Oleh: M. Najibur Rohman
Setiap agama memiliki dasar untuk mendakwahkan ajaran-ajarannya. Namun di tengah pluralitas masyarakat, strategi dan model dakwah sepatutnya tidak dilakukan dengan “semena-mena”. Harmonisasi sosial dan keagamaan perlu tetap dijaga supaya tidak bergejolak. Clifford Geertz pernah memberikan kita petuah tentang potensi agama dalam menyulut konflik, disamping potensi integratif yang dimiliki. Dakwah tentulah menjadi pintu utama dalam membuka kedua potensi itu.
Di era modern, yang menjanjikan kebebasan berbicara dan berpendapat—termasuk berdakwah—menjadikan media, baik cetak maupun elektronik, dapat berisi beragam informasi, termasuk bidang keagamaan. Siaran-siaran keagamaan, salah satunya, menjadi menu yang menghiasi kehidupan publik dengan beragam informasi dan pendapat. Siapa saja dapat menangkap atau menerima siaran itu, karena di tengah gegap gempitanya arus informasi, segala hal yang tersiarkan menjadi milik publik—dan terserah mereka akan mengolahnya seperti apa.
Dalam konteks semacam ini, siaran agama kerap menjadi persoalan. Hal itu muncul sebagai akibat cara berdakwah yang terkadang “memojokkan”, “mendiskriminasi”, atau bahkan “melecehkan”, antara agama satu dengan yang lain. Sebaliknya, dakwah juga dapat menyimpan potensi positif jika dikelola dengan cara yang bijaksana dan menentramkan. Itulah sebabnya aturan main penyiaran agama dibutuhkan selama tidak mengganggu ruang ekspresi umat beragama dan warga negara pada umumnya.
Representasi media
Dalam perkembangan budaya kita saat ini, media massa memiliki peran penting. Sebagai institusi informasi, media dipandang sebagai variabel determinan terhadap perubahan-perubahan di masyarakat. Tipe masyarakat yang paling kentara dipengaruhi oleh media adalah masyarakat industri (industrial society) yang kemudian menjelma menjadi masyarakat informasi (information society). Kuatnya pengaruh informasi terhadap peradaban kita itulah yang kemudian oleh Alvin Toffler disebutnya “gelombang ketiga” (third wave).
Di tengah banyaknya media yang saling berkompetisi untuk memperebutkan ruang publik, media dengan sendirinya berkembang pada bentuk hegemoni Gramscian yang tidak hanya pasif, tetapi aktif. Media itu membangun representasi untuk memperjuangkan ideologinya. Yasraf Amir Piliang (2004) menuturkannya, “media massa… membentuk sebuah ruang tempat berlangsungnya perang bahasa atau perang simbol (symbolic battle field), untuk memperebutkan penerimaan publik atas gagasan-gagasan ideologis yang diperjuangkan. Di dalamnya sebuah ide hegemonik mendapatkan tantangannya oleh berbagai hegemoni tandingan lainnya (counter hegemony)”.
Gesekan-gesekan untuk memiliki tempat dalam “merepresentasi” membuat media tidak hanya bertujuan menguasai stereotyping, tetapi juga power. Itulah mengapa media tidak lepas dari gejolak-gejolak politik, sosial, dan budaya. Demikian pula dengan media untuk mendakwahkan agama tidak dapat melepaskan dari hukum-hukum tersebut. Agama, boleh jadi justru menjadi variabel pendorong ideologis bagi umat-umatnya untuk memperkuat representasi—dan merebutnya.
Dialog
Akan tetapi dalam keadaan masyarakat yang plural dan tidak monolitik, penghadiran ruang representasi yang menghargai pluralitas adalah kebutuhan utama. Pembangunan “representasi” yang arogan, merasa benar sendiri, dan cenderung menyalahkan, akan berimplikasi pada bangunan masyarakat yang penuh curiga, berpotensi memupuk kekerasan, dan egois. Itu sebabnya, mengapa agama, menurut Peter L. Berger sebagaimana dikutip Mujiburrahman (2008: 70-71), menerapkan strategi berbeda karena adanya pluralitas masyarakat dan agama.
Pertama, pada lembaga-lembaga agama mulai diterapkan rasionalisasi pengelolaan, seperti manajemen, penggalangan dana, dan program-program. Kedua, menjalin kerjasama dengan agama yang bahkan sebelumnya dianggap sebagai “musuh”. Ketiga, membuat standarisasi “ajaran agama” yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Keempat, membuka seluas-luasnya kesempatan bagi mereka yang sebelumnya dianggap awam dalam soal-soal agama.
Selain empat strategi itu, tiga strategi lainnya adalah penaklukan, pengasingan diri, dan dialog. Dari ketiga strategi itu, dialog merupakan strategi yang paling memungkinkan. Penaklukan akan membutuhkan biaya yang besar, pengasingan dapat dilakukan tetapi hanya untuk jangka yang pendek, sedangkan dialog lebih mencerminkan kesiapan masyarakat di tengah gelombang informasi yang kuat (Mujiburrahman, 2008).
Dengan adanya dialog itu, maka kebutuhan akan penghargaan atas pluralitas perlu diwujudkan dengan pembangunan metode dakwah atau penyiaran agama yang santun dan toleran. Muatan dalam penyiaran agama misalnya, perlu menonjolkan tema-tema yang selaras dengan tujuan dialogis, bukan menyulut kebencian dan kekerasan. Agama-agama bertemu dalam siaran yang bukan saling menghujat dan menjatuhkan, tetapi saling pengertian dan toleran satu sama lain.
Dapat dibayangkan bagaimana jadinya jika penyiaran agama, yang tidak hanya didengar oleh internal pemeluknya, tetapi juga umat lain, memicu disharmoni sosial. Pengusungan materi-materi yang “kontroversial” dari sudut pandang pluralisme agama justru akan memicu kecurigaan-kecurigaan antarumat agama yang seharusnya diminimalisir. Karena pada kenyataannya, tidak memungkinkan penyiaran agama dilakukan secara sempit dan terbatas.
Hanya saja perlu digarisbawahi bahwa sekalipun dialog diutamakan, tetapi bukan berarti menutup perbedaan pandangan-pandangan teologis agama yang memang digariskan berbeda. Dalam hal ini dibutuhkan penanganan khusus atau strategi dakwah yang dapat dijelaskan secara baik, tanpa harus melukai umat agama lain. Intinya, pengembangan penyiaran agama perlu dilakukan tanpa menimbulkan orang lain sebagai “yang terancam” atau “dipojokkan”.
Dengan demikian, strategi dakwah sangat menentukan bagaimana penyiaran agama perlu dikreasi dalam kerangka merepresentasikan hubungan beragama yang harmonis dan tentu pula menjalankan praktik beragama yang toleran dan rukun. Penyiaran agama perlu menghindari hal-hal yang dapat memicu konflik. Sebaliknya penyiaran agama dapat dimanfaatkan sebagai wahana untuk membangun kerukunan dan integrasi umat beragama.
Penyiaran agama dengan menghargai pluralitas, tidak hanya akan berguna bagi kepentingan internal agama, tetapi juga hubungan antaragama dan negara.