Oleh: Tedi Kholiludin
Di era tahun 1960-1970-an, kajian sosiologis tentang agama menampilkan ciri paradigma sekularisasi klasik; modernitas digambarkan sebagai kemunduran agama. Fenomena yang bisa menjadi referensi situasi tersebut adalah menurunnya praktik keagamaan, melemahnya lembaga agama dan keyakinan bahwa agama bisa bertahan sejauh itu ada dan bertahan sebagai pilihan pribadi. Orientasi kajian berfokus pada hilangnya atau menurunnya vitalitas agama dalam masyarakat modern.
Dua puluh tahun sesudahnya, sekitar tahun 1980-1990, kajiannya bergeser; teori sekularisasi mendapatkan kritik dan direvisi, karena nyatanya, agama tidak hilang, tetapi bertransformasi. Hal ini dicirikan dengan kebangkitan gerakan fundamentalisme, ledakan agama di Eropa Timur pasca kommunisme, munculnya gerakan-gerakan keagamaan baru dan lain sebagainya. Kajian atas agama membidik objek tentang rekonstruksi agama atau bagaimana agama menemukan bentuk baru di era modern.
Menelaah dinamika keyakinan keagamaan di era modern, mesti diperluas pada analisis struktur. Keyakinan yang merupakan objek tertinggi dari keimana individu dan kolektif, penting untuk dianalisis, tetapi tak berhenti sampai itu saja, namun juga harus masuk pada bahasan mengenai praktik, perilaku, dan institusi tempat keyakinan ini diekspresikan.
Danièle Hervieu-Léger (2000), seorang sosiolog asal Perancis, mencoba memahami krisis agama di dunia modern. Ia menulis buku “Religion as a chain of Memory” yang merupakan terjemahan dari La Religion pour Memoire yang terbit tahun 1993. Kata Hervieu-Léger, sekularisasi lebih tepat dipahami bukan sebagai lenyapnya agama, melainkan sebagai proses rekonstruksi keyakinan (reconstructing belief). Modernitas memang merongrong struktur tradisional agama, tetapi sekaligus memunculkan bentuk-bentuk religiositas baru, termasuk religiositas “tidak terlihat” yang tidak tergantung pada lembaga resmi.
Untuk masuk dalam dimensi pemahaman ulang atas sekularisasi tersebut, Hervieu-Léger mengusulkan dua definisi agama; luas dan sempit.
Dalam definisi yang luas, agama adalah semua konstruksi imajinasi yang mencoba menjembatani keterbatasan kehidupan sehari-hari dengan aspirasi pemenuhan yang dijanjikan oleh modernitas sekuler, yang menggantikan janji keselamatan religius. Dalam konteks modern, fungsi ini bisa digantikan oleh janji-janji modernitas sekuler (misalnya ide tentang kemajuan, ilmu pengetahuan, pembangunan, revolusi sosial), yang menjadi pengganti janji keselamatan tradisional. Agama dengan begitu bisa dipahami sebagai pengertian cultural imagination, perangkat simbolik untuk menjawab pertanyaan eksistensial, bahkan ketika tidak lagi dirujuk dalam bentuk institusi atau tradisi formal.
Pada pengertian yang lebih sempit, agama merupakan ekspresi yang tetap merujuk pada tradisi agama-agama historis sebagai sumber simbol. Simbol-simbol ini berfungsi sebagai stok simbol (symbolic reservoir) yang dapat dimobilisasi kembali terutama ketika janji-janji modernitas sekuler (misalnya ideologi kemajuan) mengalami krisis atau gagal menjawab kebutuhan masyarakat. Agama dengan demikian, tetap memiliki modal simbolik yang bisa diaktivasi kapan saja, terutama dalam momen krisis modernitas.
Dengan begitu, hal utama yang dibahasa Hervieu-Léger bukan sekadar apakah agama masih ada atau lenyap dalam modernitas, melainkan bagaimana agama bertahan, bertransformasi, dan menemukan bentuk keberlanjutan maknanya. Di sinilah gagasan “rantai ingatan” (chain of memory) menjadi kunci. Menurut Hervieu-Léger, agama pada dasarnya adalah mekanisme sosial-kultural yang menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan melalui jaringan memori kolektif. Identitas keagamaan hidup karena ia ditopang oleh kontinuitas tradisi, simbol, dan ritus yang diwariskan, ditafsirkan ulang, dan dihidupi oleh komunitas. Dengan kata lain, agama dapat dipahami sebagai sebuah rantai ingatan kolektif yang senantiasa direproduksi, meski dalam bentuk yang cair, terfragmentasi, atau bahkan di luar lembaga resmi, sebagai respons atau bisa juga dianggap jawaban atas krisis modernitas.
Legitimasi agama, dengan begitu, bertumpu pada memori. Kepercayaan dan praktik keagamaan mendapat otoritas karena dikaitkan dengan warisan ingatan kolektif; baik itu yang berkaitan dengan narasi leluhur, wahyu atau juga sejarah komunitas. Karena modernitas secara perlahan merongrong otoritas tradisi dan memori kolektif, maka agama menghadapi tantangn untuk mempertahankan kesinambungan dan keberlanjutan. Ritual, teks atau simbol keagamaan, berfungsi sebagai sarana anamnesis; mengingat kembali masa lalu agar tetap relevan dengan masa kini. Jadi, agama bukanlah arsip yang pasif tetapi praktik mengingat kembali yang aktif.
Perayaan keagamaan, ziarah, atau membaca teks suci adalah praktik anamnesis yang memperkuat rantai memori. Karena itu, agama di ruang publik adalah performa anamnesis yang menuntut pengakuan, kehadiran dan partisipasi. Jika ada pertanyaan mengapa agama tetap ada dan relevan dalam masyarakat modern, salah satu jawabannya adalah karena ia hadir sebagai rantai ingatan kolektif yang terus diperbarui lewat anamnesis.
Bagaimana lembaga keagamaan menjalankan fungsi untuk merawat ingatan?
Lembaga keagamaan berfungsi menjaga dan melanjutkan rantai memori melalui ritual, pendidikan, doktrin, dan simbol. Jika institusi gagal merawat atau mentransmisikan memori, maka kepercayaan dan identitas kolektif bisa runtuh atau tercerai-berai. Modernisasi dan individualisasi membuat otoritas tradisi dipertanyakan, sehingga rantai memori tak lagi otomatis diteruskan. Untuk bertahan, institusi keagamaan harus menemukan cara baru agar rantai memori tetap relevan dengan konteks sosial modern seperti melalui reinterpretasi ritual atau simbol.
Tentang kekuatan lembaga keagamaan, Hervieu-Léger menyebut du acara yang dilakukan; mobilisasi emosional dan rasionalisasi kultural. Agama bekerja melalui pengalmaan emosional seperti yang bisa dilihat dalam ritual, simbol atau perayaan tertentu, yang bisa menyetuk sentiment kolektif dan mengikat individu dalam komunitas. Di lain sisi, agama juga harus memberi penjelasan rasional atas memori kolektif itu, melalui doktrin, narasi historis, pendidikan atau tafsir yang membuat warisan dan ingatan itu diterima secara kognitif.
Rantai memori bisa bertahan ketika institusi agama mampu menjaga keseimbangan antara penghayatan emosional dan legitimasi kultural-rasional secara. Pengalaman spiritual atau emosional membuat umat “merasakan” agama, sementara doktrin dan pendidikan memastikan makna dan identitas keagamaan bisa diteruskan antar-generasi. Rantai memori agama berjalan ketika emosi dan rasionalitas bekerja sama dan sama-sama bekerja.

