Oleh: Tedi Kholiludin
Seorang ibu berkerudung, perlahan, membolak-balikkan gabah yang sedang disorot terik matahari. Meski jam sudah menunjukkan pukul 16 kurang beberapa menit, namun mentari nampak masih setia menemani sore di Karangjoso, sebuah pedukuhan di Kecamatan Butuh Kabupaten Purworejo, Kamis (9/3/2023).
Mobil saya kemudikan dengan agak meminggir untuk menghindari gabah yang sedang dijemur ibu berkerudung coklat. Ia menjemur di jalan setapak yang sudah dibeton yang letaknya persis depan sebuah gereja tua. Tujuan saya adalah menemui pendeta di gereja yang dibangun pada 1871 serta rumah serta pendopo yang lebih tua satu tahun usianya dibanding gereja. Menyaksikan ibu berkerudung melakukan aktivitas keseharian sebagai petani di depan gereja, saya rasa inilah panorama kehidupan toleran yang berjalan secara alamiah.
Dua orang sudah menunggu di depan pendopo ketika mobil sudah memasuki halaman gereja. Mereka adalah Pendeta Setiyadi dan Purnomo. Pendeta Setiyadi adalah pelayan di Gereja Kristen Jawa (GKJ) Karangjoso, sementara Purnomo adalah keturunan dari orang yang sangat penting dalam kaitannya dengan sejarah Kekristenan di Jawa Tengah khususnya. Ia adalah Kiai Sadrach Surapranata. Purnomo merupakan buyut dari putera (angkat) Sadrach, Yotham Martareja.
Bangunan gereja dan rumah Sadrach sendiri berdampingan. Pada masanya, kedua bangunan ini tak hanya rumah ibadat tetapi simbol yang bercerita banyak hal. Karangjasa adalah tempat dimana Sadrach secara mandiri dan independen membangun sebuah masyarakat Kristen Jawa. Ia dikenal sebagai guru “ngelmu anyar” yang sangat memberi dampak. Kemampuan retorikanya menjadi andalan dan berhasil mengalahkan banyak guru Jawa lainnya. Tak sampai setahun, yang menghendaki dibaptis sudah mencapai seratus orang. Pendirian masjid (gereja) di dekat rumah Sadrach sendiri sudah diramal jauh-hauh hari.
Tidak hanya dikenal karena kemampuan memenangkan debat, Sadrach juga diakui kelinuwihannya sebagai sosok yang berhasil mengendalikan roh jahat. Sawah-sawah di Karangjasa diyakini sebagai tempat angker, dimana orang yang menggarapnya akan meninggal mendadak. Sadrach-lah yang berhasil menaklukan tempat-tempat di Karangjasa.
Citra diri sebagai pemimpin Kristen Jawa, membawa Sadrach pada posisi marjinal. Pemerintah kolonial Belanda menganggapnya sebagai pemberontak yang mengancam kekuasaan, sementara misionaris menganggap Sadrach sebagai bukan penganut Kristen murni yang bahkan dalam banyak hal bertentangan secara diametral dengan dasar-dasar Calvinisme. Tuduhan sebagai penganut Kristen Palsu atau orang Islam yang berbaju Kristen sudah sangat biasa diterima oleh Sadrach beserta penganutnya.
Fakta tentang pengaruh Sadrach sedemikian kuat di kalangan pribumi Jawa bisa dilihat melalui jumlah pengikutnya. Pada awal 1890-an, ada sekitar 6.374 orang Kristen yang ada di wilayah kerja Nederlandsche Gereformeerd Zendingsvereeniging (NGZV), termasuk Kresidenan Bagelan tempat dimana Sadrach berkarya. Ketika Sadrach memutuskan hubungan dengan NGZV, yang mengaku berada di bawah pengasuhan NGZV tersisa 150 orang saja. Sadrach berhasil memenangkan hati orang Kristen Jawa yang tergabung dalam “Golongane Wong Kristen Kang Mardiko” (Kelompok Kristen yang Merdeka).
***
Narasi-narasi tentang Sadrach sebagai “Rasul Jawa” telah banyak dikupas baik sebagai sebuah laporan maupun analisis sosio-historis (Cachet, 1896; Adrianse, 1899; Guillot, 1985; Partonadi, 2001). Dalam karya-karya tersebut, selain tulisan Cachet, menggambarkan Sadrach sebagai sosok yang berhasil membangun komunitas yang membangun identitas baru, meski tak seluruhnya baru. Ekspresinya merupakan resultan dari hasil negosiasi antara Kekristenan dan Kejawaan, yang pada gilirannya menimbulkan resistensi dari pemerintah maupun zending.
Di Karangjoso, Sadrach membangun masjid (sebutan orang Kristen Jawa saat itu untuk gereja). Pembangunannya bukan tanpa nilai. Ia merasa bahwa zending tak memperlakukan sama orang Kristen Jawa dan Kristen Belanda. Karena ada pemilahan kelas, maka gereja di Karangjoso adalah simbol perlawanannya. Tak ada tanda salib diatas bangunan gereja, melainkan cakra dan pasopati, senjati milik Kresna dan Arjuna. Sadrach bersuara lembut melafalkan gugatan atas puritanisme, dengan bersandar pada kearifan Jawa.
“Tapi semakin kesini, yang melanjutkan semangat Sadrach sesungguhnya semakin berkurang, kira-kira, apa penyebabnya menurut Mas Tedi?” tiba-tiba Pendeta Setyadi melontarkan pertanyaan reflektif.
Gejala gereja-gereja tradisional menghadapi tantangan seperti juga yang dialami GKJ Karangjoso sejatinya adalah fenomena global. “Mungkin populisme juga merambah Kekristenan,” saya menjawab singkat tanpa memberi elaborasi lebih lanjut. “Yang tersisa dari tradisi Jawa dan masih dilestarikan oleh orang-orang Kristen Jawa, mungkin hanya tinggal nyekar,” ujar Purwanto, ketika menemani saya berziarah ke makam Sadrach yang letaknya tak jauh dari rumah dan gerejanya.
Meski berlabel “Jawa” tetapi tak berarti bahwa filosofi atau epistemologi Jawa masih menjadi inti dari kehidupan bergereja. Setidaknya itu tergambar dari keresahan dua orang yang saya temui sore itu. Padahal, pada masanya, Sadrach menjadikan esensi Jawa justru sebagai penghantar ajaran Kekristenan.
Apakah pesona Jawa sudah mulai memudar di Gereja-gereja Jawa?