penyatuan dengan semesta merupakan tujuan tertinggi; doa atau komuni batin dengan sang spirit (Tuhan ataupun Hukum) merupakan proses agar sesuatu diselesaikan sehingga energi spiritual mengalir, berpengaruh secara psikologis maupun materi.

Baca Juga  Berhala Tuhan
spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Pasar Tradisional dan Masjid Emas sebagai Penanda Kawasan Muslim Quiapo, Manila Filipina

Oleh: Tedi Kholiludin Quiapo adalah sebuah distrik yang berada merupakan...

Beristirahat Sejenak di Kapernaum: Renungan Yohanes 2:12

Oleh: Tedi Kholiludin “Sesudah itu Yesus pergi ke Kapernaum, bersama-sama...

Dua Peneliti ELSA Presentasikan Hasil Risetnya di Pertemuan Jaringan Penelitian HIV Indonesia

Jaringan Penelitian HIV Indonesia (JPHIV-Ina) menggelar pertemuan jaringan...

Liquid Identity: Saat Identitas menjadi Sebuah Entitas Muas

Oleh: Muhamad Sidik Pramono (Mahasiswa Magister Sosiologi Agama Universitas...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini